Pemohon Diska Tinggi, Potret Hitam Pencegahan Perkawinan Anak

Reporter : Ali Imron

blokTuban.com - Masih hangat dibenak semua orang tentang Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 1974 tentang  Perkawinan. Perubahan tersebut dititik beratkan pada pasal 7 yakni batasan usia perkawinan yang semula usia 16 tahun direvisi menjadi menjadi 18 tahun.

Tentunya perubahan tersebut sebagai upaya untuk mencegah terjadinya perkawinan anak. Karena perkawinan anak merupakan pelanggaran atas pemenuhan hak dan perlindungan anak yang diatur dalam UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlidungan Anak.

Juga Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Ratifikasi Konvesi Hak Anak dan PERMA Nomor 5 Tahun 2019 Tentang Pedoman Mengadili Dispensasi Kawin.

Dalam ratifikasi disebutkan bahwa Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Sekaligus untuk capaian pembangunan yang berkelanjutan (Sustainable Development Goals) tahun 2015-2030 dalam tujuan kelima pada butir 5 point 3 yaitu menghapuskan segala semua praktek-praktek yang membahayakan seperti perkawinan anak.

Menurut laporan penelitian mengenai perkawinan anak yang dilakukan oleh Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak (Puskapa) bersama UNICEF, Badan Pusat Statistik (BPS), dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). 

Laporan yang dikeluarkan pada 2020 itu menyebut bahwa berdasarkan populasi penduduk, Indonesia menempati peringkat ke-10 perkawinan anak tertinggi di dunia.

Berdasarkan data laporan dari Badan Pusat Statistik (BPS) diperkirakan sekitar 1.220.900 anak di Indonesia mengalami perkawinan anak. Serta data yang dimiliki oleh K.P.Ronggolawe sejak tahun 2004 hingga 2020 telah mendampingi perempuan dan anak korban kekerasan dengan total 1617 kasus.

"Dimana setiap klien/korban yang didampingi K.P.Rongolawe melalui tahapan konseling baru kemudian tahapan-tahapan yang lainya. Hasil dari konseling rata-rata kasus KDRT disebabkan karena mereka menikah diusia anak bahkan kasus kekerasan Seksual KS juga disebabkan orangnya tuanya menikah diusia anak," ujar Ketua K.P. Ronggolawe Tuban, Warti kepada reporter blokTuban.com.

Dengan adanya kerentanan dan dampak terburuk bagi  anak yang menikah itulah sebabnya pemerintah melalui KPPA melalukan beberapa strategi diantaranya membentuk forum PUSPA dan Forum Anak hal tersebut di intruksikan ke seluruh tanah air Indonesia. 

Kemudian Pemerintah Kabupaten Tuban melalui Dinas Sosial dan P3A membentuk kedua forum tersebut. Namun kabarnya forum PUSPA saat ini mati suri. Selain itu Kabupaten Tuban juga langganan mendapatkan penghargaan Kabupaten Layak Anak.

Sebuah penghargaan yang diberikan untuk Kabupaten/Kota yang memenuhi indicator salah satunya tentang pencegahan atau menekan terjadinya perkawinan anak. Namun siapa sangka jumlah perkawinan usia anak (PUA) di Kabupaten Tuban Tahun 2019-2020 terdapat 781 kasus dengan prosentase PUA 4,10% tahun 2019 dan 4,07% tahun 2020.

Dan pada tahun 2021 lonjakan permohonan dispensasi nikah (diska) mencapai angka 224 perkara dengan rincian bulan Januari 72 perkara, Februari 37 perkara, Maret 47 perkara dan April 68 perkara.

Semakin meningkatnya permohonan dispensasi nikah memperlihatkan bahwa Pemerintah Kabupaten belum bergerak secara nyata dalam melakukan kampanye dan sosialisasi Nomor 16 Tahun 2019 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 1974 tentang  Perkawinan UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlidungan Anak.

Dan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Ratifikasi Konvesi Hak Anak terutama kepada para aparat ditingkat Kecamatan, Desa dan juga kepada masyarakat. Dan juga disinyalir belum menjalankan PERMA Nomor 5 Tahun 2019 Tentang Pedoman Mengadili Dispensasi Kawin.

"Advokasi yang dilakukan oleh K.P.Ronggolawe menemukan alasan yang selalu digunakan untuk permohonan diska adalah menghindari zina dan anak perempuan korban kekerasan seksual yang dinikahkan dengan pelaku," imbuhnya.

Padahal dalam dunia medis dijelaskan bahwa anak perempuan rentan beresiko mengalami gangguan reproduksi, psikologis, anak lahir cacat dan stunting akibat dari belum siapnya system reproduksi untuk dibuahi. 

Sedangkan korban kekerasan seksual yang dinikahkan dengan pelaku bisa berakibat menjadi korban yang kedua kali. Alih-alih meminta pertanggungjawaban malah memasung korban dalam cengkraman pelaku kekerasan. 

Korban kekerasan seksual yang harusnya mendapat perlindungan harus mengalami trauma kembali akibat dipertemukan dengan pelaku dalam ikatan perkawinan. Alasan tersebut yang kemudian bisa menjadi penyebab terjadikan KDRT yang mengakar.

K.P.Ronggolawe juga menemukan fakta lapang tentang faktor yang mempengaruhi perceraian yakni KDRT dimana korban ketika menikah usia dibawah 18 tahun. 

Karena pada usia tersebut anak belum matang dalam mengelola emosi, belum memahami cara mengurai permasalahan, belum mengetahui cara mengasuh anak dengan memberikan perindungan dan tumbuh kembang yang baik serta keterbatasan skill situasi tersebut semakin mempersulit anak sebagai orang tua untuk memperoleh kesempatakan pekerjaan dampaknya berakibat terjadinya KDRT dan berujung pada perceraian.

Angka perceraian di Kabupaten Tuban dalam kurun waktu Januari-April 2021 sebanyak 1.513 perkara dengan rincian bulan Januari 355, Februari 377, Maret 404 dan April 377. Menurut keterangan dari Bapak Qomarul Huda Panitera Muda PA Tuban yang kami kutip dari jatimsuara.com menjelaskan bahwa beberapa faktor yang mempengaruhi perceraian di Tuban, diantaranya meninggalkan salah satu pihak, pertengkaran secara terus menerus dan kekerasan rumah tangga (KDRT) hingga permasalahan ekonomi.

Oleh karena itu harusnya Pemerintah Daerah melalui P2TP2A mempunyai tanggungjawab menjalankan PERMA Nomor 5 Tahun 2019 Tentang Pedoman Mengadili Dispensasi Kawin yang tertuang dalam pasal 15 “d. meminta rekomendasi dari Psikolog atau Dokter/Bidan, Pekerja Sosial Profesional, Tenaga Kesejahteraan Sosial, Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A), Komisi Perlindungan Anak Indonesia/Daerah (KPAI/KPAD);” pasal 16 “h. mempertimbangkan kondisi psikologis, sosiologis, budaya, pendidikan, kesehatan, ekonomi anak dan orang tua.

Berdasarkan rekomendasi dari Psikolog, Dokter/Bidan, Pekerja Sosial Profesional, Tenaga Kesejahteraan Sosial, Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A) atau Komisi Perlindungan Anak Indonesia/Daerah (KPAI/KPAD) dan memberikan pendidikan bagi masyarakat tentang batasan usia perkawianan serta dampak perkawinan anak dengan mensosialisasikan UU PA dan UU Perkawinan kepada aparat desa, KUA dan masyarakat. [ali/ono]