Kenapa Harus Dibahas di Luar Kota ?

Oleh: Sri Wiyono

blokTuban.com -ITULAH bahan rasan-rasan yang menjadi topik menarik sejak minggu kedua Juli kemarin. Dan, soal pembahasan di luar kota itu, nampaknya masih hangat untuk dibahas sampai akhir bulan. Sebab, pembahasan di luar kota itu masih akan dilakukan sampai akhir bulan ini.

Seperti biasa, terjadi pro dan kontra. Setuju atau tidak setuju. Dan masing-masing pilihan menawarkan argumentasi untuk mendukung pilihannya. 

Ya, pembahasan (yang ternyata) kebijakan umum anggaran (KUA) plafon prioritas anggaran sementara (PPAS) untuk APBD 2020 yang dilakukan DPRD bersama organisasi perangkat daerah (OPD) itu memantik reaksi. 

Sebab, pembahasan itu dilakukan di luar kota, luar provinsi dan di sebuah hotel. Bukan hanya satu dua hari saja. Karena berhari-hari lamanya.

Pemborosan !! Tidak efisien !! Buang-buang anggaran !! Berfoya-foya dengan uang rakyat !! Gaya hidup mewah DPRD !! dan entah kata-kata bernada protes dan sinis apalagi yang meluncur dari banyak mulut masyarakat.

Setidaknya, kata-kata di atas menggambarkan betapa kesalnya masyarakat melihat tingkah para wakilnya dalam melaksanakan kewajibannya. Mengapa harus di luar kota? Begitu tanya mereka.

Keluhan dan protes  sebagian masyarakat itu seolah diwakili oleh para aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Tuban yang kapan hari menggelar aksi protes di gedung DPRD.

‘’Dipandang dari kaca mata manapun, kegiatan itu jelas pemborosan. Tidak patut,’’ ujar kawan saya, aktivis kawakan, ketika sedang ngopi bareng.

Dan, pendapat bahwa kegiatan DPRD untuk membahasa KUA PPAS di luar kota itu adalah sebuah pemborosan menjadi pendapat umum. Baik yang pernah menjadi aktivis maupun bukan.

Benarkah pemborosan? Mari kita coba telusuri bersama. Sebab, kalangan DPRD, sekretariat bahkan Ketua DPRD punya alasan sendiri yang menganggap pembahasan KUA PPAS di luar kota itu harus dilakukan.

Awalnya beredar undangan kegiatan DPRD di Jogjakarta. Undangan itu selama tiga hari mulai 11 sampai 13 Juli 2019. Dan, pada 13 Juli itu dijadwalkan paripurna DPRD. 

Mulailah muncul perdebatan. Di kalangan wartawan Tuban, komentar dengan nada menyindir bertebaran di media sosial. Dari grup ke grup. Tak peduli itu grup yang ada para pejabatnya maupun grup intern wartawan.

Bahkan, di WA grup yang melibatkan sekretariat DPRD juga dibanjiri dengan sindiran-sindiran itu. 

‘’Siap-siap liputan paripurna di Jogja Lur..,’’ begitu salah satu sindiran yang dilontarkan kawan-kawan wartawan.

Dan ndilalah kok tidak ada yang mengajak lipuran ke Jogja, sehingga kawan-kawan wartawan hanya membayangkan saja liputan di hotel mewah tempat para wakil rakyat itu bersidang hehehe…..

Satu kawan wartawan  agak usil. Dia mencoba browsing harga sewa kamar hotel yang dijadikan tempat kegiatan. Melalui sebuah situs booking kamar, disebutkan, harga kamar mencapai Rp 1,4 juta lebih per malam.

Hasil browsingnya discreenshot dan diunggah di grup WA Pers DPRD. Komentarpun ramai. Salah satunya dari bagian humas sekretariat DPRD yang menyebut jika harga sewa kamar bukan Rp 1,4 juta. Namun, hanya Rp 1 juta lebih sedikit. 

‘’Itu mungkin pas peaktime mas. Harga kemarin Rp. 1.099.000,’’ begitu komentar bagian humas DPRD.

Dengan data ini, bisa dihitung berapa biaya menginap untuk 50 orang anggota DPRD. Ditambah staf dan pimpinan sekretariat DPRD yang ngurusi sidang-sidang. Jumlahnya sekitar 10-15 orang. 

Karena hampir mustahil anggota dewan yang terhormat ditempatkan 1 kamar 2 orang atau lebih. Sudah bisa dibayangkan jumlahnya. 

Misalnya 50 kamar untuk anggota DPRD dan 10 kamar (bisa lebih) untuk sekretariat DPRD. Dengan harga Rp 1 juta sudah Rp 60 juta per hari. Dikalikan 3 hari ketemu  Rp 180 juta. 

Itu baru untuk urusan tidur. Karena masih ada biaya untuk makan minum, uang saku anggota DPRD, transport serta dana untuk secretariat. Untuk satu anggota DPRD rata-rata Rp 2 juta per hari untuk kunjungan ke luar kota luar provinsi. Jika untuk secretariat setengahnya saja, bisa dihitung berapa yang harus dibayarkan. 

Beberapa kawan yang biasa menangani kegiatan kedinasan di luar kota, dengan peserta dalam jumlah tersebut, setidaknya butuh Rp 400 juta sampai Rp 450 juta per hari.

