Gubuk Reyot Kakek di Tuban Batal Dibedah Pemkab

Reporter : Ali Imron

blokTuban.com - Setelah orang tuanya meninggal 15 tahun lalu, Mbah Roto (54) kini hidup sebatang kara di gubuk reyotnya di Kelurahan Gedongombo, Kecamatan Semanding, Kabupaten Tuban.

Meski sendirian karena tidak memiliki istri dan anak, Mbah Roto masih memiliki hiburan empat ekor kambing. Kambing-kambing itulah yang siang malam menemaninya menjalani sisa hidupnya.

Kondisi gubuk reyot yang ditempati Mbah Roto, membuat prihatin Camat Semanding, Danarji. Ia terus berkoordinasi dengan Lurah Gedongombo soal warganya yang rumahnya tidak layak huni (RTLH)

"Setelah koordinasi dengan Lurah Gedongombo bahwa ada 179 RTLH yang kena refokusing termasuk Mbah Roto, ini sudah diusulkan lagi untuk masuk RTLH," ungkap Camat Danarji ketika dikonfirmasi blokTuban.com pada Senin (1/3/2021) siang.

Mantan Camat Bancar sejak awal berharap rumah Mbah Roto mendapat prioritas untuk dibedah. Adanya pandemi Covid-19 harapan tersebut belum terlaksana.

Terpisah, saat ditemui reporter blokTuban.com di rumahnya hari ini sekitar pukul 10.00 WIB, Mbah Roto nampak serius merawat kambingnya. Empat kambingnya terdiri dari dua indukan dan dua anakan berusia dua bulanan dan masih menyusu.

Rumah Mbah Roto sendiri kurang lebih berukuran 4x5 meter, beralaskan tanah dan berdinding anyaman bambu yang sudah lapuk. Saat hujan deras disertai angin, kebocoran terjadi dimana-mana. Untuk akta kelahiran dan surat penting lainnya disimpan di rumah saudaranya.

Saat memasuki ruang utama langsung bisa melihat kasur tempat istirahatnya Mbah Roto, dengan kondisi kasurnya sudah berjamur menandakan sudah lama tidak diganti.

Berhadapan dengan kasur, ada sebuah meja dan di atasnya ada beberapa alat makan dan minum seperti gelas, sendok dan piring. Di ruang belakang tidak ada dapur maupun kamar mandi.

"Harta benda hanya empat ekor kambing ini. Anak istri juga tidak punya," ujar Mbah Roto mengawali cerita kisah hidupnya.

Sudah 15 tahun lebih Mbah Roto hidup sebatang kara. Awalnya memiliki delapan saudara dan Mbah Roto menjadi anak bungsu atau terakhir. Tiga saudaranya telah meninggal beberapa tahun silam.

Rumah Mbah Roto berjarak kurang dari 100 meter dari Jalan Raya Manunggal Selatan dan dikelilingi rumah saudaranya. Untuk kebutuhan makan ada beberapa sumber, mulai kiriman dari keponakan, bantuan Pemkab sebesar Rp300 ribu per bulan, hingga menjual kambing saat kondisi mendesak.

"Seadanya dicukup-cukupkan meskipun kadang juga kurang," jelasnya mengakhiri.

Selain hidup yang serba terbatas, Mbah Roto tetap semangat. Asam urat yang sering kambuh juga membuat kaki kanannya bengkak dan susah berjalan. Sempat memakai tongkat untuk membantunya saat merawat kambing. [ali/sas]