Tiga Pilar Damai sebagai Langkah Preventif Intoleransi di Sekolah

Oleh: Ikhwan Fahrudin (Ketua IGI Tuban Jawa Timur)

blokTuban.com - Indonesia merupakan negara berpenduduk terbesar ke empat dunia dan memiliki beragam latar belakang. Ini bisa menjadi kebanggaan tersendiri untuk kita. Pun sebaliknya, bisa berpotensi untuk terbelah. 

Sebagai warga negara, menjaga nilai-nilai yang terkandung dalam pilar negara (Pancasila) terbukti mampu mengayomi berbagai macam perbedaan yang ada dalam masyarakat. Namun, perlu disadari ada potensi masalah yang timbul, yakni intoleransi.

Berdasarkan hasil riset Setara Institute menunjukkan, jenis pelanggaran atas kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) yang paling banyak terjadi pada 2020 yakni tindakan intoleransi. 

Direktur Riset Setara Institute Halili Hasan menyebut, tindakan intoleransi banyak dilakukan oleh aktor non-negara, seperti kelompok warga, individu, ormas keagamaan, hingga Majelis Ulama Indonesia (MUI). Tindakan pelanggaran KBB oleh aktor non-negara adalah intoleransi dengan 62 kasus.

Setara Institute mencatat 32 kasus terkait pelaporan penodaan agama, 17 kasus penolakan pendirian tempat ibadah, dan 8 kasus pelarangan aktivitas ibadah. Kemudian, 6 kasus perusakan tempat ibadah, 5 kasus penolakan kegiatan dan 5 kasus kekerasan. 

Jika dilihat dari daerah sebarannya, peristiwa pelanggaran atas KBB paling banyak terjadi di Jawa Barat. Setara Institute mencatat ada 39 peristiwa pelanggaran sepanjang 2020.

Sementara menurut Direktur Wahid Institue Yenny Wahid, tren intoleransi dan radikalisme di Indonesia cenderung meningkat dari waktu ke waktu. Kecenderungan itu dipengaruhi oleh beberapa faktor terutama kontestasi politik, ceramah atau pidato bermuatan ujaran kebencian, serta unggahan bermuatan ujaran kebencian di media sosial (medsos).

Sikap intoleransi di Indonesia, menurut Yenny juga cenderung meningkat dari sebelumnya sekitar 46 persen dan saat ini menjadi 54 persen.

Di sisi lain, hasil riset Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta Sirojuddin Arif mengatakan, hal tersebut berarti bahwa satu dari tiga mahasiswa di Indonesia memiliki sikap intoleransi beragama. Sebanyak 30,16 persen mahasiswa Indonesia memiliki sikap toleransi beragama yang rendah atau intoleran.

Angka hasil riset itu adalah 24,89 persen mahasiswa memiliki sikap toleransi beragama rendah dan 5,27 persen memiliki toleransi beragama yang sangat rendah. Hasil penggabungan angka-angka tersebut menunjukkan rendahnya mahasiswa Indonesia dalam toleransi beragama di Tanah Air.

Perlu diingat pula ada kasus intoleransi di sekolah yang terjadi. Salah satunya Kasus pelarangan penggunaan hijab di SMPN 1 Singaraja, SMAN 2 Denpasar, SMAN 1 Maumere, SD Inpres 22 Wosi Manokwari. Ada juga kejadian salah satu murid non-muslim di SMK 2 Padang menolak mengenakan hijab. 

Dalam video terungkap bagaimana pihak sekolah bersikeras agar siswa nonmuslim mau memakai hijab. Di SMK 2 Padang ternyata ada 46 siswi nonmuslim yang mengenakan hijab dalam aktivitas sehari-hari di sekolah, kecuali satu murid tersebut.

Faktor terjadinya intoleransi

Beragam faktor muncul menjadi penyebab orang menjadi intoleransi. Menurut hemat penulis secara umum diantaranya: faktor keagamaan (Qodir:2006), kurangnya pemahaman terhadap keragaman di Indonesia, tidak terbiasa berpikir reflektif bahwa kemajemukan menjadi kekayaan bangsa Indonesia, ketidakadilan, globalisasi,  politik, ekonomi, dan sebaran berita bohong.

Peneliti Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM)-UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Yunita Faela Nisa menuturkan empat hal penyebab intoleransi di dunia pendidikan. Pertama, kemampuan empati internal dan eksternal yang perlu ditingkatkan oleh siswa dan guru-guru kita. 

Kedua, persepsi keterancaman yang tinggi, terutama terkait dengan faktor ekonomi. Ketiga, pandangan islam ekstrim pada beberapa guru kita. Untuk itu, kemampuan berpikir kritis dan reflektif perlu ditingkatkan. Keempat, faktor sosial dan ekonomi.

