Krisis Sosial-Ekologis Kawasan Pesisir

Oleh: Suhendra Mulia, M.Si.

blokTuban.com - Indonesia terletak pada benua Asia dan benua Australia, Indonesia adalah negara kepulauan terluas di dunia. Indonesia mengalami iklim muson (detik.com. Juni, 2021) yang dipengaruhi daratan Benua Asia dan Benua Australia yang dipisahkan oleh khatulistiwa. 

Itulah mengapa hanya ada dua musim yang terjadi di Indonesia yaitu musim kemarau dan penghujan. Keduanya saling bergantian setiap 6 bulan sekali. Di antara kedua musim tersebut terdapat masa pancaroba, yaitu masa peralihan dari satu musim ke musim lainnya.

Berlangsungnya musim kemarau di Indonesia bersamaan dengan bertiupnya angin musim timur dan terjadi antara bulan Maret-September. Namun pada bulan Maret dan September, ada kemungkinan hujan tetap turun karena gerakan angin yang tidak menentu. 

Musim kemarau di Indonesia kebanyakan berlangsung antara bulan April sampai bulan September. Ketika musim kemarau berlangsung, kelembaban udara cenderung sangat rendah (ruangguru.com. Maret, 2018).

Daerah di Indonesia sering kali mengalami dilema disaat menghadapi kedua iklim tersebut. Dimana jika masuk musim kemarau ada beberapa daerah akan mengalami kekeringan yang panjang. 

Di satu sisi jika musim hujan datang ada beberapa daerah yang mengalami banjir dan longsor. Daerah yang mengalami kekeringan saat ini hampir setiap tahun terjadi bencana serupa seperti Jawa, Bali dan Nusa Tenggara, ini akibat dari defisit air sejak 1995 (mongabay.co.id. September, 2018). 

Artinya, ketersediaan air baik permukaan maupun air tanah sudah tak mampu mencukupi keperluan penduduk. Kondisi ini turut dipengaruhi jumlah penduduk yang terus bertambah, dan pasokan air relatif sama.

Tahun 2018 Kementerian Pekerjaan Umum melakukan studi neraca air yang menunjukkan, surplus air hanya pada musim hujan di Jawa, Bali dan Nusa Tenggara. Sedangkan, musim kemarau, daerah-daerah itu kekurangan air selama tujuh bulan. 

Di tahun 2003, penelitian lain menyebutkan total kebutuhan air di Jawa dan Bali mencapai 83,4 miliar meter kubik pada musim kemarau, hanya terpenuhi 25,3 miliar meter kubik atau setara 66 persen. 

Dan kajian Bappenas 2007 menunjukkan, ketersediaan air yang ada sudah tak mencukupi seluruh kebutuhan pada musim kemarau di Jawa, Bali dan Nusa Tenggara. ”Sekitar 77 persen kabupaten dan kota telah memiliki satu hingga delapan bulan defisit air dalam setahun.”

Musim hujan di Indonesia terjadi karena bertiupnya angin musim barat dan terjadi antara bulan September dan bulan Maret. 

Musim hujan di Indonesia berlangsung antara bulan Oktober sampai bulan Febuari. Di beberapa wilayah sering kali hujannya sedemikian lebat hingga terjadi banjir (ruangguru.com. Maret, 2018). Ada dua puluh kota yang rawan banjir (viva.co.id. Nopember, 2018)antara lain Jakarta, Bandung, Surabaya, Solo, Medan, Padang, Pekanbaru, Jambi, Bandar Lampung, Pontianak. 

Juga Samarinda, Makassar, Ambon, Manado, Gorontalo, Kendari, Palembang, Jayapura, Sorong dan Palu.Kementerian melakukan manajemen banjir secara tahun jamak yang masih berlanjut hingga sekarang. Untuk mengantisipasi itu, Kementerian sejak tahun 2015, menormalisasi sungai, tanggul banjir atau kanal di lokasi tertentu. 

Sosial dalam pengertian Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan ilmu tentang hubungan penduduk dengan lingkungan alam, teknologi, dan masyarakat manusia. Dan ekologi adalah ilmu tentang hubungan timbal balik antara makhluk hidup dan (kondisi) alam sekitarnya (lingkungannya). 

