Membangun Narasi Positif dan Menebar Optimisme

Oleh Sri Wiyono

blokTuban.com - CERITA semakin seru. Adegan demi adegan silih berganti. Dan cerita tentang Pemilu Raya ini masih sangat menarik. Dan, saya kembali tergelitik untuk menulis. Maafkan saya tak bisa menahan diri hehehe...

Kedua kubu sudah saling klaim. Ada yang sudah tiga kali klaim plus syukuran. Ada juga yang klaim menang namun dengan cara santun. 

Bahkan, memegang prinsip kehati-hatian dan banyak memberi apresiasi atas pilihan rakyat dan pelaksanaan pemilu yang aman, damai serta lancar. Apresiasijuga diberikan untuk penyelenggara dan semua komponen yang membantu, termasuk pengamanan.

Apresiasi pemilu damai ini juga diberikan dunia internasional. Dengan cakupan wilayah luas dan penduduk yang jutaan orang, bisa menyelenggarakan pemilu dengan damai memang prestasi tersendiri. 

Masih banyak kekurangan; ‘’wajaarrr….,’’ begitu kata Pak Dul youtuber terkenal dengan jargon ; ahlinya ahli, intinya inti dan core of the core itu hehehe. Dari kekurangan itu ada evaluasi untuk perbaikan-perbaikan ke depan.

Bahwa kedua capres sudah menerima ucapan selamat dari para pendukungnya, para koleganya, bahkan pimpinan negara lain sudah banyak yang mengucapkan selamat pada salah satu pasangan adalah fakta. 

Namun itu masih saling klaim karena penetapan resmi belum ada. Saya pribadi sebetulnya ngeri melihat kondisi saat ini, utamanya dukung mendukung dan situasi pascacoblosan 17 April lalu. Suasana lebih gaduh saya rasa. Di sana-sini obrolan tentang hasil coblosan tiada henti.

Aha…dunia media sosial (medsos) juga tak banyak berubah. Hanya mungkin intensitasnya yang agak berkurang. Namun tetap, terjadi kontestasi antarpendukung pasangan calon presiden. Mereka tetap pada keyakinan masing-masing bahwa calon yang didukungnya lah yang menang.

Yakin boleh. Harus bahkan bagi calon itu sendiri dan para pendukungnya. Keyakinan akan memunculkan optimisme. Optimisme harus dipunyai untuk memeluk mimpi tentang apapun yang dihajatkan.

Namun keyakinan harus melihat realita. Begitu tulis saya dalam sebuah balasan atas komentar kawan saya di postingan yang saya unggah. Lalu ada kawan saya yang kebetulan pendukung salah satu pasangan capres menanyakan realita yang mana dalam komentarnya.

Saya sampaikan realita yang saya maksud adalah hasil pilpres versi KPU yang sudah diumumkan dan ditetapkan secara resmi. Selama belum ada penetapan KPU siapa yang menjadi pemenang pilpres belum ada, semua hanya klaim-klaim saja. Tidak sah secara hukum dan tidak bisa berlaku umum. 

Artinya, kemenangan versi masing-masing pasangan ya untuk kelompok mereka saja. Tidak bisa dipaksakan untuk seluruh rakyat Indonesia. Jika penetapan itu dilakukan KPU, sebagai lembaga yang diberi mandat untuk menyelenggarakan KPU berlaku umum dan nasional.

Demokrasi tetap harus memakai aturan. Tidak bisa saling memaksakan kehendak pada pihak lain. Sebagaimana saya tidak boleh memaksa ibu negara alias istri saya untuk mencoblos pasangan seperti yang saya coblos.

Karena itu, sampai detik ini saya juga tidak tahu istrinya salah memilih pasangan capres mana. Dia tak bercerita, saya pun tak memberitahu siapa capres yang saya coblos. Hanya, istri saya berkelakar soal calon anggota DPD.

‘’Karena tidak ada yang saya kenal, maka saya coblos yang fotonya paling ganteng,’’ katanya. 

Beruntunglah calon DPD yang fotonya paling ganteng itu, karena dicoblos istri saya. Jika para emak mempunyai pola pikir yang sama dengan istri saya, maka satu lagi syarat calon anggota DPD; harus ganteng agar dipilih emak-emak yang jumlahnya lebih banyak dari bapak-bapak itu hahaha….

Kenapa harus KPU? Ya, karena KPU adalah lembaga yang diberi wewenang untuk menyelenggarakan pemilu. Berwenang untuk membentuk organ sampai ke tingkat bawah. Mulai KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, PPK di tingkat kecamatan, PPS di tingkat desa/kelurahan, sampai KPPS yang melaksanakan pemungutan suara di TPS.

