Pandemi Bikin Potensi Perkwaninan Anak Meningkat, Apa Sebabnya?

Reporter: -

blokTuban.com - Perkawinan anak masih menjadi salah satu tantangan yang dihadapi oleh pemerintah dan masyarakat Indonesia. Bahkan, pandemi tidak menghalangi atau menghentikan praktik yang berdampak buruk bagi kesehatan fisik, mental, dan juga ekonomi anak.

Temuan studi berjudul Perkawinan Bukan Untuk Anak: Potret Perkawinan Anak di 7 Daerah Paska Perubahan UU Perkawinan yang dilakukan oleh Yayasan Plan International Indonesia (Plan Indonesia) bersama Koalisi Perempuan Indonesia meluncurkan bahkan mengungkap bahwa potensi perkawinan anak karena motif ekonomi cenderung mengalami peningkatan.

Kondisi ekonomi yang semakin memburuk selama masa pandemik COVID-19, berdampak pada merosotnya kemampuan ekonomi keluarga untuk membiayai kebutuhan pendidikan anak- anaknya.

Fakta itu terungkap dari jawaban responden di Rembang, Sukabumi, dan Donggala memberikan informasi terkait dampak ekonomi keluarga di masa pandemik COVID-19 ini telah meningkatkan angka kemiskinan yang memaksa beberapa orang tua untuk meminta anak berhenti sekolah akibat keterbatasan/ketiadaan biaya pendidikan.

"Kemudian, atas pertimbangan ekonomi agar anak tidak menjadi beban finansial bagi keluarga maka orang tua kemudian mengawinkan anaknya. Dalam perspektif orang tua, dengan mengawinkan anaknya (anak perempuan) maka otomatis segala kebutuhan hidup anak tersebut akan menjadi kewajiban atau tanggungan suaminya," demikian menurut temuan studi.

Meskipun perubahan Undang-undang Perkawinan telah mengatur batas minimal perkawinan menjadi 19 tahun serta memperketat aturan dispensasi kawin, praktik perkawinan anak masih kerap terjadi.

Efektivitas implementasi Undang Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan, khususnya terkait penerapan ketentuan batas minimal usia perkawinan masih menemui banyak tantangan besar.

Sinergitas dan koordinasi pelaksanaan kebijakan turunan UU Perkawinan masih belum optimal dalam menekan angka perkawinan anak di daerah.

Kementerian/Lembaga di tingkat pusat, pemerintah daerah, dan pemerintah desa telah menyusun banyak regulasi dan program pencegahan perkawinan anak, baik dalam bentuk Stranas PPA, Peraturan Mahkamah Agung, Program Pusaka Sakinah, Perda, Surat Edaran Gubernur/Bupati/Walikota, Perdes, dan sebagainya. Namun, faktanya jumlah perkara/ permohonan dispensasi perkawinan anak masih tetap terus bertambah sepanjang waktu.

*Sumber: suara.com