Ngobrol  Imajiner  Bersama  Bung Karno


Oleh: Sri Wiyono


Kumandang azan magrib terdengar ketika kaki kami baru menginjak pelataran makam Bung Karno. Ya, di senja yang basah itu kami berempat, saya sendiri, GM blokTuban.com Edy Purnomo, Pimred blokBojonegoro.com M. Yazid dan editor Parto Sasmito sowan Sang Proklamator Republik Indonesia tersebut.

Malam yang sakral. Tanggal 6 Maret 2018 itu bertepatan dengan Selasa Kliwon malam Rabu Legi. Bagi masyarakat Jawa yang masih kental kejawennya, malam itu adalah malam yang keramat. Entah kebetulan atau tidak kami di ‘jalankan’ Allah pada hari itu.

Perjalanan kami berempat insyaallah saleh. Pertama kami bersilaturahmi dan takziyah tujuh hari wafatnya ayah mertua CEO Blok Media Grup (BMG) M. Abdul Qohhar di Blitar. Entah kenapa, baru pada tujuh harinya kami di’jalan’ kan Allah ke Blitar.

Maka sejak keberangkatan kami, rencana sudah disusun. Kota-kota yang akan kami lalui adalah kota-kota penting dalam percaturan sejarah. Bahkan, sejak masa kerajaan-kerajaan, pra jaman kolonial.

Dari Tuban sendiri saya dan Edy Purnomo yang berangkat. Tuban, sudah tak perlu diragukan lagi catatan sejarahnya. Kota kecil nan asri di pesisir pantai utara jawa ini sudah berusia 700 tahun lebih. Beragam peradaban pernah dilalui Bumi Wali ini.

Lalu, kami berdua ‘ngampiri’ dua kawan di Bojonegoro. Sebuah daerah yang kental dengan Bengawan Solo dan sejarah rokok kreteknya. Juga ada serpihan-serpihan sejarah di daerah ini.

Usai dari Bojonegoro kami melewati sebagian wilayah Lamongan sebelum sampai ke Jombang. Di Jombang sejarah sudah menulis dengan tinta emas mengenai sumbangsih tokoh-tokohnya pada negeri ini.

Lalu, kami masuk Kediri. Sebuah wilayah tua yang penuh dengan guratan sejarah masa lalu. Mulai awal kelahiran Majapahit dan kerajaan-kerajaan sebelumnya. Kediri banyak disebut dalam kisah sejarah.

Meninggalkan Kediri, Blitar menyambut. Sebuah daerah dengan catatan tegas sejarah perjuangan. Di kota ini pula Soekarno yang kemudian menjadi Proklamator itu berasal. Dan juga dikebumikan.

Ada sejarah tentang keberanian dan nasionalisme Supriyadi dengan PETA nya. Lengkap dengan Gunung Kelud dan Candi Penataran yang misterius. Situs-situs bukti kebesaran masa lalu masih banyak bertebaran di kota ini.

Maka, perjalanan yang mengasyikkan itu sayang kalau hanya dilewatkan begitu saja. Karena kami melewati para tokoh besar yang harus kami ‘cecep’ ilmunya. Kami dengar petuah dan wejangannya. Satu kata: kami harus sowan mereka.

Terlalu panjang prolognya pembaca…maaf. Saya hanya ingin memberikan gambaran agar pembaca bisa memahami secara utuh alur tulisan ini.

Pelataran makam masih basah. Di sana-sini terlihat genangan tipis sisa hujan tadi siang. Makam itu sepi. Gerbang sudah sedikit tertutup. Hanya, di luar pagar masih ramai pengunjung yang menghabiskan waktu di taman.

Suasana gelap saat kami mulai masuk areal makam. Joglo tempat Bung Karno bersemayam gelap, tanpa nyala lampu. Musala yang berada di depan sebelah kanan joglo makam juga gelap. Kami bergegas mengambil wudhu.

Dua bungkus kembang yang saya beli dari luar areal joglo saya letakkan di lantai musala. Kami menuju tempat wudhu di samping musala, yang sama gelapnya. Malam itu, hanya kami berempat yang sowan Bung Karno.

Kebetulan. Kataku dalam hati. Sepinya makam membuat kami bisa banyak ‘ngobrol’ dengan Bung Karno. Kami duduk bersila, saya sengaja mengambil tempat di ujung makam, di arah kaki. Hal ini, biasa saya lalukan ketika ‘sowan’ ke makam-makam wali.

