Pantai dan Air Mata

Penulis: Sri Wiyono


blokTuban.com – Larangan sangat tegas di pesantren adalah berhubungan dengan lawan jenis. Meskipun surat-suratan misalnya, kalau ketahuan pengurus pesantren juga bakal kena hukuman (takzir). Namun tidak bagi Zaid, santri yang dikenal bandel ini berani mengambil resiko.

Begitulah Zaid, rasa kangennya pada gadis yang dicintainya membuat dia tak mampu berfikir panjang. Yang ada di hatinya hanya satu; ingin ketemu kekasihnya yang juga santri di pesantren tempat Zaid mondok.

Detik-detik yang dilaluinya terasa lambat ketika rasa kangen menyergap. Zaid ingin bertemu dengan santri putri pujaannya itu pada Kamis malam, atau malam Jumat. Sebab, setiap malam Jumat kegiatan ngaji rutin libur.

Biasanya santri mengisi waktu dengan pesiar, yakni keluar dari pesantren untuk sekedar jalan-jalan atau kegiatan lain. Tak jarang, para santri mengisi waktu libur itu dengan ziarah ke makam-makam wali.

Zaid pun demikian. Sebelumnya dia sudah mengirim pesan tulisan pada santri putri pujaannya. Tulisan itu dia titipkan pada santri putri lain yang sekamar dengan kekasihnya. Andai dulu sudah ada handphone, tidak serumit itu untuk sekadar janjian.

Dan, balasan dari kekasihnya membuat Zaid berbunga-bunga, karena sang kekasih ternyata mau menerima ajakannya untuk ketemuan. Dan, momen libur ngaji itu waktu yang tepat. Mereka sepakat untuk ziarah ke malam salah satu wali di Tuban. Di sana mereka bisa ketemu.

Dan, harapan itu pun kesampaian. Keduanya bisa bertemu dan ngobrol. Tentu saja tidak sendirian. Zaid bersama dengan beberapa santri lain, begitu pula kekasihnya, ada beberapa santri putri yang mengawal.

Usai ziarah mereka ngobrol di serambi masjid di sekitar makam wali tersebut. Cukup gayeng mereka. Santri lain sudah maklum dengan sepasang kekasih itu. Sehingga, santri lain mengambil duduk agak terpisah dengan keduanya.

Ternyata, ngobrol di lingkungan masjid membuat mereka jengah. Sehingga Zaid mengajak untuk melanjutkan ngobrol di pinggir pantai. Santri lainnya pun ikut. Selain untuk mengawal sepasang kekasih ini, kebanyakan santri juga jarang ke pantai.

Malam itu suasana mendukung. Pantai dalam kondisi tenang. Langitpun cerah, ditambah bilan purnama tanggal 15 membuat suasana semakin syahdu. Maka, Zaid pun mengajak kekasihnya itu berjalan menyusuri pantai. Keduanya berdalan berdampingan. Di belakangnya beberapa santri terus mengikuti.

Terlalu asyik, membuat mereka lupa waktu. Yang mestinya sudah harus sampai pondok jam 21.00 atau 9 malam, mereka terlambat hampir 1 jam. Hal itu membuat pengurus curiga dan malam itu Zaid dan santri-santri lain dikumpulkan ke ruangan pengurus.

Mereka ditanyai satu persatu. Semula mereka mau mengelak, hanya dengan menjawab mereka pulang dari ziarah ke makam wali. Namun, mereka terus didesak, sehingga tak bisa lagi bohong. Terlebih ada pengurus yang mengetahui mereka di pantai.

Maka, malam itu para santri ini terkena pembinaan. Mereka diceramahi oleh para pengurus. Zaid dan kekasihnya sebagai aktor utama mendapat nasehat paling banyak. Setelah cukup lama, pengurus memutuskan memberi hukuman pada semua santri itu. Mereka semua menangis. Hingga malam itu, banjir air mata dari mereka.

Mereka diminta membersihkan kamar mandi selama 7 hari berturut-turut. Khusus untuk Zaid, hukuman ditambah dengan dicukur gundul rambutnya. Selain itu,kesalahan mereka juga diumumkan pada para santri lain saat para santri berkumpul untuk ngaji.

Zaid malu bukan kepalang. Dia berjanji untuk tidak melanggar aturan lagi. Meski untuk beberapa waktu, kisah dan hubungan mereka tetap berlanjut. Namun, apakah kelak keduanya menikah atau tidak banyak kawan santri yang kehilangan jejak. Hanya, ada kabar Zaid kemudian menjadi abdi negara alias aparat sipil negara (ASN) di salah satu kementerian. Hemmm.....[*]

 

 

*Cerita ini berdasarkan kisah nyata yang dialami santri lalu ditulis dan diolah kembali oleh redaksi blokTuban.com