Dari sudut pandang lain, Ketua Satgas Nusantara yang juga Kapolda Metro Jaya Irjen (Pol) Gatot Eddy Pramono menjelaskan tiga hal yang menjadi penyebab menguatnya sikap intoleransi di kalangan masyarakat Indonesia beberapa tahun terakhir. Yakni globalisasi, demokrasi yang didominasi “low class”, dan perkembangan media sosial.

Tentu intoleransi mempunyai dampak yang ditimbulkan. Dampak negatifnya pun bisa serius. Sehingga pemerintah dan unsur pendidikan perlu mengantisipasinya. Dampak yang terasa seperti menimbulkan ketidakharmonisan seni kehidupan. 

Tatanan masyarakat dan pelajar jadi terganggu. Di lingkungan sekolah sendiri menimbulkan suasana yang tidak kondusif di lingkungan sekolah. Nadiem A. Makariem menjelaskan bahwa intoleransi menjadi salah satu penyebab terjadinya perundungan di lingkungan sekolah.

Upaya penanggulangan intoleransi

Pusat Penguatan Karakter (Puspeka) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menjadi unit kerja yang bertugas memastikan penguatan karakter terjadi di sektor pendidikan. Salah satunya adalah dengan menggelar yang digagas sebagai upaya menyukseskan Gerakan Nasional Revolusi Mental.

Kepala Puspeka Kemendikbud, Hendarman mengaku masih terus mencari cara dan strategi bagaimana mengatasi empat isu kritis pendidikan yaitu intoleransi, perundungan, kekerasan seksual dan narkoba.

Mendikbud Nadiem telah membuat surat edaran dan membuka hotline pengaduan terkait adanya praktik intoleransi. Nadiem menegaskan, pihak sekolah harus memperhatikan hak setiap warga negara untuk menjalankan keyakinan agamanya terkait aturan mengenai pakaian seragam khas siswa. 

Ketentuan itu diatur pada Pasal 34 Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomor 45 tahun 2014 tentang Pakaian Seragam Sekolah bagi Peserta Didik Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah.

Selain itu, Nadiem menekankan, setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir dan ekspresi sesuai dengan tingkat intelekualitas dan usianya di bawah bimbingan orangtua atau wali. Hal itu sesuai dengan Pasal 55 Undang-Undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Kemudian, ia memaparkan Pasal 4 ayat 1 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Pasal tersebut mengatur bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.

Jika flash back ke belakang, telah terjadi kesepakatan tiga lembaga untuk mengatasi intoleransi. Ada Kemenag, Kemendikbud, dan BNPT sepakat bersinergi dalam pencegahan paham radikal dan intoleran. 

Kesepakatan ini tertuang dalam MoU yang ditandatangani oleh Sekjen Kemenag Nur Syam mewakili Menag Lukman Hakim Saifuddin, Mendikbud Muhadjir Effendy, dan Kepala BNPT Suhardi Alius. Nur Syam, dalam sambutannya menegaskan bahwa pencegahan radikalisme bisa dilakukan melalui soft power berupa pendidikan.

Penulis mencermati bahwa untuk mendukungan minimnya intoleransi marak terjadi, perlu langkah preventif yang dilakukan oleh satuan pendidikan. Penulis menyebut sebagai tiga pilar damai. Pertama, arah kebijakan sekolah. Kedua, manajemen keorganisasian siswa. Ketiga, contoh konkret sikap toleransi.

Arah kebijakan sekolah meliputi: program sekolah memuat pengembangan sikap toleransi & profil pelajar Pancasila, penguatan karakter dan keteladanan, penyusunan RKAS yang menunjang program sekolah (pemilihan siswa duta toleransi dan konten edukasi Bahaya intoleransi), jalinan komunikasi intensif guru dan wali murid, jaringan penguatan alumni, penyusunan peraturan sekolah anti intoleransi.

Manajemen keorganisasian siswa meliputi: produk karya siswa disemarakkan, pembinaan OSIS, duta anti narkoba dan kekerasan, optimalisasi ekstrakurikuler, dan saluran minat dan bakat siswa.

Contoh konkret sikap toleransi meliputi: tidak membedakan unsur SARA, menghargai perbedaan pendapat, tata tertib sekolah, menghargai teman yang sedang beribadah, memfasilitasi sarana ibadah (masjid, pojok doa, buku bacaan multiagama), aktif di kegiatan kerohanian, dan bijak bermedia sosial.

Strategi mencegah intoleransi bisa dilakukan kampanye toleransi, pembinaan sikap toleransi yang terintegrasi, dan penanaman nilai luhur Ideologi Pancasila (Pelajar Pancasila) Ideologi Pancasila, dan budaya literasi.

Semoga di momen Hari Guru Nasional (HGN) 25 November 2021, Pendidikan kita semakin maju dan bebas dari tindakan intoleransi. Bergerak dengan Hati, Pulihkan Pendidikan.(*)