Kewenangan mereka dijamin undang-undang. Mereka tak bisa diintervensi, sebagaimana KPU yang bersifat nasional, tetap dan mandiri sesuai pasal 1 ayat 8 UU nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu.

Jika kemudian banyak upaya membenturkan KPU dengan masyarakat, banyak opini digiring bahwa seolah-olah KPU bermain, bahkan jika ada upaya mendelegitimasi atau membuat KPU sebagai lembaga tidak dipercaya lagi, ini bahaya. Dan harus dilawan.

Dan, banyak kalangan menduga upaya-upaya tersebut ada dan dilakukan. Misalnya banyaknya narasi negatif yang berkembang sebelum coblosan. Bagaimana banyaknya kasus dugaan penyelenggara pemilu bermain, yakni dengan temuan surat suara yang sudah tercoblos untuk pasangan tertentu.

Ada pemilih yang mengaku tidak menerima undangan mencoblos (C6) dan sebagainya. Kemudian usai coblosan, banyak muncul dugaan kecurangan. Misalnya penjumlahan suara yang salah. Suara pasangan tertentu dikurangi dan ditambahkan ke pasangan lain, dan sebagainya dan sebagainya.

Belum lagi tudingan-tudingan pada lembaga survei yang kebetulan hasil hitung cepatnya menyatakan salah satu pasangan unggul. Bahkan pasangan capres sudah saling klaim menyatakan menang dan ada yang menyatakan dirinya presiden. Padahal penetapan KPU belum ada, dan timnya juga menyatakan masih menunggu penetapan KPU.

Semua itu bisa menyebarkan narasi negatif. Harus dibendung karena membuat masyarakat bingung. Mana hasil coblosan yang benar tidak jelas. Siapa yang harus dipercaya juga kabur, karena begitu gencarnya kontestasi pendukung di lapangan. Di sinilah masyarakat harus arif, berfikir jernih dan mengembalikan semua persoalan pada regulasi yang ada.

‘’KPU tidak ada benarnya bagi calon yang kalah,’’ begitu kata Prof Mahfud MD, ahli hukum tata negara dan mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) dalam satu wawancara di televisi.

‘’Siap-siap saja KPU diserang, digugat dan sebagainya,’’ begitu lanjut guru besar UII Jogjakarta ini. Kemudian tokoh kelahiran Madura itu menyebut satu persatu nama-nama Ketua KPU yang pernah digugat.

Karena itu, narasi positif harus dikembangkan. Terus disebar sehingga menjadi virus positif di masyarakat. Masyarakat harus diberi rasa optimis. Karena negara tanpa optimisme tak bisa maju. Rakyat tanpa rasa optimism justru akan menghambat cita-cita negara untuk memajukan dan memakmurkan rakyatnya.

Maka optimis dan narasi positif ini penting. Para tokoh masyarakat, ulama, kiai atau apapun namanya bisa mengembangkan narasi positif itu dengan mengajak masyarakat kembali pada konteks persoalan. Jika hasil coblosan harus menunggu penetapan KPU, tidak usah melebar ke mana-mana.

KPU bermain, KPU tidak jujur, KPU partisan dan sebagainya. Ini tuduhan wajar, manusiawi sebagaimana kata Prof Mahfud MD di atas. Bahwa pihak yang kalah akan mencari kambing hitam adalah wajar. 

Bagaimana dia merasa kalah atau menang, kan penetapan KPU belum ada? Ini yang harus disampaikan ke publik agar masyarakat juga bisa berfikir cermat. Indonesia adalah negara hukum, sehingga segala sesuatu diselesaikan sesuai dengan mekanisme hukum yang ada.

Ada upaya penggelembungan suara. Menyedot suara melalui server dan lainnya. Dibuktikan saja. Kalau benar ada pelanggaran di jajaran KPU atau lainnya laporkan. Selain KPU lembaga penyelenggara pemilu adalah Bawaslu dan DKPP. 

Jika KPU dan jajarannnya, atau misalnya Bawaslu dan jajarannya neko-neko dan bermain laporkan ke DKPP. Mereka akan diproses, disidang dan disanksi sesuai dengan kadar kesalahannya.

Ada banyak unggahan di medsos tentang dugaan curang, berupa penjumlahan yang salah. Ya itu saja dibawa sebagai bukti untuk protes. Kesalahan itu terjadi di tingkat mana, apakah TPS, PPS,PPK atau seterusnya. 