Lantai joglo terasa dingin. Angin berhembus sejuk di joglo yang terbuka itu. Di tengah gelapnya ruangan, ‘obrolan’ kami semakin mengasyikkan dengan Bung Karno (BK).

Kami : ‘’Assalamu’alaikum’’

BK : Wa’alaikum salam

Kami : Bagaimana kabarnya Bung?

Ya, kami sengaja memanggil Bung Karno dengan sebutan khas para pergerakan itu. Bung, sebuah sapaan yang menggambarkan jiwa muda, semangat dan kekuatan. Dan, kami ingin tiga hal itu tetap ada serta menular pada kami.

BK : Baik. Ada apa malam-malam?

Kami : Silaturahmi Bung. Juga ingin diskusi

BK : Apa yang harus didiskusikan?

Kami : ‘’Banyak Bung. Soal politik misalnya. Khususnya pilgub Jawa Timur’’

BK : ‘’Hemm’’guman Bung Karno sambil mengernyitkan dahi.

BK: ‘’Kapan hari si Puti juga ke sini. Minta restu,’’

Kami: “Bung restui dia?’’

BK: ‘’Tentu. Dia kan cucu saya. Anaknya si Guntur.

Sebelum kami menyela, buru-buru Bung Karno menyergah. ‘’Semua yang datang ke sini saya restui,’’ ujarnya.

Kami: ‘’Kok begitu?’'

BK: ‘’Iya. Dengan datang ke sini, artinya mereka masih menghargai kita yang tua-tua ini. Kami tidak ingin di dewa-dewakan. Tapi setidaknya ada unggah-ungguh, ada sopan santun dan penghargaan pada apa yang telah kami perbuat dulu,’’

Kami: ‘’Memangnya bagaimana Bung melihat kondisi kekinian. Khususnya para generasi mudanya?’’

BK: ‘’Itu dia. Generasi muda banyak yang sudah kehilangan figur panutan. Mereka bangga dengan figur-figur asing yang lepas dari sejarah sendiri. Nilai-nilai luhur bangsa banyak yang sudah luntur, bahkan ditinggalkan. Nangis saya kalau melihatnya.’’

Kami: ‘’Karena itukah Puti getol mendesak agar pendidikan Pancasila masuk dalam kurikulum pendidikan?’’

BK: ‘’Ya, barangkali dia banyak membaca buku-buku tentang saya. Kabarnya dia juga mengidolakan saya, kakeknya ini. Baguslah kalau begitu. Karena jangan sampai kita melupakan sejarah. Karena itulah saya dulu gembar-gembor ‘jasmerah’, jangan sekali-kali melupakan sejarah.

Kami: ‘’Lalu?”

BK: ‘’Ya, seperti itu. Kita bisa belajar banyak dari sejarah. Lihat saja bagaimana Majapahit menjadi kerajaan atau negara yang sangat besar, makmur dan maju kala itu. Sistem nilai, pemerintahan, ekonomi, politik, hukum sampai militer kita sangat maju.

Bahkan, pendidikan pun diakui, sehingga banyak orang negeri seberang yang datang ke sini untuk belajar. Jadi, kita pernah berjaya di masa lalu, dan akan kembali berjaya jika kita pandai mengelola negeri ini,’’

Kami: ‘’Artinya pemimpin harus bisa mengelola daerahnya ya. Kalau untuk Jawa Timur bagaimana. Dari dua pasangan calon itu sebaiknya mana yang mestinya dipilih, yang bisa seperti harapan itu?’’

BK:’’Memilih pemimpin itu tidak gampang. Dan menjadi pemimpin juga tidak sembarangan. Jangan karena banyak modal, bisa mengumpulkan pendukung lalu menang pemilihan dan menjadi pemimpin.

Ini bahaya ! Karena siapapun bisa memimpin asal menang pemilihan. Tapi, karena sistem itu yang sudah menjadi kesepakatan, ya harus diikuti,’’

Kami: ‘’Lha sebaiknya bagaimana?’’

BK: “Semua kebijakan ada baik dan buruknya. Tinggal bagaimana rakyat yang menentukan. Jangan sampai dukungan itu digadaikan. Hal ini kan sudah berlangsung lama. Yang rugi siapa? Rakyat sendiri to? Makanya kali ini jangan sampai salah menentukan pilihan.

Kami : ‘’Yang harus kami lakukan apa?’’