Jadi sosial ekologi merupakan ilmu tentang hubungan timbal balik antara makhluk hidup/manusia atau penduduk, teknologi dan alam sekitarnya. 

Prof. Dr. Henny Wasilah (April, 2021) Peneliti Pusat Penelitian Masyarakat dan Budaya-LIPI, mengatakan bahwa krisis lingkungan yang secara ilmiah-filosofis disebut krisis ekologi ini merupakan refleksi krisis spiritual manusia modern & struktur kibjakannya yang sentralistik. Krisis ekologi dapat meliputi krisis seluruh sistem ekologi alami di bumi, termasuk ekosistemnya, yakni hal-hal yang berkaitan dengan manusia; seperti udara yang kita hirup, makanan yang kita makan, air yang kita minum, termasuk sistem organ di dalam tubuh kita.

Proses-proses sosial-ekologis dan inisiatif seperti apa yang telah, sedang, dan akan berlangsung. Dan kondisi atau dampak sosial-ekologis seperti apa yang menyertai inisiatif tersebut terutama kepada kelompok dengan kekuasaan yang relatif kecil seperti masyarakat pesisir. Problematisasi 

“Kacamata”Krisis Agraria dan Ekologis, ada Dua mazhab memahami krisis ekologis  dan agraria di antara : 1). Perspektif “Modernisasi Ekologi”, dimana akar masalah pada perilaku manusia dan teknologi yang tidak ramah lingkungan. 

Untuk solusinya dengan mengubah atau adaptasi perilaku dan ubah teknologi lebih ramah lingkungan. 2). Peskpektif “Ekonomi-Politik Ekologi”, dimana akar masalah pada  un-equal power relation (Local-Nasional-Global) bersifat struktural. Untuk solusinya dengan perubahan dan perombakan ketimpangan struktural, transfromasi sosial-ekonomi-politik.

Meluasnya-nyaKrisis-Sosial Ekologi

Henny Wasilah menyampaikan krisis sosial ekologi semakin meluas seperti problem banjir yang terjadi karena adanya air yang dikirim dari arah hulu (kota semarang atas) dan mengalir ke kota Semarang bagian bawah, adanya hujan lokal di dalam kota, pasang air laut atau sering disebut dengan banjir rob. 

Dan banjir juga bisa dari kombinasi antara kenaikan permukaan air laut dan penurunan permukaan tanah di daratan membuat Semarang terutama bagian utara semakin rentan terhadap rob. 

Dan problem sampah plastik dan  air bersih kebanyakan dari rumah tangga, tidak memiliki pembuangan akhir (TPA), penduduk menggunakan kumpulan sampah ini untuk menimbun rumah yang ambles, padahal sampah plastik bahan yang tidak dapat didaur ulang. 

Sedangkan problem air bersih hanya mengandalkan air dari PDAM 8 (delapan) kawasan industri yang diteliti di Semarang, semuanya memakai air tanah (7 dengan menggunakan sumur bor, dan 1 dengan sumur gali (Valentino D 2013).

Problem selanjutnya ada pada perampasan tanah dimana ketika pihak pemerintah atau pihak perusahaan penerima izin dari pemerintah, melakukan tindakan pemaksaan memutus hubungan kepemilikan rakyat dengan tanahnya. Seperti di kampung kemijen (konflik triparti antara penduduk kemijen, PJKA dan Pemda). Konflik terjadi ketika rakyat bertahan mempertahankan tanah, dan melakukan perlawanan yang berkelanjutan.

Kebijakan TTDL di KPSD dan Semarang lebih banyak sebagai ketimpangan struktural  agrarian (pesisir, laut dan urban) dan potensi mencipta karpet merah bagi regim industry infrastruktur pembangunan modal besar.

Namun ada sedikit catatan kritis terkait kurang memperlihatkan kritik dari pendekatan ekonomi politik, khususnya mengenai daya rusak ekologis dari sistem ekonomi kapitalisme. 

Kita tidak bisa mengelak untuk membicarakan kekuatan dari cara produksi kapitalisme, yang kepentingannya adalah akumulasi modal dengan daya rusak ekologisnya.[*]