Tuban Dikuasai Musuh Kepemerintahan Diserahkan Militer

Sebagai pintu masuk pendaratan Agresi Militer Belanda ke-II melalui jalur laut, pusat kota yang berjarak hanya 30 kilometer di sisi timur Pantai Glondongede, Tambakboyo, dengan cepat dikuasai pasukan kompeni. Pusat pemerintahan Tuban sempat dipindah beberapa kali demi menjaga kedaulatan dan kemerdekaan.

Reporter: Edy Purnomo

blokTuban.com – Kabar pendaratan pasukan Belanda di Pantai Glondonggede, Tambakboyo, sampai ke telinga Bupati Tuban, KH. Mustain, melalui sambungan telepon dari Asisten Wedono Tambakboyo Dwidjosoemarto pada 18 Desember 1948 sore.

Usai menerima telepon, “Bupati Tuban memerintahkan staf untuk mengamankan dokumen negara di Pendopo Kabupaten Tuban.” (Catatan Dewan Harian Cabang 45, Peristiwa Perjuangan Dalam Agresi II di Kabupaten Tuban dan Pembudayaan Nilai Kejuangan Melalui Napak Tilas, 2005).

Baca juga [Pantai Tuban Pintu Gerbang Agresi Militer II]

Bisa jadi itu adalah sambungan telepon terakhir yang bisa diterima Bupati Tuban dari Tambakboyo. Karena setelah mendarat di jam 20.00 WIB malam harinya, saluran telepon dari Tambakboyo menuju ke Tuban sudah tidak bisa tersambung. Dimungkinkan pasukan Belanda sengaja memutus semua akses komunikasi yang bisa dipergunakan para pejuang.

Sebelumnya, tidak membutuhkan waktu lama bagi Belanda memenuhi Pantai Glondonggede. Setelah berpuluh-puluh kendaraan dan beratus-ratus pasukan diturunkan dari kapal mulai tanggal 18 Desember 1948 sampai 19 Desember 1948.

“Kesibukan (pendaratan pasukan Belanda) berjalan semalam suntuk, kemudian dilanjutkan tanpa ada hentinya selama beberapa hari baik pada waktu pagi, siang, maupun malam.” (Panitia Penyusunan Sejarah Brigade Ronggolawe, Pengabdian Selama Perang Kemerdekaan Bersama Brigade Ronggolawe, 1985:231).

Pasukan kompeni melakukan gerak cepat. Sebagian langsung menuju ke wilayah barat dengan tujuan produksi minyak mentah di Kecamatan Cepu, Jawa Tengah, dan beberapa pasukan dengan kendaraan dan persenjataan lengkap menuju ke pusat kota Tuban. Membuat pos untuk menguasai pusat kepemerintahan.

Pejabat pemerintahan dan militer Indonesia berpikir kepemerintahan tidak boleh jatuh ke tangan Belanda.

“Sejak pendaratan di Glondong terjadi kesibukan luar biasa di dalam kota Tuban. Pertemuan darurat diselenggarakan antara pemimpin militer-sipil-kepolisian,”.

“Dalam pertemuan diputuskan untuk segera meninggalkan kota, kecuali komandan KDM dan stafnya sampai keadaan tidak bisa dipertahankan lagi.” (Panitia Penyusunan Sejarah Brigade Ronggolawe, Pengabdian Selama Perang Kemerdekaan Bersama Brigade Ronggolawe, 1985:235).

Karena keputusan itu, sekitar pukul 05.20 WIB, 19 Desember 1948, Bupati Tuban KH. Mustain dan beberapa orang penting dilarikan dan mundur dari wilayah perkotaan Tuban. Mereka mengungsikan kepemerintahan sementara di rumah Carik Prunggahan Kulon, Semanding yang bernama Wadiman.

Catatan DHC 45 menyebut, beberapa tokoh yang mengungsi untuk mempertahankan kepemerintahan adalah Bupati Tuban KH. Mustain, Patih Tuban R. Witono, Sekretaris Tuban R. Widigdo dan bersama dua orang staf. Mereka mendapat pengawalan langsung oleh Danres Kepolisian Negara Tuban, AKP R. Soesito, Ajudan Danres Ajun Brigadir Polisi Soekiman dan seorang anggota Perintis Agen Polisi Klas I Samiran.

