Hortus Medicus, dari Tanaman Obat Hingga Narkotika

Oleh: Kunarto Marzuki

Di ketinggian 1.200 meter di atas permukaan laut (dpl) kedua tanaman tersebut hidup. Keduanya dijaga dengan kunci (gembok) besar dan mempunyai perawat khusus (biasa disebut apoteker) untuk keperluan penelitian, ilmu pengetahuan dan tehnologi (iptek)

***

Di sebuah kandang besi berukuran 5 x 5 meter persegi, dilindungi oleh jeruji kawat yang cukup rapat, dua tanaman yang masuk ke dalam narkotika golongan I itu hidup. Ya, Erythroxilum Coca (Koka) dan Chata Edulis (Khat) adalah dua jenis tanaman narkotika golongan I jenis tanaman milik Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional (B2P2TOOT) Kementerian Kesehatan (Kemenkes) di Tawangmangu Kabupaten Karanganyar. 

Di ketinggian 1.200 meter di atas permukaan laut (dpl) kedua tanaman tersebut hidup. Keduanya dijaga dengan kunci (gembok) besar dan mempunyai perawat khusus (biasa disebut apoteker) untuk keperluan penelitian, ilmu pengetahuan dan tehnologi (iptek).

Sebetulnya, di dalam kandang tersebut, mulanya hidup pula tanaman narkotika lain yaitu Ganja atau dalam bahasa latin disebut Cannabis Sativa L dan Candu yang mempunyai bahasa Latin Papaver Somniferum. Namun kedua tanaman tersebut terlebih dahulu mati sehingga saat ini hanya tersisa dua jenis tanaman narkotika yaitu Koka dan Khat. 

Tanaman narkotika dijadikan koleksi oleh B2P2TOOT setelah memperoleh ijin dari Kemenkes. Maklum, keduanya bukan tanaman biasa. Memelihara tanaman tersebut harus mempunyai ijin khusus supaya tidak disalahgunakan.

Jumlah tanaman narkotika yang diijinkan untuk dikoleksi juga terbatas. Masing-masing tanaman hanya diperbolehkan tidak lebih dari 6 tanaman. Jadi seandainya tanaman tersebut berkembang dan tumbuh tanaman baru di luar 6 yang sudah diijinkan, maka salah satunya harus dimatikan. Tetapi pada prakteknya tanaman-tanaman tersebut tidak bisa berkembang dan tumbuh baru. Dua di antaranya, yaitu Ganja dan Candu bahkan sudah mati terlebih dahulu.

“Ganja dulu kita tanam di dalam pot. Tetapi sudah mati sekitar 3 tahun lalu. Kalau yang tanaman Candu sudah mati terlebih dahulu,” ujar peneliti B2P2TOOT Dyah Subositi, saat menemani Tim Badan Narkotika Nasional (BNN) Provinsi Jawa Tengah meninjau tanaman tersebut.

Tidak jelas pasti mulai kapan tanaman-tanaman narkotika tersebut berada di Tawangmangu dan dikoleksi oleh B2P2TOOT, namun semenjak tahun 1980, tanaman-tanaman tersebut sudah berada di komplek kebun semi produksi milik B2P2TOOT. 

Hal ini dikarenakan sudah berganti-gantinya pengurus serta pegawai di kantor tersebut sehingga tidak semua pegawai mengetahui secara pasti sejak kapan kedua tumbuhan itu menjadi koleksi kantor mereka.

“Sejak saya masuk sini sudah ada. Setahu saya sejak tahun 1980-an sudah ada tanaman narkotika itu di sini,” ujar Santoso, Kepala Seksi Sarana Penelitian B2P2TOOT, yang menerima Tim BNN Provinsi Jawa Tengah dan menjelaskan mengenai tanaman narkotika.

***

SEBETULNYA tanaman Koka tumbuh dan berkembang di Amerika Selatan. Suku Indian di Amerika Selatan mulanya mempunyai kebiasaan mengunyah daun Koka atau membuatnya menjadi teh dan dikonsumsi sejak lebih dari 5.000 tahun yang lalu. 

Tujuan mengonsumsi daun Koka awalnya adalah untuk penahan lapar, mengurangi rasa sakit, meningkatkan stamina tubuh dan untuk ritual keagamaan tertentu. Tanaman Koka menjadi bahan dasar dari narkotika jenis Kokain yang mengandung alkaloid. Sebelum ditemukan obat bius masa kini, tanaman Koka merupakan bahan anestesi lokal terbaik pada masanya. 

Seiring perkembangan zaman, pemanfaatan tanaman Koka berkembang luas dan dijadikan sebagai komoditi bisnis illegalyang melahirkan kartel-kartel narkoba internasional. Kokain pada akhirnya resmi dilarang karena mempunyai tingkat ketergantungan yang tinggi bagi orang yang mengonsumsinya. Di Indonesia saat ini pengguna Kokain terhitung jarang mengingat peredaran narkotika yang berasal dari jenis narkotika alami (tumbuhan) ini kecil dan sulit didapatkan.

