‘Sesat Pikir’ atas Media Siber
 
Oleh: Muhammad Abdul Qohhar*
 
Pagi sangat cerah, seperti hari-hari sebelumnya. Tapi saat tengah menikmati kopi panas, beberapa pesan masuk berantai dengan disertai gambar tulisan pemimpin koran lokal. 
 
Melihat sekilas, bibir ini tidak diperintah telah senyum-senyum sendiri. Sebab, ada tulisan pesan yang menganggap sajian di koran tersebut “sesat pikir” terhadap media online atau lebih tepatnya media siber.
 
“..... Karena berita online dan digital kini dinilai banyak kalangan punya kredibilitas rendah. Terbanyak hoax-nya”.
 
Tulisan itu hanya sekelumit yang membuat bibir tersenyum. Sebab tidak menyebut di antara, oknum media online, salah satu, salah dua atau minimal sebagian. 
 
Gebyah uyah kata orang Jawa. Apakah semua media online tidak kredibel? Sama juga pertanyaanya, apakah koran sekarang dan terutama yang lokal kredibel? Jawabnya belum tentu juga.
 
Mengukur Kredibilitas Media
 
Agar tulisan ini nantinya tidak “dianggap” sesat pikir, maka memandang media online/siber tidak kredibel dengan memakai “tameng” dengan kata “penilaian banyak kalangan” terlebih dahulu harus memahami apa itu kredibel.
 
Sejumlah literasi menyebut, kredibilitas selalu disandingkan dengan kata integritas karena memang kedua sifat ini terbentuk dari kepercayaan orang lain pada kemampuannya. 
 
Akan tetapi, keduanya merupakan hal yang berbeda layaknya buah apel, kredibilitas merupakan kulit apel yang memiliki manfaat dan bisa menarik minat pembelinya. Sedangkan daging buah apel adalah integritasnya.
 
Jadi bisa disimpulkan bahwa kredibilitas berkaitan erat dengan cara kerja dengan menggunakan otak yang berhubungan dengan keterampilan, keahlian, intelegensi, dan hard skillnya.
 
Sedangkan integritas memiliki sistem kerja yang dimulai dari hati yang berhubungan dengan ketulusan, kejujuran, keinginan yang kuat, dan konsistensi terhadap tujuan.
 
Terdapat dua unsur yang membangun kredibilitas seseorang yakni kapabilitas atau kemampuannya dan pengalaman yang dimilikinya. 
 
Dalam sebuah pekerjaan kedua sifat ini sangatlah penting karena dengan memiliki kapabilitas dan pengalaman menjadi modal pekerjaan tersebut sudah berada di tangan ahlinya.
 
Dari definisi kredibilitas tersebut di atas, jika memandang semua media online, atau bahasa di Dewan Pers menggunakan Media Siber, tidak kredibel, jelas kurang tepat dan cenderung sesat pikir. 
 
Karena, di Jakarta pada 3 Februari 2012 telah ditandatangani Pedoman Media Siber oleh Dewan Pers dan komunitas pers. Tujuan utama pedoman tersebut karena media siber memiliki karakter khusus. 
 
Sehingga memerlukan pedoman agar pengelolaannya dapat dilaksanakan secara profesional, memenuhi fungsi, hak, dan kewajibannya sesuai UU Nomor 40 Tahun 1999.
 
Pedoman tersebut menjelaskan dengan gamblang tata aturan pemberitaan di Media Siber menjadi pegangan seluruh perusahaan Media Siber, termasuk di lokal Bojonegoro maupun Jawa Timur. 
 
Dan bahkan skala nasional. Pedoman tersebut tertempel di halaman Media Siber masing-masing.
 
Tidak salah memang jika media online yang disebut banyak hoax itu mencakup juga media sosial (medsos), tapi perlu dipahami jika media online di sini adalah media siber yang diatur oleh Dewan Pers. 
 
Bahkan, untuk memerangi hoax tersebut, Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) bergerak bersama dengan #CekFakta.
 
Bagaimana dikatakan tidak kredibel? Apa ukurannya? Apakah hanya koran saja yang menerapkan cara bertingkat atau seleksi, untuk sampai berita bisa tayang? 
 
Perlu diketahui di media online/siber hal tersebut juga menjadi kewajiban, ada editor sebagai penyunting naskah dan bahkan redaktur pelaksana hingga Pemimpin Redaksi ikut mengulik berita-berita sebelum tayang.
 
Sebenarnya kekuatan dari kredibilitas bisa dilihat dari proses dari mencari atau mengumpulkan sampai memberitakannya. 
 
Apa itu: Verifikasi fakta. Makanya yang membedakan media online dan non media (media sosial) adalah verifikasinya. Bisa dibilang bukan medianya, tapi proses pembuatan beritanya.
 
Televisi, radio dan koran, kalau tidak ada verifikasi yang baik, benar dan jelas, sama saja juga sampah. 
 
Karena setiap informasi yang diverifikasi, bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Itulah makanya media sosial bisa lebih cepat karena belum tentu bisa dipertanggungjawabkan. 
 
Membatasi kualitas pada jenis media adalah sebuah kenaifan intelektual. Karena berita kredibel bisa ada di mana saja, bergantung pada seberapa kuat fakta yang ada telah diverifikasi. Sehingga bisa dipertanggungjawabkan kebenaran dan kualitasnya.
 
Aneh bin ajaib memang jika menganggap semua media online tidak kredibel dan banyak hoaxnya. Pikiran dangkal dan tanpa dasar. 
 
Sebab, secara verifikasi media dan kompetensi wartawan/reporter, Dewan Pers telah menentukan syarat yang ketat. 
 
Semua pembaca atau masyarakat bisa langsung mengecek sendiri di laman website www.dewanpers.or.id, mulai nama media yang terverifikasi hingga kompetensi wartawan. 
 
Belum semua media, baik siber, televisi, radio dan bahkan koran terverifikasi Dewan Pers. Apakah koran lokal di Bojonegoro atau sekitarnya semuanya telah terverifikasi Dewan Pers? Silahkan cek sendiri di laman website Dewan Pers. 
 
Jadi, penentuan kredibilitas seharusnya bisa lebih arif, karena penalaran dan pengambilan sudut pandang yang kurang pas, akan malah membuat malu di era keterbukaan seperti sekarang ini. 
 
Masyarakat telah mulai pandai membedakan mana media yang kredibel atau tidak. Termasuk koran maupun online/siber. 
 
Dulu jika masih ingat atau mungkin perlu diingatkan, sempat ramai koran “kuning”, apakah itu juga kredibel? Belum tentu juga. 
 
Sangat diperbolehkan dan sah-sah saja membuat klaim media atau perusahaan sendiri terbaik, tapi tidak harus “menjatuhkan” milik orang lain. 
 
Dan jika memang diperlukan, harus berbasis data yang bisa dipertanggungjawabkan di era keterbukaan publik dan semua masyarakat bisa mengakses. 
 
Atau mungkin sudah yakin dan pasrah, media cetak tidak terbaca hingga desa-desa di era serba online/siber?
 
*Koordinator Daerah (Korda) Mataraman, Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Jatim.