Belajar Keberagaman dari Tuban Bumi Wali

Oleh: Sri Wiyono 

blokTuban.com - Beberapa hari ini, terdengar rebut-ribut di Klenteng Kwan Sing Bio Tuban. Tempat ibadah Tri Dharma yang konon terbesar se Asia Tenggara ini. 

Ribut-ribut soal kepengurusan satu-satunya Klenteng yang menghadap ke laut lepas tersebut soal kepengurusan. Masa bhakti pengurus lama sudah habis, dan belum dibentuk kepengurusan yang baru.

Soal ini, membuat Pemkab Tuban harus turun tangan. Sebab, Juli adalah bulan ulang tahun Klenteng Kwan Sing Bio. Biasanya dirayakan besar-besaran.

Ada kirab Kong Cho yang diikuti tempat-tempat ibadah Tri Dharma dari seluruh pelosok negeri. Bahkan, umat Tri Dharma dari negeri sendiri saja yang datang. Sebab, tak jarang umat Tri Dharma dari negeri seberang hadir. 

Ulang tahun Klenteng menjadi sangat meriah setiap tahun. Hanya, tahun ini nampaknya tak segebyar tahun-tahun sebelumnya, akibat belum ada kepengurusan yang baru itu.

Tak kunjung dibentuknya kepengurusan baru ini, dimungkinkan adanya konflik di internal umat Tri Dharma di klenteng tersebut. Konflik sudah terjadi bertahun-tahun lalu. 

Pemkab sudah memfasilitasi pertemuan antara kubu yang berseteru dengan menggelar acara di pendapa kabupaten. Begitu juga Polres Tuban juga melakukan hal yang sama beberapa hari kemudian. Semoga persoalan cepat rampung.

Saya menyinggung soal klenteng karena tempat ibadah itu sempat menjadi berita heboh nasional. Akibat patung Kongco Kwan Kong setinggi 30 meter yang berdiri di halaman belakang klenteng.

Ada pihak yang menolak, bahkan berusaha untuk membenturkan masyarakat atas dasar keyakinan. Yang ribut justru orang di luar Tuban.

Ada juga yang demo mendesak patung salah satu dewa bagi warga penganut Tri Dharma itu dirobohkan. Sedangkan warga Tuban sendiri adem ayem. 

Tentu saja kami, yang tinggal di kota yang damai di pesisir utara (pantura) ini terkaget-kaget. Betapa tidak, kami yang di Tuban saat itu justru adem ayem, tak berisik apalagi ada gesekan.

Patung itu sudah berdiri cukup lama, sebelum diresmikan pada 2017 dan kemudian memicu reaksi netizen itu.

Bermain di klenteng, bagi warga Tuban bukan hal yang aneh. Bangunan-bangunan unik yang ada di tempat ibadah Tri Dharma itu banyak menarik minat masyarakat untuk datang.

Aku dan anakku yang masih duduk di Taman Kanak-Kanak (TK) hampir setiap hari memandang patung itu ketika mengantar anak ke sekolah. 

Bahkan, kadang-kadang anakku kangen dengan Barongsay dan Liong yang disimpan dalam ruangan kaca di salah satu bangunan di dalam klenteng, anakku mengajak masuk klenteng. 

Juga menikmati bermain di dalam perut patung Naga dan Harimau raksasa di taman belakang.

Jangan heran ketika banyak perempuan berjilbab masuk klenteng. Tak terhitung muslim yang keluar masuk memikmati indahnya bangunan dan asrinya taman.

Jika mau, pengunjung juga bisa bersantap di dapur umum klenteng. Yang memasak? Jangan kuatir. Juru masaknya adalah perempuan-perempuan muslim.

Sebagian berjilbab, dan tentu tahu harus memasak bagaimana untuk menu pengunjung muslim.

Tiap Ramadan klenteng ini juga menyediakan ratusan takjil untuk para muslim yang berpuasa. Tentu takjil itu dibagikan gratis. Yang membagikan adalah para petinggi klenteng yang tentu bukan orang sembarangan.

Maka, kebersamaan dan toleransi macam mana lagi yang dibutuhkan. Sejauh hidup di Tuban yang sekarang menyatakan sebagai Bumi Wali, belum pernah saya mendengar dan mengetahui terjadi benturan atau gesekan dengan alasan SARA atau pertentangan agama. 

