Berawal Hanya dari 6 Santri

Reporter: Ahmad Syahid

blokTuban.com - Bangunan Masjid An-Nur Nurul Miftahussofyan berdiri kokoh di Dusun Gomang, Desa Lajulor, Kecamatan Singgahan, Kabupaten. Tempat ibadah utama itu terbilang unik jika dibandingkan masjid pada umumnya. Sebab, saat dibangun tanggal 18 Agustus 1994 di lingkungan Pondok Pesantren (Ponpes) Wali Songo Gomang, hanya bertumpu pada satu tiang besar dari kayu jati berdiameter 85 centimeter dan tinggi 27 meter. Lebih nyentrik lagi diujung atasnya dihiasi akar pohon jati.

Suasana hening langsung menyeruak saat memasuki komplek Ponpen Gomang, begitu panggilan akrabnya. Sebab lokasi berada di atas pegunungan, atau sekitar 7 kilometer dari pusat Kecamatan Singgahan. Tidak begitu lama, reporter blokTuban.com melihat santri Ponpes Walisongo berduyun-duyun ke masjid di sebalah selatan asrama untuk menjalankan salat Duhur usai mengaji bersama sang kyai. Muda-mudi berbalut busana Islami itu memenuhi masjid berlantai kayu yang terletak di tebing perbukitan tengah hutan jati KPH Jatirogo.

KH Noer Nasroh Hadiningrat, pengasuh serta pendiri Ponpes Walisongo dan Masjid An Nur, memulai cerita kepada blokTuban.com. Di halaman pondok yang berjarak sekitar 73 km dari Kota Tuban itu, kiai kelahiran tahun 1954 berkisah tentang berdirinya pondok dan masjid.

Menurut cerita Kiai Nasroh, panggilan akrabnya, ia setelah mondok di berbagai Ponpes di Indonesia, diminta kiainya untuk mengabdikan ilmunya di Dusun Gomang yang kala itu merupakan daerah terisolir dengan penduduk hanya 12 Kepala Keluarga (KK). kebanyakan warga menganut aliran Sapto Darmo yang menyembah matahari dan bersembahyang menghadap ke arah timur. Tak hanya itu, warga Gomang pada waktu itu selalu bersembunyi setiap kali ada polisi atau pamong desa datang.

Pertama datang ke dusun tersebut, ia mengawali syiar Islam dengan mengajarkan baca tulis kepada warga. Setelah itu membantu membangun saluran air dan jalan, kemudian perlahan-lahan memasukkan ajaran Islam di dalamnya. Tahun 1977 Kiai Nasroh nekat mendirikan Ponpes Walisongo dengan santri hanya enam berjumlah enam orang.

Hari demi hari, nama Ponpes Walisongo makin dikenal masyarakat. Hingga tahun 1994, tercatat ada 800 santri mondok. “Sampai tahun itu, saya kebingungan karena belum punya masjid. Bahkan sampai empat kali berpindah lokasi untuk salat Jumat. Mulai dari menggunakan musala hingga memanfaatkan ruang pengajian,” kisah bapak enam anak ini.

Dengan modal uang Rp750.000 saat itu, Kiai Nasroh dan santrinya berikhtiar mendirikan masjid. “Saat itu pembelian kayu dibatasi oleh pemerintah, apabila melebihi batas, harus melalui proses yang sangat sulit,” terangnya sambil menerawang jauh ke depan.

Tapi Alhamdulillah, semuanya berjalan dengan baik. "Saya mendapat bantuan dari Pak Miftah yang saat itu menjabat ADM Perhutani dan Pak Sofyan sebagai Asper. Makanya, untuk mengenang, nama kami bertiga diputuskan untuk digunakan sebagai nama masjid "An-Nur Nurul Miftahussofyan" hingga sekarang," sambungnya.

Semua bahan sudah disiapkan untuk membangun masjid dengan arsitektur dari Kiai Nasroh sendiri, yakni berkaca pada ajaran Walisongo, diputuskanlah pembangunan masjid dimulai hari Minggu. Untuk tahap awal, yang paling disiapkan pendiriannya adalah kayu sebagai tiang utama masjid. Pasalnya, untuk mendirikan kayu sebesar itu tentunya butuh cara dan tenaga lebih.

