Bernilai Ekonomis, Masyarakat Sugihan Tanam 6000 Pohon Kelengkeng Varietas Kateki  

Reporter : Savira Wahda Sofyana

blokTuban.com – Kabupaten Tuban merupakan daerah yang memiliki agrowisata yang cukup banyak. Selain blimbing Tasikmadu, agrowisata lain yang tak kalah menarik ialah agrowisata kebun kelengkeng yang berada di Desa Sugihan, Kecamatan Merakurak.

Kebun kelengkeng yang ditanam sejak tahun 2017 tersebut terdapat sekitar 6.000 pohon dengan varietas kateki. Keunggulan dari kelengkeng kateki ini ada pada buahnya yang manis dan juga tebal. Pasalnya, biji buah yang terdapat di dalamnya sangatlah kecil. 

Ketua Kelompok Tani Desa Sugihan, Wiyono menjelaskan jika sebelumnya masyarakat setempat tidak pernah mengenal pohon kelengkeng, karena dahulu pohon kelengkeng susah berbuah apabila ditanam di daerah tersebut. 

“Terus kami ada teman dari surabaya yang memperkenalkan saya dan teman-teman tanaman kelengkeng ini dan akhirnya kami dapat program dari pemerintah pusat, pada tahun 2016 dan kami bersama anggota akhirnya bisa menanam pohon kelengkeng,” ungkapnya.

Dari program perintah itulah, akhirnya sekitar 52 orang anggota bergabung untuk membudidayakan pohon kelengkeng dengan luas tanah 25 hektar. Selain mendapatkan bibit pohon, masyarakat juga mendapat pupuk kimia dan organik serta penanganan pasca panen.  

Sebelum menanam pohon kelengkeng, para petani di Desa Sugihan hanya menanam tanaman pada umumnya seperti jangung, cabai, tomat dan lain sebagainya. Untuk menambah nilai ekonomis, maka saat ini  petani juga memanfaatkan lahan kosong disela-sela pohon kelengkeng untuk menanam tanaman lainnya. 

Biasanya, pohon kelengkeng ditanam oleh petani dengan jarak 7x7 meter dan juga 8x8 meter sesuai dengan selera masing-masing dan juga mempertimbangkan tanaman tumpang sari yang ikut ditanam di sela-sela jarak itu  

“Semakin jarang tumpang sarinya bisa dimanfaatkan untuk menanam tanaman lainnya. Dengan jarak itu serempak kita menanam tahun 2017 dan kita rawat terus rutin selama 2 tahun kita lakukan pemupukan rutin setiap 3 bulan sekali pupuk kimia dan setiap 6 bulan sekali pupuk kandang,” katanya. 

Selanjutnya, ia mengungkapkan jika setelah dua tahun maka menginjak ke tahap selanjutnya yaitu pembosteran atau perangsang pembungaan. 

“Pada saat itu kita karena masih buta ilmu, kurang pengalaman karena awal, jadi waktu itu kita pakai sistim siram di pangkal batang dan alhamdulillah berhasil pada tahun 2019 panen perdana,” bebernya. 

Ia melanjutkan jika Kabupaten Tuban merupakan daerah yang mengembangkan kelengkeng varietas kateki terbanyak di Indonesia. Selama membudidayakan tanaman ini Wiyono mengaku jika kesulitan yang sering menjadi hambatannya ialah hama. 

Seperti hama ulat daun, jamur akar hingga kelelawar yang sangat mengganggu karena bisa menghabiskan buah dari pohon kelengkeng. Untuk itu, para petani mengatasinya dengan membungkus tanaman menggunakan jaring secara penuh. Pemakaian jaring ini selain mengirit biaya juga mennghemat tenaga karena tidak perlu menggantinya setiap waktu. 

“Jamur akar ada yang mati juga, kemudian akhir-akhir ini ada residu boster karena kita pakai siram akar jadi perakaran terganggu. Pada awal sangat mudah keluar bunga sebelum di boster, tapi setelah 3-4 kali dilakukan boster menjadi sulit dan pohon stres jadi susah berkembang,” lanjutnya. 

Terkait hal tersebut maka pihaknya, kemudian berkonsultasi kepada penemu bibit kelengkeng jenis varietas itu dan setelah mendapat bimbingan, saat ini mereka menggunakan sistim semprot batang. 

Akan tetapi untuk melakukan boster terlebih dahulu harus dilakukan penetralan tanah bekas booster sebelumnya. Hal itu bertujuan agar tanah menjadi netral. 

“Saat kita kasih pupuk kandang yang sudah matang dan difermentasi agar cepat pulih. Setelah itu kita lakukan pembosteran. Setalah di boster alhamdulillah berhasil,” imbuhnya. 

Sementara dari segi pemasaran, pria ramah itu mengaku jika tidak mengalami kesulitan. Bahkan terkadang sampai kekurangan persediaan buah, akibatnya harus menolak para pengunjung yang ingin memetik buah kelengkeng. Biasanya, buah kelengkeng tersebut dijual dengan harga Rp40 ribu hingga Rp45 ribu per kilogramnya. 

Sementara Bambang, salah satu petani kelengkeng berharap agar pemerintah lebih memperhatikan budidaya kelengkeng tersebut, dengan lebih menekankan pada pembinaan mulai dari awal penanaman, perawatan, pembuahan hingga pembinaan pasca panen. 

“Jadi nggak melulu kita jual kelengkeng dalam bentuk buah saja. Kalau bisa dikembangkan lagi maka itu bisa meningkatkan harga jual. Setidaknya petani bisa mendapatkan hasil yang lebih banyak lagi,” tutupnya.(sav/ono]