Entri Data: Dipaksa Dulu, Budaya Kemudian

Masalah kurang entri data di sistem informasi Kejaksaan sudah lama terjadi. Ada tips mujarab, agar dikasih "minum" obat cap "paksa" seperti di Mahkamah Agung. Pasti ces pleng. Pimpinan setuju?

Oleh: Didik Farkhan Alisyahdi, SH., MH

Setelah benchmarking ke Mahkamah Agung (MA) akhir Desember 2019, saya dan Bang Andi Herman langsung menghadap Bapak Jaksa Agung. Melaporkan perbandingan sistem informasi penanganan perkara di Kejaksaan dan yang ada di MA.

Termasuk melaporkan entri data di MA di Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) bisa hampir 100% karena ternyata ada pemaksaan. Adalah Kepala Biro Hukum, Humas dan TI Mahkamah Agung Dr. Abdullah yang tegas mengatakan harus ada paksaan.

"Di MA bila kurang entri semua bisa direposisi. Terutama pimpinan unitnya. Dianggap tidak mampu memimpin," kata Dr. Abdullah.

Tanggapan Jaksa Agung positif. Sependapat agar dilakukan seperti yang di Mahkamah Agung. "Siapkan Surat Edaran, akan saya tandatangani," ujar Jaksa Agung saat itu.

Masalah IT, Jaksa Agung memang memberi perhatian khusus. Bahkan memasukkan IT masuk dalam 7 (tujuh) kebijakan strategis Kejaksaan. Tepatnya di point 4 kebijakan itu disebutkan: "Optimalkan pemanfaatkan IT dalam mendukung tugas penegakan hukum Kejaksaan".

Tak heran bila saat pelantikan (27/12/2019), di sesi pemberian ucapan selamat, Jaksa Agung kembali mengingatkan saya. Agar saya menyelesaikan semua permasalahan data digital penanganan perkara di tahun ini.

Baca juga: Entri Data Kejaksaan, Perlukah di Paksa?

"Didik, aku berharap masalah data penanganan perkara tuntas tahun ini. Tolong selesaikan," kata Jaksa Agung singkat seraya memberi ucapan selamat.

Pesan singkat ini berarti di tahun twenty-twenty ini entri data ditarget 100%. Berarti saya harus bisa menyembuhkan "penyakit menahun" kurang entri data tersebut. Sanggupkah?

Dengan semangat dan optimis saat itu saya menjawab, "Siap Bapak". Tidak ada keraguan sedikitpun saya menjalankan perintah itu.

Selesai pelantikan, saya mencoba "tes pasar". Minta feedback dari publik. Termasuk para Jaksa di daerah. Dengan membuat tulisan pendek soal rencana paksaan itu. Tulisan itu saya share di beberapa media sosial (Medsos). Judulnya, "Menanti Gebrakan IT Kejaksaan".

Tanggapannya luar biasa. Banyak yang mendukung pemaksaan dengan catatan, permudah entri. Ada memang yang menentang. “Alasannya, Jaksa bukan tukang administrasi," kata seorang Jaksa.

Satu pernyataan menarik dari seorang Jaksa bernama Iwan Artomoro. Salah satu Kasi di Kejari Bandung itu sepakat untuk fase keberhasilan perlu dilakukan 5 tahap. "Terpaksa, dipaksa, biasa, terbiasa dan budaya".

Tentang pemaksaan ini, saya teringat ketika ada kewajiban Jaksa melaporkan harta kekayaan tahun 2000. Lima tahun pertama, hanya 20% Jaksa yang membuat Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). Sudah dihimbau macam-macam dengan surat tetap saja tidak signifikan tambahan Jaksa yang melapor.

Baru ketika pimpinan mewajibkan Jaksa yang mau naik pangkat harus melampirkan bukti telah mengirim LHKPN langsung OK. Semua Jaksa ramai-ramai membuat laporan LHKPN.

Begitu juga tentang peraturan orang masuk bandara. Dulu, sebelum tahun 2015, bila masuk bandara orang hanya dicek jalan lewat X ray. Itu saja. Baru di akhir 2015 pihak otoritas bandara memberlakukan harus copot sabuk, jam tangan, jaket, sepatu dan lain-lain.