Ambil jumlah terkecil Rp 400 juta per hari. Dikalikan 3 hari sudah ketemu Rp 1,2 miliar. Ini belum biaya yang dikeluarkan pimpinan OPD atau tim yang mewakiliki OPD dalam pembahasan tersebut. Berapa juta lagi yang dihabiskan?

Dana miliaran itu, bisa dihemat jika pembahasan dan paripurna dilakukan di gedung DPRD Tuban sendiri. Toh, gedung di pojokan bundaran Patung Letda Sucipto itu juga masih mentereng, megah dan sangat layak.

Usai dari Jogjakarta, pembahasan dilanjut ke Semarang. Di Kota Atlas ini, para wakil rakyat menggelar pembahasan di hotel MG Setos. Jadwalnya 17-20 Juli 2019. Kembali selama 3 hari pembahasan dilakukan. 

Jika hitungannya sama dengan biaya di Jogjakarta, artinya kembali dana Rp 1,2 miliar dikeluarkan. Sehingga hanya untuk ‘pelesir’ membahas KUA PPAS uang rakyat Rp 2,4 miliar dikeluarkan. 

Sebuah ironi di tengah pemangkasan anggaran banyak kegiatan dengan dalih efisiensi. Ketika rakyat dihadapkan pada fakta seperti ini, layaklah banyak ungkapan yang terlontar.

Maka, dalam diskusi di sebuah grup WA yang di sana ada Ketua DPRD suasana agak serius ketika membahas protesnya aktivis PMII di gedung DPRD. 

Saya menjadi bagian dari suara yang setuju atas demo tersebut. Alasan saya sederhana, bahwa para aktivis mahasiswa harus dijaga sikap kritisnya. Agar terus belajar menyuarakan kebenaran sesuai pandangan umum.

Bahwa para pemuda berjiwa muda itu harus diluruskan ketika ada hal-hal yang menyimpang dari aksi yang dilakukan. Maka kewajiban para seniornya untuk membimbing. Namun sikap kritis dan jiwa berani aktivis tak harus dimatikan. Meski terkadang harus mengritik seniornya sendiri hehehe...

Maqom aktivis memang berada pada jiwa-jiwa kritis dan terkadang frontal seperti itu. Maka, para senior yang harus memandu agar para aktivis itu ‘tersesat ke jalan yang benarhehehe…

Ketika saya bertemu langsung dengan Ketua DPRD Tuban secara tidak sengaja,  saya menerima penjelasan dan alasan kenapa DPRD harus membahas di luar kota.

Saat itu, bersama sejumlah kawan memenuhi undangan syukuran salah satu kawan yang terpilih menjadi Kades. Di hadapan banyak orang, Ketua DPRD memberi argumentasi dan alasan.

Intinya, pembahasan di luar kota dan di satu hotel agar pelaksanaan pembahasan efektif. Alasannya, pada pemilu April lalu, dari 50 anggota DPRD, yang terpilih kembali hanya 24 orang. Sedangkan yang 26 tidak terpilih lagi.

Jika pembahasan dilakukan di gedung DPRD Tuban, kata Ketua DPRD, dikhawatirkan banyak yang tidak masuk alias membolos. Sehingga tidak kuorum. Padahal pembahasan KUA PPAS harus segera selesai.

Padahal faktanya, tidak semua anggota DPRD hadir. Karena yang terpilih lagi juga ada yang tidak hadir. Dan tidak semua yang tidak terpilih lagi juga hadir. 

Ketika alasan ini saya sampaikan ke kawan-kawan, banyak yang tidak mau menerima alasan itu. Kata mereka, ketika masih tercatat sebagai anggota DPRD wajib hukumnya menjalankan tugas dan fungsinya. Meskipun tidak terpilih lagi untuk periode selanjutnya.

Ternyata, episode membahas KUA PPAS di luar kota itu masih akan berlanjut. Kabarnya, kegiatan akan kembali dilaksanakan di Jogjakarta. Kemungkinan juga tiga hari lagi. Selentingan yang berkembang, kegiatan dimulai Kamis 25 Juli 2019 besok.

Maka bisa dibayangkan dana APBD akan keluar lagi Rp 1,2 miliar. Belum biaya dari pimpinan OPD-OPD. 

Semoga karena informasi sudah bocor duluan, kegiatan itu dibatalkan. Dan pembahasan lanjutan KUA PPAS  digelar di gedung DPRD Tuban sendiri.

Jika tetap dilakukan, Rp 3,6 miliar dana yang terbuang cuma-cuma. Jika dana itu untuk memberi beasiswa anak-anak miskin, sudah ribuan kepala yang terselamatkan pendidikannya.

Dana Rp 3,6 miliar itu, bisa untuk membiayai 4.500 siswa SD. Sesuai bantun operasional sekolah (BOS) Rp 800 ribu per siswa per tahun. Atau bisa membantu 3.600 siswa SMP dengan asumsi biaya Rp 1 juta per siswa per tahun.

Jika untuk siswa SMA, bisa membantu 2.500 anak dengan asumsi biaya sesuai BOS Rp 1,4 juta per siswa per tahun. Siswa SMK yang asumsi biayanya Rp 1,6 juta per tahun per siswa, bisa terjaring 2.250 orang dari dana ini.

Untuk sekolah luar biasa (SLB) dari jenjang SD, SMP, SMA dan SMK asumsi biayanya Rp 2 juta per tahun per siswa. Maka bisa membantu 1.800 siswa berkebutuhan khusus, andai dana itu dialokasikan untuk mereka.  Wallahu a’lam.[*]