Peristiwa ‘Ditiup’ Allah
Mendengar kabar rencana pendirian masjid unik, banyak warga dari daerah lain ingin melihat langsung. Termasuk Bupati Tuban saat itu. “Awalnya, disiapkan dengan cara diberi pengait tali dari kulit bambu. Tapi menjelang pembangunan saya berpikir beberapa kali, karena menganggap hal itu sepertinya tidak mungkin. Masak kayu sebesar itu hanya ditarik bersama-sama dengan tali dari kulit bambu?” cerita Kiai Nasroh.

Oleh karena itu, sebelaum hari pendirian, tepatnya Kamis, ia berusaha mendirikan kayu tersebut seorang diri. Anehnya, saat tali yang terbuat dari kulit bambu ditarik, tiang utama sebesar itu bisa tiba-tiba terangkat dan berdiri. Dirinya heran dan kaget. “Tapi Alhamdulillah, dengan ‘bolah’ atau 'ditiup' Allah, kayu jati itu berdiri. Awalnya sedikit menceng, namun cepat-cepat diluruskan sebelum ada orang lain yang tahu.

“Jadi, pendirian tiang utama itu tidak jadi dilaksanakan hari Minggu seperti yang dijadwalkan,” sambungnya.

Selang beberapa saat, warga yang mengetahui berdirinya kayu tersebut langsung berdatangan untuk melihat. Untuk wanita yang datang langsung mendekati galian di bawah tiang dan memasukkan uang receh di dalamnya, seperti kisah pendirian Keraton Mataram zaman dulu. “Mungkin kisah pendirian Keraton Mataram yang membuat para perempuan desa disini memasukkan uang receh itu,” terangnya.

Berikutnya, pembangunan masjid dilanjutkann oleh Kiai Nasroh bersama santri dengan mendapat bantuan sejumlah dermawan. “Semua pembangunan kita lakukan sesuai ajaran Nabi Sulaiman, bahwa dalam pembangunan masjid tidak diperkenankan mengeluarkan suara keras. Termasuk dalam pemasangan batu-batunya,” tegas Sang Kiai.

“Kalau Nabi Sulaiman menyuruh burung hud-hud mengambil besi kuning guna memotong batu agar tidak bersuara, kita hanya bisa memasang satu persatu batu bata dengan bacaan Ayat Kursi sambil berusaha tidak mengeluarkan suara sama sekali,” lanjutnya.

Satu tiang utama masjid tersebut dibantu dengan delapan tiang kecil sebagai penyangga atap di pinggir masjid. Dalam peletakannya, delapan tiang tersebut ditata sedemikian rupa, sehingga saat dilihat dari berbagai sisi tampak jumlahnya sembilan tiang. Menurut Kiai Nasroh, ini merupakan simbol perjuangan Wali Sembilan dalam menyebarkan Islam di tanah Jawa.

Selain itu, di atas atap masjid dibangun beberapa sap ditempatkan gembol atau kayu jati sebagai mahkota. Masjid tidak menggunakan kubah dari aluminium atau semacamnya seperti yang umumnya digunakan di Indonesia. Tak hanya itu, semua yang ada di dalam masjid tersebut juga mengandung arti. Satu tiang tersebut merupakan petunjuk bahwa setiap yang masuk dalam masjid bisa mengingat Allah yang maha satu dengan kebesaran dan ketinggiannya. Sedangkkan panjang tiang 27 meter merupakan simbol bahwa salat diwahyukan kepada Rasulullah melalui Isro’ Mi’roj pada 27 Rajab.

Lebar masjid 17 meter berarti Al Quran yang diturunkan pada tanggal 17 Ramadan, panjang masjid 40 meter berarti nabi menerima wahyu pertama pada usai 40 tahun. Sementara tiang tambahan kanan dan kiri yang berisi delapan tiang ditambah satu tiang utama menunjukkan bahwa Islam masuk di tanah Jawa atas prakarsa sembilan wali.

Lambat laun, masjid ini makin dikenal masyarakat meski tempatnya berada di tengah hutan di daerah pedalaman. Termasuk Ponpes Walisongo juga semakin masyur seantero Nusantara. Bahkan, saudara ipar Sultan Hassanah Bolkiah dari Brunai Darussalam bernama Abdul Hamid, sempat nyantri selama tiga tahun ditempat tersebut. Sekarang ini, jumlah santri tercatat ada 1.800 orang yang berasal dari Jawa dan berbagai daerah di Indonesia, termasuk Kalimantan, Sulawesi dan Sumatera. [hid/mad]