Tanaman Koka tumbuh antara 2-3 meter dan berbentuk semak duri hitam. Cabangnya kecil lurus dan beranting. Daunnya tipis berwarna hijau, gelap, oval dan tampak runcing pada bagian ujungnya. Tanaman Koka berbuah kecil. 

Bunga tumbuh di tangkainya dan melingkar mengumpul pada tangkai-tangkai berukuran pendek. Mahkotanya terdiri dari bunga berwarna putih kekuningan. Kepala putiknya berbentuk hati. Putiknya terdiri dari tiga daun buah yang bersatu membentuk 3 buah ovarium. Pada saat masak, bunganya tumbuh menjadi buah berwarna merah merekah. Perpaduan daun, bunga dan buah yang sangat indah dan eksotik.

Kandungan tanaman Koka merupakan 18 alkaloid yang sudah teridentifikasi yaitu, tropan, pirolidin, cis dan trans-sinamolkokain, benzoilekgonin, metilekgonin, pseudotropin, benzoiltropin, tropakokain, a dan b-truxilline, higrin, cuscohigrin, nikotin dan kokain sebagai alkalid utama. 

Meskipun daun Koka bisa meningkatkan stamina tubuh, tetapi penggunaan daun Koka secara berlebihan bisa menyebabkan masalah malnutrisi, kelelahan, masalah pada gigi dan kulit serta meningkatnya denyut jantung dan tekanan darah. Penyalahgunaan Kokain dapat meningkatkan angka kesakitan dan kematian.

***

PADA 27 Januari 2013, Badan Narkotika Nasional (BNN) menangkap artis kenamaan Indonesia, Rafi Ahmad. Dalam penggeledahan di rumah Rafi Ahmad, ditemukan pil yang setelah dilakukan uji laboratoris mengandung zat bernama Katinon. Zat ini mempunyai dampak/efek yang serupa dengan amphetamine yaitu menjadi stimulan dan menimbulkan sugesti merasa kuat dan terus segar bagi orang yang mengonsumsinya. Apa daya, Katinon belum masuk dalam lampiran Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. 

Kasus Rafi Ahmad pun tidak berlanjut karena terjadi perbedaan pandangan antara Penyidik BNN dan Jaksa Peneliti dari Kejaksaan Agung (Kejagung). BNN beranggapan karena efek stimulan yang ditimbulkan oleh Katinon sama dengan amphetamine maka bisa dikategorikan sebagai narkotika. 

Kejagung berpegang pada landasan formil undang-undang, selagi Katinon belum masuk dalam lampiran undang-undang tentang narkotika, maka kasus tersebut tidak dapat ditangani oleh BNN. BNN pun akhirnya membawa kasus ini dan mengusulkan kepada United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) agar Katinon dimasukkan dalam narkotika jenis baru yang disebut dengan new psychoactive substances (NPS). Melalui Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 2 Tahun  2017 Daut Khat/Katinon resmi dikategorikan sebagai narkotika golongan I jenis tanaman.

Dari tanaman Khat inilah Katinon dibuat. Daun-daunnya diekstraks dan dibuat pil lalu diedarkan secara illegal. Tanaman Khat awal mulanya tumbuh di Afrika Timur dan Semenanjung Arab. Tanaman yang selalu berdaun hijau sepanjang musim ini ditanam paling banyak di Ethiopia dan Yaman. Di tempat asalnya, Yaman, Khat bisa tumbuh subur hingga 10 meter. Khat bisa tumbuh subur di ketinggian 1.670-2.590 mdl. Dia mati apabila ditanam di dataran rendah. Di Indonesia, Khat tumbuh di wilayah Cisarua, Bogor dan kawasan Puncak Sukabumi.

Efek mengonsumsi daun Khat adalah merasa hilang rasa lelahnya, pulihnya stamina, muncul rasa senang (happy), timbulnya imajinasi, timbulnya kemampuan berfikir, membaiknya pola komunikasi dan timbulnya rasa percaya diri. Itu rasa yang muncul pada 1-2 jam pertama saat Khat baru dikonsumsi. Namun pada 3 jam berikutnya semua rasa tersebut berbalik. Pengonsumsi Khat akan memasuki tahap depresi, paranoid, insomnia, merasa tegang dan mengalami gangguan seksual yang merugikan penggunanya.

Di Tawangmangu, tanaman Koka dan Khat dipelihara untuk diteliti sebagai sumber pengetahuan. Tanaman itu tidak dibudidayakan apalagi diperjualbelikan. Bagi masyarakat yang ingin mendapat penjelasan lebih lanjut mengenai tanaman narkotika ini bisa datang ke B2P2TOOT Tawangmangu. Selama ini sudah ribuan orang yang datang silih berganti untuk melihat dan mengetahui tanaman Koka dan Khat ini.

