Monetisasi Perusahaan Jadi Problem Media Siber

Reporter: Nidhomatum MR

blokBojonegoro.com - Di tengah gempuran penyedia konten dari perusahaan teknologi, media online memiliki tantangan tersendiri terkait menghasilkan cuan dari usahanya. Meski kemampuan para pendiri dalam seluk-beluk jurnalistik sudah sangat mumpuni, dari sisi lain patut diakui jika pemilik media online adalah pemain baru di dunia perbisnisan. Karena itu, penting bagi media untuk lebih memahami bagaimana memonetisasi perusahaan mereka.

“Belum makanan kita itu adalah bagaimana monetisasi dari media kita. Ini hal yang baru buat kita,” kata Ketua Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Wensensius Manggut, dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) AMSI di Jakarta, Jumat (1/3/2019).

Sebagai solusi dari hal itu, beberapa program pun disiapkan agar anggota-anggota dari asosiasi yang dipimpinnya lebih memahami monetisasi perusahaan. Ini khususnya perihal edukasi bagi para pemilik agar sempurna memahami dasar dari bisnis media online yang mereka pimpin.

Bicara soal monetisasi, Pemimpin Redaksi The Jakarta Post Nezar Patria memandang, saat ini pemain bisnis media online memang masih berjuang membuat titik bisnis yang stabil. Pasalnya, jika mengutip hasil survei dari Reuters Institut, media berbasis digital saat ini tak lagi sanggup bertahan jika mengandalkan iklan belaka.

Tak ayal, keikutsertaan (subscription) dan keanggotaan terkait media online menjadi prioritas penting. Sekitar 52 persen media bahkan berharap pendapatan dari sistem berlangganan. Sisanya, 27 persen media masih berharap dana mengalir dari iklan display. Lalu secara berturut-turut sebanyak 8 persen dan 7 persen media online menggantungkan asa monetisasi dari native ad dan donasi.

“Hampir 200 pemain media digital dari 29 negara yang diwawancarai untuk survei ini menyebutkan bahwa kita sudah saatnya untuk memberlakukan membership dan subscribe system,” tegas Nezar.

Pemberlakuan metode tersebut dinilai urgen, mengingat iklan-iklan yang ada terbukti telah diborong platform-platform konten lain.

Hal itu juga diakui oleh Pemimpin Redaksi Kompas, Ninuk Mardiana Pambudy. Ia melihat tren daya dukung iklan belakangan tidak terlalu baik, malah terjadi leveling off. Di sisi lain, Ninuk menyoroti perubahan ke arah berita berbayar alias sistem keanggotaan tidak semudah membalikkan telapak tangan.

“Soal mau premium atau bebas, itu enggak mudah juga. Karena pilihannya adalah kalau kita bebaskan, apakah secara finansial akan survive?,” tukasnya.

Ninuk menambahkan, kalaupun akan diterapkan sistem berbayar, ke depannya akan timbul persoalan baru khususnya soal trafik kunjungan.

“Bagaimana mengundang traffic, itu bukanlah sesuatu yang mudah untuk ditingkatkan dengan cepat, perlu waktu untuk kita mencapai peningkatan yang eksponensial. Memang ini terkait dengan kemampuan teknologinya sendiri,” tuturnya dalam acara yang sama.

Secara khusus, jika bicara soal bisnis lewat konten berita, Presiden Direktur LKBN Antara Meidytama Suryodiningrat mengungkapkan, penjualan berita saat ini sudah tidak bisa diandalkan.

“Revenue Antara dari core business (berita) itu kurang dari 7 persen dari total revenue di kisaran Rp320 miliar. Enggak mungkin cari duitnya jualan berita. Harus cari sumber yang baru,” ungkapnya.

Menurutnya, penjualan wire-lah yang kini menjadi tulang punggung bagi kantor berita media nasional ini lantaran ada aliran komisi yang cukup moncer. Sama seperti Antara, Kompas juga mulai membidik sumber-sumber cuan, selain dari konten berita.

“Kita sedang mempertimbangkan, baik dari delivery konten, features-features mengenai perjalanan. Itu ada kerja sama bisnis yang seperti itu, itu baru salah satu,” singkatnya. [lis]