Saat pelaksanaan pertama banyak orang ribut. Merasa terganggu. Saya melihat sendiri, banyak orang "ngomel-ngomel" disuruh copot sabuk, jam tangan, jaket dan sepatu. Bahkan ada pejabat daerah marah-marah mau memukul petugas.

Padahal itu standart internasional ketika orang masuk bandara. Tapi, sekarang sudah jadi budaya. Tidak ada lagi orang yang marah-marah ketika disuruh buka jaket, jam tangan, sabuk atau sepatu. Termasuk pejabat sekalipun.

Atau ketika mulai tahun 2018, masuk tol harus bayar non tunai. Wajib pakai e-toll atau e-money. Semula juga banyak yang protes. Tapi begitu dipaksa diberlakukan 100%, sekarang sudah jadi budaya. Kemana-mana orang sudah siap e-toll atau e-money.

Rumuskan Berbagai Paksaan

Kembali ke masalah entri data di Kejaksaan. Apa saja yang perlu dipaksakan agar pegawai di korps Adhyaksa rela dan ikhlas entri data?

Lewat medsos saya banyak menerima urun rembug. Ratusan pegawai kirim saran. Bahkan banyak yang japri. Intinya, usul pertama, agar angka kredit (AK) untuk naik pangkat Jaksa diambil dari data di CMS.

Saya sudah koordinasi dengan Kepala Biro Kepegawaian (Karopeg) Bu Katarina. Disepakati diberlakukan mulai kenaikan per 1 Oktober 2020. Berarti mulai Januari 2020 Jaksa harus sudah rajin entri data perkara yang ditangani.

Usul kedua, semua produk surat dan fomulir penanganan perkara harus berbarcode. Di CMS bila sudah entri data akan keluar QR code (barcode). Jadi Kajati/Asisten dan Kajari/Kasi harus "dipaksa" jangan tanda tangan bila surat/formulir belum ada QR code-nya.

Bahkan ada usul lebih ekstrim lagi: membuat surat ke Pengadilan se-Indonesia agar menolak pelimpahan perkara bila surat dakwaan dan surat pelimpahan yang tidak ada barcode-nya.

Usul ketiga, dalam penilaian WBK dan WBBM, persentase entri data menjadi point utama penilaian. Bapak Wakil Jaksa Agung lewat Kabag Reformasi Birokrasi Riono sudah sepakat. Nilai entri CMS termasuk menjadi nilai yang menentukan.

Usul keempat, kinerja pegawai mulai staf, Kasubsi, Kasi, Kajari, Asisten dan Kajati dapat dievaluasi dari kinerja entri data. Terutama pimpinan unit kerja dapat direposisi bila gagal mencapai target entri data. Ini Jaksa Agung sudah setuju.

Kelima, ada usul lebih ekstrim lagi yaitu mengkaitkan pencairan anggaran perkara dengan entri data. Artinya, basis pencairan anggaran dari data entri data.

Misal, walau sesuai anggaran ada 100 perkara yang bisa dicairkan, namun karena yang dientri hanya 10 perkara, maka yg bisa dicairkan hanya 10 perkara. Ini masih koordinasi dengan biro perencanaan.

Wuih yang terakhir cukup sadis memang. Tapi itulah yang namanya usul.

Keenam, ada usul agar jajaran di Jaksa Agung Muda Pengawasan saat inspeksi dan pemantauan di daerah menjadikan entri data CMS sebagai obyek pemeriksaan.

Terakhir, ada pertanyaan ke Medsos saya, bagaimana nasib aplikasi-aplikasi "lokalan" yang sudah dibuat di beberapa Kejari/Kejati akhir-akhir ini?

Karena data-data di aplikasi "lokalan" itu tidak bisa conect dengan CMS, terpaksa dengan tegas harus disampaikan yang digunakan ke depan hanya ada satu yaitu CMS. Tidak ada yang lain. Apalagi sudah diputuskan, data di CMS yang sudah resmi akan dipakai dalam SPPT TI di Menko Polhukam.

Jadi nanti oleh Daskrimti: CMS akan dikembangkan untuk semuanya. Mendukung semua bidang. Maka taglinenya: "CMS, satu untuk segalanya". Termasuk bisa untuk mereposisi jabatan pegawai?

Salam: "Entri... entri... entri... asyik" [Kang DF]

*Kapus Daskrimti Kejaksaan Agung.