Akamsi di Kota Industri

Oleh : Bambang Budiono 

blokTuban.com – Pada 1994 seluruh warga Tuban dikejutkan dengan kabar berdirinya pabrik semen di wilayahnya. Tahun itu juga menjadi tonggal awal, Tuban memasuki era kota industri. 

Media masa merekam berbagai pro-konta masyarakat pada tahun-tahun awal berdirinya pabrik tersebut, walau pada akhirnya sebagian besar masyarakat merelakan tanahnya untuk diganti untung oleh managemen pabrik. Bertahun kemudian cerita penyesalan pun bermunculan. 

Cerita penyesalan itu sebentar saja jadi bunga warung kopi. Tahun-tahun kemudian berulang kisah-kisa serupa.  Tercatat industri-industri besar berdiri menyusul Semen Indonesia. Ada Holcim , TPPI, Pertamina dan sejumlah nama raksasa lain bergantian muncul di tlatah Tuban. 

Kisah ganti untung, penolakan, dukungan sampai penyesalan berulang dari waktu ke-waktu. Ada yang keras menolak karena berbagai alasan, mulai dari tradisi sampai isu lingkungan. Ada pula yang dengan suka cita menerima karena alasan ekonomi sampai kemajuan. 

Pro-kontra tetap bergulir deras, dan pagar-pagar kawat, bertulis tanah milik perusahaan juga terus melebar. 

Mereka yang tadinya bangun pagi pergi Ke-sawah dan ladang, sekarang pagi buta mereka mengantri truk jemputan untuk berangkat ke area pabrik sebagai buruh proyek bangunan. 

Anak muda usia belasan sampai yang berusia 50an berdesakan dalam truk menuju lokasi pabrik, untuk mendirikan bangunan di lahan bekas pertanian mereka.

Pemandangan berubah, yang tadinya jalanan kecil dengan pedati berlalu lalang mengangkut hasil bumi, sekarang jalanya halus dan lebar. Tak nampak lagi pedati. Hanya truk dan mobil proyek yang berlalu lalang, warung-warung menjamur dan wajah-wajah asing semakin mudah ditemui. 

Roda ekonomi warga berputar cepat. Pangkalan ojek sepi karena semua warga sudah punya kendaraan pribadi, pertanian menjadi legenda pacul dan caping pensiun dini, tergeletak di sudut kandang tak terawat. 

Setidaknya, Sampai proyek bangunan baprik berlangsung arti kata sejahtera benar-benar dirasakan warga. Tidak butuh ijazah sekolah tinggi untuk bekerja di proyek bangunan itu. Cukup dengan label akamsi (anak kampung sini) sudah cukup untuk jadi jaminan bisa masuk kerja.  

Cerita berangsur berbeda, saat pabrik sudah mulai beroperasi. Hanya tenaga ahli yang dibutuhkan. Gelombang pekerja dari luar daerah, bahkan luar negeri dengan keahlian mumpuni  membanjiri Tuban. 

Pelan tapi pasti label akamsi tak lagi menjadi hal penting. Kebutuhan pabrik berubah, bukan lagi pekerja kasar seperti awal pendirian, tapi mereka yang memiliki keahlian khusus saja yang dipekerjakan. 

Warga lokal yang bertahun-tahun nyaman dengan kerja proyek bangunan, dan tak terfikir untuk meningkatkan keahlianya mulai kelabakan. Akamsi kehilangan momentum dan menjadi penonton yang sakit hati.

Banyaknya gelombang ujuk rasa dengan tuntutan mempekerjakan warga lokal adalah bukti, bahwa label akamsi saja tak cukup. 

Kesiapan Tuban menjadi kota industri

Sebenarnya Tuban sudah bersiap jauh hari. Berbagai jurusan yang terkait dengan industri sudah mulai dibuka di SMK dan perguruan tinggi, sejak awal bergulirnya wacana Tuban kota industri. Tapi kesiapan tersebut agaknya kurang dibarengi dengan kesadaran masyarakat akan kondisi dan peluang di daerahnya. 

Jurusan yang terkait dengan industri di sekolah dan kampus, tidak begitu banyak peminatnya. Setidaknya pada tahun-tahun awal pembukaanya. Masih kalah dengan jurusan lain yang telah lama ada. Ditambah lagi, pelajar dari kecamatan lokasi pabrik berdiri juga masih terbilang minim. 

Minimnya kesadaran akan tantangan inilah yang menyebabkan cerita-cerita tentang penyesalan pasca pembebasan lahan selalu terulang. Mau tak mau pemuda Tuban harus bersiap. Kenyataan akan hak istimewa akamsi telah berakhir pun harus disadari oleh semua pihak. 

Korporasi tetaplah korporasi, bukan lembaga sosial. Untuk itu tak ada pilihan lain selain meningkatkan skil, agar dapat memenuhi tuntutan dunia kerja industri. 

Pilihanya hanya ada dua: menjadi pemain di tanah sendiri atau duduk di bangku penonton, menyaksikan putra-putra daerah dan negara lain berjaya di tanah kelahiran. 

Beragam pro-kontra akan industrialisasi akan tetap ada sampai kapanpun tapi, mati lapar di lumbung padi bukanlah pilihan bijaksana.[*]