Mbah Warinten Jual Tembakau untuk Sambung Hidup

Reporter: M. Anang Febri

blokTuban.com - ‎Berdagang merupakan pekerjaan yang dilakukan sebagian besar masyarakat demi memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tak pandang usia, aktivitas jual beli barang kebutuhan tersebut banyak dilakoni mulai dari kawula muda, hingga tua.

Seperti Mbah Warinten ini misalnya.‎ Di usianya yang melebihi usia kemerdekaan Republik Indonesia itu, mulai beranjak besar hingga usia senja kini, dia tetap mengupayakan kemandiriannya dengan cara berjualan.

Dia sudah lupa berapa umur dikandung badannya. Yang jelas, mulai dari zaman Jembatan Glendeng yang merupakan penghubung antara wilayah Kabupaten Tuban dan Kabupaten Bojonegoro, bahkan zaman antek Belanda masih berkeliaran di Nusantara ini, sepanjang itulah kisahnya.

Dulu, ketika jembatan penghubung dua wilayah kabupaten itu belum berdiri, Mbah Warinten harus menyeberang Bengawan Solo menggunakan jasa perahu tradisional untuk berdagang luar wilayah. Waktu itu masih belum banyak dijumpai kendaraan umum di daerahnya. Untuk berjualan, dia harus menempuh berkilo-kilo meter jarak dengan jalan kaki.

"Usia sudah tua begini jualannya dekat rumah saja. Yang penting ramai orang lewat," kata Mbah Warinten‎ yang 5 tahun terakhir ini sering berjualan di perempatan Desa Simo, Kecamatan Soko.‎

Nenek yang telah ditinggalkan suaminya beranjak ke rahmatullah itu dulunya sering berjualan ke pasar-pasar tradisional sekitar Kecamatan Soko. Tak hanya satu dua jenis barang yang dia tawarkan kepada pembeli. Jika memiliki setandan pisang, dia akan menjajakannya ke warga. Dia pun sering berjualan bunga yang digunakan untuk menabur makam ketika hari-hari tertentu.

"Jualan barang seadanya. Kalau sekarang ini seringnya jualan tembakau," tambahnya kepada blokTuban.com.

Mbah Warinten menceritakan, jika dia mendapat setoran tembakau jenis Jawa dari pengusaha asal Kecamatan Kanor, Kabupaten ‎Bojonegoro, yang kemudian dijual kembali kepada masyarakat umum yang lewat jalanan tempat dia berjualan.

Dengan menempati trotoar pinggir jalan yang bercampur hiruk pikuk lalu lalang kendaraan lewat, serta debu jalanan yang setia menemaninya, penghasilan Mbah Warinten pun tak menentu.

Jika waktu dan rezeki berpihak kepadanya, saat berjualan pagi hari mulai pukul 06.00 hingga maksimal pukul 08.00 Wib, ia mampu menjual 10 pack tembakau yang berharga Rp10.000. Namun jika keberuntungan belum datang hari itu, dia hanya mampu menjual satu atau dua pack tembakau saja. Bahkan tak jarang dia pulang dengan tangan kosong.

"Setiap dagang diantar jemput anak, kadang juga cucu. Pulangnya nanti pas matahari mulai meninggi. Bagaimana pun hasilnya, yang penting tetap harus mampu mencukupi kebutuhan sendiri," terangnya lagi.

Dari sejumlah uang yang didapatnya ketika berjualan, dia tetap bersyukur dan berbangga diri atas hasil yang diperoleh setiap hari. Sebab, dari aktivitas dagang itulah dia tak lagi menggantungkan nasib kepada empat anaknya.

Sekadar untuk membeli jamu, membelikan makanan ringan dan memberi sedikit uang saku kepada cucu-cucunya‎, hatinya sudah cukup berbunga bisa melakukan semua itu.

"Usai jualan begini, nanti disambung aktivitas bertani di sawah. Anak dan cucu yang beranjak dewasa juga sudah sering melarang ‎untuk aktivitas lebih, tapi dengan begini saya bisa mandiri," pungkas Mbah Warinten yang merupakan warga Sendangulung, Desa Mojoagung, Kecaatan Soko. [feb/rom]