Pajak Persil Naik, Warga Pertanyakan Rincian ‎

Reporter: M. Anang Febri

blokTuban.com -‎ Sistem ‎pembagian hasil atau sharing panen tahunan warga di beberapa desa di Kecamatan Grabagan mengalami kenaikan signifikan sejak setahun terakhir ini. Dari hal tersebut banyak dipertanyakan bagaimana ‎aturan serta penggunaan pajak lahan persil dikelola.

Dari penuturan warga di Desa Dermawuharjo, Kecamatan Grabagan, petani pemilik persil di lahan hutan sebelumnya ‎membayar pajak paska panen per tahun sebesar Rp600.000 hingga Rp800.000 per hektare. Harga itu relatif mahal dibanding pajak yang mesti dibayar oleh petani persil di Desa Gesikan, Kecamatan Grabagan yang maksimal hanya Rp200.000 per andil.

‎"Seingat saya mulai tahun ini sekitar bulan April atau Mei sudah narik warga. Setiap warga yang punya persil per hektare bayar Rp1,2 juta. Harga itu diterapkan paska panen pertama," buka Hartini kepada blokTuban.com, Selasa (17/7/2018).‎

Petani yang juga sebagai salah satu perangkat desa setempat itu bertanya-tanya, apakah pembayaran pajak dengan nominal berlipat itu merupakan praktik pungutan liar (pungli) atau memang dari Pemerintah Pusat memiliki undang-undang‎ tetap sehingga harus membayar sejumlah uang itu.

Satu tahun yang lalu, lanjut Tini menjelaskan, dari satu hektare kepemilikan lahan persil pernah ditarif Rp100.000 oleh Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH). Namun setelah itu, terus naik dan melonjak sampai angka Rp1,2 juta saat ini.

"Harga itu ya lihat kondisi, sebab hasilnya pun tak tentu. Kalau musim hujan ya lumayan, tapi sekarang ini ya hancur," imbuhnya.‎

‎Sementara itu pihak Perum Perhutani Kabupaten Tuban melalui Kasi Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH), Puguh Santoso‎ menerangkan jika hal tersebut bukanlah sejenis pungli atau pun hal lain. Pihaknya menyebut itu dengan sharing palawija, yang berarti kerjasama tanaman persil antara warga petani hutan dan Perhutani yang sudah ada penandatanganan bersama sebelumnya.

"Itu bagian dari sharing palawija. Secara persepsi, adanya perbedaan harga salah satu sebabnya adalah hasil panen. Lahan subur dengan lahan kurang subur, tentu hasilnya beda," terang Puguh saat berada di ruangannya.

Selain itu, lanjutnya, wilayah konfersi dari produksi jagung juga mempengaruhi harga besaran pajak jadi berbeda. Adapun aturan kenaikan ‎harga bisa ditimbang dari nilai harga jual. Namun demikian, setiap tahun pihaknya mengambil harga terendah untuk diterapkan.

"Harga sudah diambil paling rendah. Tapi keadaan di lapangan itu ‎tergantung mitra, bagaimana mengelolanya," tegasnya. [feb/col]