“Mulai dari siswa SD sampai perguruan tinggi. Mereka datang untuk berwisata ilmiah. Namanya juga wisata ilmiah maka harus ada pengetahuan yang mereka peroleh sepulang dari sini,” tegas Edwin, Kepala Sub Bagian Umum B2P2TOOT.

***

Kalau kita menanyakan alamat B2P2TOOT kepada masyarakat Karanganyar mungkin banyak yang tidak tahu. Tapi jika kita menyebut Hertus Medicus orang akan dengan mudah memberi petunjuk arah. Ya, Hertus Medicus merupakan nama taman obat era kolonial. Hertus berarti Kebun dan Medicus adalah Obat. Dua suku kata yang berasal dari bahasa Latin itu mempunyai arti harfiah Kebun Obat. Sejak awal kemerdekaan, pemilik Kebun Koleksi Tanaman Obat bernama RM. Santoso Soerjokoesoemo mewariskan kebun tersebut kepada negara. Mulai April 1948 kebun tanaman obat itu resmi dikelola negara di bawah Lembaga Eijkman dan diberi nama Hortus Medicus Tawangmangu.

Pada tanggal 28 April 1978, melalui Keputusan Menteri Kesehatan No. 149, nama Kebun Obat itu berubah menjadi Balai Penelitian Tanaman Obat (BPTO). Dan pada tanggal 17 Juli 2006, BPTO bertransformasi dan berubah nama menjadi Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional (B2P2TOOT) sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 491. Nama Hortus Medicus saat ini diabadikan menjadi klinik yang melayani pemeriksaan kesehatan bagi masyarakat umum di bawah manajemen B2P2TOOT.

Klinik Hortus Medicus memberikan layanan pemeriksaan kesehatan bagi masyarakat umum. Layaknya fasilitas kesehatan pada umumnya, pasien akan dilayani oleh tenaga kesehatan professional. Ada 8 dokter umum yang telah mengikuti banyak kursus pendek tentang obat-obatan herbal ke Cina, India, Jepang hingga Korea. Ada juga 3 apoteker yang membantu menyiapkan jamu yang akan diberikan kepada pasien. Klinik yang menempati bangunan tua yang dirawat dengan baik ini juga menyediakan instalasi laboratorium. Pasien bisa melakukan cek darah, urin maupun fungsi EKG. 

Yang membedakan klinik ini dengan klinik kesehatan pada umumnya adalah dua hal. Pertama, obat yang diberikan semuanya berupa jamu yang diracik sendiri oleh para apoteker. Bahan jamu berasal dari kebun semi produksi milik B2P2TOOT dan sebagian lagi berasal dari para petani binaanB2P2TOOT. Kedua adalah tarif berobat yang cukup murah. Untuk pendaftaran pasien dipungut biaya Rp. 3.000 dan untuk layanan pemeriksaan dan pengobatan setiap pasien membayar Rp. 20.000. Besaran biaya tersebut sesuai dengan tarif Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang telah ditentukan.

“Nilai ekonomis yang dirasakan masyarakat sekitar tentu saja bagi petani binaan mereka bisa menjual tanaman obatnya ke kita. Sementara untuk pemilik wisma atau penginapan mereka akan memperoleh jasa sewa dari pasien luar kota yang menginap di sini,” ujar Dyah Subositi, peneliti B2P2TOOT.

Pada masa awal beroperasinya klinik, setiap hari jumlah pasiennya tidak banyak; antara 3-5 pasien. Namun berawal dari cerita mulut ke mulut pasien, saat ini jumlah pasien klinik bisa mencapai 130 orang setiap harinya. Bukan hanya masyarakat sekitar, pasien juga banyak berdatangan dari luar kota dan rela menginap di Tawangmangu.

“Untuk pendaftaran maksimal sampai jam 11.00 siang. Sedangkan pelayanan sampai jam 14.00 siang,” terang Edwin, Kepala Sub Bagian Umum B2P2TOOT.

Kehadiran B2P2TOOT beserta Klinik Hortus Medicus telah memberikan dampak positif bagi masyarakat di Tawangmangu serta Indonesia pada umumnya. Setiap komponen masyarakat, baik dari dunia akademis maupun kalangan industri, bisa memanfaatkan lebih dari 800 jenis tanaman obat yang ditanam dalam 18 hektar kebun semi produksi milik B2P2TOOT, untuk meningkatkan pengetahuan tentang obat-obatan alami dan herbal. Dapat pula dipelajari jenis-jenis tanaman narkotika sebagaimana telah diuraikan di atas. Inilah Hortus Medicus dari Tawangmangu yang cukup menginspirasi. (*)