Berkreasi, Tak Ingin Bergantung Orang Lain

Reporter: Mochamad Nur Rofiq

blokTuban.com - Tikar bagi masyarakat Jawa Timur, khususnya Kabupaten Tuban merupakan salah satu alat yang diperlukan hampir di setiap kegiatan sehari-hari. Umumnya bagi warga di pinggiran kota seperti Kecamatan Singgahan dan sekitarnya.

Sebelum bermunculannya berbagai jenis tikar sintetis dengan bahan dasar plastik, busa, dan lain sebagainya. Masyarakat selalu menggunakan tikar tradisional yang terbuat dari anyaman daun pandan. Hingga saat ini sesungguhnya tikar pandan masih digunakan meski jumlahnya cukup berkurang.

Melihat peluang tersebut, seorang disabilitas asal Dusun Krajan, Desa Mulyoagung, Kecamatan Singgahan tidak ingin melewatkannya. Seni anyaman tradisional menjadi andalan utuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Adalah Suwartini. Wanita yang memutuskan melajang hingga di usia ke 44 tahun tersebut, enggan menggantungkan hidupnya kepada orang lain. Bahkan ia, selalu bekerja keras demi sesuap nasi.

Meskipun tangan kanan Suwartini tak normal, dia tidak kesulitan menjalankan aktivitasnya sehari-hari sebagai perajin tikar dari pandan. Dia menggunakan tangan kiri dan kaki kirinya untuk menyusun helai demi helai daun pandan hingga berbentuk tikar.

"Awal lahir sebetulnya normal, namun akibat sakit panas tinggi tangan saya tidak bisa berfungsi sebagai mana mastinya," ujar Suwartini saat ditemui di rumahnya yang berada tepat di depan pintu masuk wisata air terjun Nglirip, Singgahan, Tuban.

Dikisahkan Suwartini, dirinya membuat tikar memang sedikit memakan waktu. Daun pandan yang didapat dari tetangga yang masih mentah harus disisir dahulu untuk melepaskan duri-durinya dan dibentuk agar ukuran lembaran jadi konsisten sebelum dikeringkan dibawah terik matahari.

Kemudian lanjut dia, materi tersebut dikerok agar menjadi lebih tipis dan lemas sehingga mudah untuk dianyam. Setelah dirasa cukup lemas, barulah materi siap dianyam menjadi tikar dimana ukuran bervariasi.

"Kalau saya biasa membuat ukuran 2,5 meter persegi," jelasnya.

Keseluruhan proses membutuhkan waktu sekitar dua minggu, tergantung rutinitas yang ia lakukan. Setiap lembar tikar dijual dengan harga Rp50 ribu.

Meski tidak seimbang dengan usahanya, namun Suwartini sangat mensyukuri hasil yang ia dapat. Ia mengaku bisa menghidupi dirinya tanpa harus meminta-minta memanfaatkan kekurangan fisiknya.

"Alhamdulillah tanpa harus ke pasar, sudah ada yang datang membeli tikar saya," pungkasnya. [rof/col]