Kami sangat toleran. Keberagaman bagi kami, warga Tuban dinilai sebagai sebuah keniscayaan, sunatullah dan memang harus terjadi. Kami terima dengan lapang dada. Sehingga, kami bisa hidup berdampingan dengan damai.

Soal keberagaman ini, Maulana Makhdum Ibrahim, putra Sunan Ampel yang dikenal sebagai Sunan Bonang itu, ratusan tahun silam  sudah memaklumi.

Sunan Bonang mengajari warga Tuban untuk menerima dan menjalani kehidupan dalam keberagaman itu dengan damai, ratusan tahun yang lalu. Ada ragam agama, budaya, adat dan tentu saja keyakinan.

Jika Anda punya kesempatan dan berkenan, tengoklah museum kota kami, Kambang Putih di dekat Alun-Alun Kota. Di sana, Anda akan menemukan koleksi bagaimana ajaran luhur tentang menghargai perbedaan itu disimpan. 

Selain koleksi-koleksi kitab-kitab kuno dan jejak peninggalan wali yang disimpan, ada bukti fisik yang mendukung ajaran moderat sang Sunan tersebut. 

Ya, museum Kambang Putih mempunyai koleksi unggulan atau masterpiece berupa Kalpataru, yang berwujud kayu, menyerupai sebatang pohon dengan empat cabang yang berukir.

Di atasnya disambung balok kecil. Semuanya terbuat dari kayu jati. Kayu ini adalah tiang penyangga atau soko tunggal pendopo rante dari kompleks makam Sunan Bonang. 

Selain barang langka, Kalpataru itu juga berusia tua. Berdasarkan hasil uji laboratorium, Kalpataru itu dibuat pada era tahun 1445 sampai 1525.

Uji laboratorium itu dilakukan pada 8 Agustus 2014 di Beta Analytic Radiocarbon Dating Laboratory di Miami, Florida Amerika Serikat. T

es menggunakan Carbon-14 untuk menentukan kronologi umur pasti dengan teknik penghitungan waktu radiocarbon.

Dalam Kalpataru tersebut, terukir berbagai bentuk tumbuhan, binatang, serta bangunan suci empat agama,yakni Islam, Hindu, Budha dan Tri Dharma.

Ini adalah bukti ajaran Sunan Bonang yang ingin berkehidupan yang harmoni, hidup berdampingan meskipun berbeda kepercayaan. Kalpataru berarti pohon harapan.

Jadi, pohon itu adalah lambang harapan Sunan Bonang agar masyarakat bisa hidup berdampingan dengan aman dan damai. 

Jika Anda menilai saya membual, coba datang dan buktikan sendiri. Tanya petugas museum di sana, maka mata Anda akan terbelalak betapa sangat dalam makna dari simbol-simbol yang diciptakan Sunan Bonang tersebut.

Itulah ajaran yang dikembangkan Sunan yang makamnya terletak di belakang Masjid Agung Tuban tersebut. Karena ajarannya yang luwes dan tidak membedakan golongan dan asal usul, Islam yang dibawa putra Sunan Ampel ini menarik perhatian masyarakat. 

Sehingga, banyak pengikutnya. Karena masyarakat tidak merasa terjajah dan diintimidasi Islam. Namun Islam bisa selaras dan menyelami budaya masyarakat. Dan, warga Tuban sangat memahami itu, dan menikmati keberagaman tersebut. 

Kalau boleh, kami sebagai warga Tuban mengaku sebagai anak cucu Sunan Bonang, maka kakek buyut kami itu sudah sedemikian lama mengajari kami untuk toleran dan tidak mempertentangkan keyakinan.

Karena itu, tengoklah toleransi di Kota Tuban. Semua umat bisa beribadah dengan leluasa dan nyaman serta aman. Pemerintah menjalin keamanan dan kenyamanan. 

Banyak ras atau suku hidup damai berdampingan. Ada kampung Arab, kampung Pecinan atau Tionghoa, dan tentu masyarakat Jawa sebagai penduduk asli.

Di tengah brand Tuban Bumi Wali, karena memang tak terhitung makam-makam para wali bersemayam di bumi Tuban. Namun, tempat ibadah agama-agama lain juga berdiri megah dan menawan. Tanpa ada saling mengganggu. 

Toleransi, menerima perbedaan, hidup harmoni terus terjaga hingga ini. Negeri ini milik semua warga negaranya. Bukan milik satu golongan.(*)