Karena itu, kenapa harus ada penghitungan secara bertahap. Dan yang dihitung adalah kertas C1 secara manual. Ketika terjadi kesalahan, saksi parpol, saksi pasangan calon bisa protes dengan menyertakan bukti di tiap rapat pleno penghitungan di masing-masing tingkatan.

Mekanismes sudah disediakan. Bahkan, sejak dari TPS semua sudah terbuka, KPU sudah memberi ruang pihak yang berkepentingan untuk masuk TPS. Misalnya saksi, pengawas, dan pemantau. 

Bahkan, semua pihak itu akan menerima salinan C1 yang sudah ditandatangani seluruh anggota KPPS jika penghitungan di TPS. Dan, mekanisme ini juga berlaku di tingkat selanjutnya sampai penghitungan nasional.

‘’Tidak mau melihat kerja anggotra KPPS. Berangkat pagi pulang pagi, dua malam tidak tidur. Menghitung dengan cermat. Selisih satu suara saja membuat kita tidak tenang sampai ketemu. Dihitung ulang, dihitung dari awal sampai semua sesuai. Begini masih dikatakan curang, ngawur dan sebagainya. Kalau gak mau memakai (hasil kerja kami) kok nggak bikin pemilu sendiri,’’

Begitu salah satu postingan anggota KPPS di medsos. Dan tanggapanpun mengalir, banyak yang mendukung. Rata-rata mengatakan kinerja KPPS sudah bagus, cermat dan sungguh-sungguh. Jika misal masih ditemukan kesalahan hitung, ya manusiawi, karena mungkin kondisi terlalu capek. Toh kesalahan itu bisa dibetulkan pada tahapan selanjutnya.

Tidak bisa kasus per kasus kesalahan tersebut kemudian digebyah uyah, kalau orang Jawa bilang. Tidak bisa digeneralisasikan bahwa kinerja KPU dan jajarannya brengsek. Sehingga produk yang dihasilkan juga brengsek dan sebagainya. Sekali lagi ini bahaya, dan tidak sehat untuk alam demokrasi.

Jika misalnya ditemukan bukti ada kesalahan atau kecurangan oleh KPU dan jajarannya, bisa diajukan gugatan ke MK. Nanti akan diuji. Pak Mahfud MD saat menjadi ketua MK pernah menyidangkan gugatan hasil pemilu. 

Ternyata ada banyak kecurangan. Masing-masing pihak juga melakukan kecurangan, meski di tempat dan kondisi yang berbeda. Maka kemudian diuji bagaimana kecurangan itu punya pengaruh signifikan atau tidak pada hasil dan aspek-aspek lain.

‘’Kalau misalnya ditemukan kecurangan yang bisa dibuktikan itu menggerus seribu suara. Sementara margin atau selisih kemenangan pasangan 10 ribu suara, ya tentu tidak bisa membatalkan kemenangan. Itu kalau bisa dibuktikan ada kecurangan, kalau tidak?’’

Begitu Prof Mahfud membuka mekanisme pengujian gugatan di MK. Baiknya kita tunggu saja penetapan resmi dari KPU. Pihak yang menemukan kecurangan, dikumpulkan saja, untuk bahan menggugat ke MK jika pasangann yang didukung kalah. 

Baiknya biarkan KPU menyelesaikan tugasnya. Kita dukung kinerjanya, kita percaya lembaganya dan kita nanti hasilnya. Itu lebih baik dibanding terus menebar narasi-narasi negative. Kita harus bersatu untuk membangun NKRI.

Masyarakat harus pecara KPU. Kinerja mereka tidak main-main. Mereka selalu punya dasar kuat dalam mengambil keputusan. Mereka punya integritas. Karena itu harus kuat dan tangguh menerima terpaan segala macam tudingan.

Pengalaman saya sebagai anggota tim seleksi (timsel) KPU kabupaten pada 2013 membuat saya pribadi yakin pada kinerja KPU. Karena mereka adalah orang-orang terpilih. Melalui penyaringan yang ketat dan kompetensi serta integritasnya bagus. 

Semua bisa dipertanggungjawabkan. Setidaknya ketika dulu saya dan anggota timsel lain harus meloloskan si A, B, C dan seterusnya. Maka ketika nanti KPU sudah menetapkan pemenang pilpres maka itulah yang terjadi. KPU punya dasar kuat  dan bisa dipertanggungjawabkan. Mari percaya pada KPU dan percayakan pada kinerja lembaga itu.

Masyarakat harus membangun optimismenya sendiri untuk menatap masa depan yang lebih baik. Negara kuat jika rakyatnya kuat.Wallahu’alam.(*)