BK : ‘’Ya lihat saja calon mana yang mendekati kreteria ideal. Karena pemimpin itu kalau orang Jawa bilang ada tiga sifat, yakni satrio, mandito dan sinisihan wahyu. Lha kalau ada pemimpin yang punya tiga ciri itu, jangan segan memilih.

Kami : ‘’Kalau menurut Bung, dari dua calon itu bagaimana?’’

BK: ‘’Cari saja sendiri adakah tiga sifat itu pada mereka. Meski ada Puti, saya tidak bisa condong ke dia, kalau dia atau pasangan dia tidak layak memimpin. Semua saya dukung, asal mereka benar-benar niat mengabdi pada rakyat.

Kesejahteraan rakyat harus menjadi prioritas. Kasihan rakyat yang terus menerus hidup susah. Harus ada keberanian dari pemimpin untuk membuat terobosan, untuk mengangkat kesejahteraan rakyat.

Itu yang paling penting. Jangan tergoda dengan pekerjaan-pekerjaan besar, spektakuler, megah namun kosong keterlibatan rakyatnya. Kosong sokongan pendapatan bagi rakyatnya.

Anehnya, proyek mercusuar itu seolah menjadi perlambang keberhasilan sebuah rezim pemimpin. Sementara, potensi yang benar-benar nyata, yang dekat dengan rakyat dan bisa mengangkat ekonomi rakyat diabaikan.

Pertanian dan kelautan itu potensi besar kita, yang sudah lama terbukti menopang perekonomian rakyat, namun tak serius digarap. Malah rakyat dipameri industri-industri besar, berat, yang padat modal namun miskin keterlibatan rakyat di dalamnya. Jangan tergiur.

(Kami tersentak dengan uraian itu. Bung Karno ternyata mengikuti perkembangan. Kami menjadi malu, karena diam-diam kami juga mengidolakan industrialisasi. Seolah tidak kekinian, seolah tidak keren kalau tidak ngomong industrialisasi.

Daerah seolah tidak maju kalau industri tidak masuk. Seolah kuno dan malu kalau hanya mengurus petani dan nelayan saja misalnya. Padahal, kalau mau jujur berapa persen sih sumbangsih industri pada ekonomi warga?

Saya juga mulai berfikir. Karena industri besar di Tuban juga tak banyak mengatrol kesejahteraan warga. Pendapatan regional domestic bruto (PDRB) naik, dan sector industry menyumbang. Hanya, yang terbanyak ternyata masih dari sektor pertanian.

PDRB Tuban yang terus naik selama lima tahun terakhir. Setiap tahun, rata-rata naik Rp 1 juta. Pada 2012 PDRB Tuban hanya Rp 7,1 juta. Jumlah ini menjadi Rp 8,07 juta pada 2013. Lalu pada 2014 naik menjadi Rp 9,08 juta dan terus naik menjadi Rp 10,2 juta pada 2015 dan Rp 11,08 juta pada 2016.

Itu datab dari BPS lho. Dimungkinkan, PDRB akan terus bertambah pada 2017 yang saat ini masih dihitung. Tapi, sebagian dana yang masuk hitungan hanya ngendon di beberapa pihak saja. Andai, merata ke seluruh warga.

Kami: ‘’Lalu siapa yang harus kami pilih Bung’’. Setelah kami tersadar dari lamunan.

BK : ‘’Pilih yang sesuai dengan nuranimu. Tanya hatimu mana yang baik menurutmu. Yang penting jangan sampai terjadi perpecahan. Semangatnya tetap satu; untuk Jawa Timur dan untuk NKRI.

Jangan, sampai kegiatan lima tahun sekali itu melukai dan merenggangkan ikatan persaudaraan yang selama puluhan tahun kami rajut. Siapapun yang terpilih itulah yang dikehendaki Tuhan. Sudah ini sudah malam. Saya mau istirahat. Seharian tamu tak putus-putus.

Dan, kami pun beranjak dari joglo. Sebelum kami keluar joglo ternyata ada pengunjung lagi sekeluarga. Bapak, ibu dan seorang anak laki-laki kecil. Entah tamu setelah kami itu diterima atau tidak oleh Bung Karno, karena kami tak menoleh lagi ke belakang.

Pesan damai Sang Proklamator itu jelas dan tegas, beda pilihan boleh,tapi jangan sampai merenggangkan persaudaraan. Jalinan ukhuwah berbingkai kebhinekaan itu tak boleh putus hanya karena beda pilihan dalam pilgub. Oh ya satu lagi, jangan hanya melulu mengejar industri namun mengabaikan potensi sendiri. Wallahu a’lam.(*)