Selama di tempat ini mereka juga mendapat pengawalan dari satu regu pasukan gerilya dari pos pertahanan Nambangan di bawah koordinasi langsung komandan ODM Semanding, Serma Sudjud dan lengkap dengan petugas kesehatan TNI yang sedang bertugas membawa PPPK buat pasukan gerilya di wilayah Kecamatan Semanding.

Kondisi Darurat, Kepemerintahan Diserahkan Militer

Kondisi di Tuban semakin tidak kondusif. Belanda dengan persenjataan yang lebih lengkap mulai memperkuat kedudukan di Tuban. Komandan KDM, R.E Soeharto beserta stafnya, di tanggal 20 Desember 1948 langsung mundur ke arah selatan dan menyusun komando pasukan dari Desa Prunggahan Wetan, yang bersebelahan dengan Desa Prunggahan Kulon, tempat Bupati Tuban KH. Mustain dan Danres Tuban berada. (Panitia Penyusunan Sejarah Brigade Ronggolawe, Pengabdian Selama Perang Kemerdekaan Bersama Brigade Ronggolawe, 1985:235).

Dua hari setelah Bupati Mustain dan beberapa orang penting Tuban berada di Prunggahan Kulon, mereka kemudian berpindah lagi di Dusun Tlogo Nongko, Desa Jadi, yang masih berada di Kecamatan Semanding. Kepindahan kedua kalinya itu, dilakukan pukul 10.00 WIB tanggal 21 Desember 1948.

“Malam harinya, orang-orang penting sipil dan militer Tuban menyusul ke Telogo Nongko, tepatnya di rumah kamituwo Waras,” (Catatan Dewan Harian Cabang 45, Peristiwa Perjuangan Dalam Agresi II di Kabupaten Tuban dan Pembudayaan Nilai Kejuangan Melalui Napak Tilas, 2005:12).

Mereka membicarakan satu hal: mengalihkan pemerintahan dari sipil ke militer sampai kondisi benar-benar aman. Kemudian keesokan harinya, 22 Desember 1948 jam 08.00 di rumah kamituwo Waras, Tlogonongko, Jadi, Semanding dilakukan serah terima dari pemerintahan sipil, KH. Mustain ke kepemerintahan militer yang dipimpin Komando Distrik Militer (KDM/KODIM) Kapten R.E Soeharto.

“Setelah pemerintahan dipegang militer maka kedudukan pemerintahan ditetapkan di Tlogonongko dan untuk memperkuat pertahanan didatangkan satu pasukan Combat dibawah pimpinan Sersan Mayor Mustadjab. Sedang Bupati Tuban KH. Mustain beserta stafnya kembali ke Tuban sesuai dengan tempat dan kedudukannya.

Selama kepemerintahan dalam tanggungjawab militer, Komandan KDM Tuban dengan pengawalan ketat harus berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Karena pada akhirnya tempat mereka mendapat serangan Belanda, pusat kepemerintahan akhirnya berpindah ke Montong pada 10 Januari 1949 jam 11.00, dan dipindah lagi ke Kawedanan Jatirogo (Kecamatan Jatirogo). Bersambung...

Sumber:
1. (Catatan Dewan Harian Cabang 45, Peristiwa Perjuangan Dalam Agresi II di Kabupaten Tuban dan Pembudayaan Nilai Kejuangan Melalui Napak Tilas, 2005).
2. (Panitia Penyusunan Sejarah Brigade Ronggolawe, Pengabdian Selama Perang Kemerdekaan Bersama Brigade Ronggolawe, 1985).
3. Keterangan foto: Iring-iringan kendaraan pasukan Belanda setelah mendarat di pantai Glondonggede. Dokumentasi foto milik Leen Camps-Van Der Zander, veteran Belanda yang ikut misi operasi  'Zeemeeuw', 18 Desember 1948.