Batik Gedog yang Bertahan di Tengah Fashion Moderen

“Tangan tua itu terlihat terampil memintal kapas yang dijadikan benang. Kemudian menganyam helaian benang menjadi selembar kain. Alat yang dia pergunakan terbuat dari kayu, yang sesekali dengan tenaganya yang terbatas dia sentak sehingga mengeluarkan bunyi “dog...dog...”.

Reporter: Khoirul Huda, Edy Purnomo

blokTuban.com – Lembaran kain dari hasil alat tradisional itulah yang disebut dengan kain tenun gedog. Jenis kain yang sepertinya hanya bisa ditemukan di wilayah pedesaan Kabupaten Tuban. Pengrajin yang masih bertahan membuat jenis kain gedog untuk dibatik berada dari Desa Kedungrejo, Kecamatan Kerek.

Desa Kedungrejo, merupakan desa dengan mayoritas perempuan yang bekerja sebagai pengrajin batik. Ciri khas dari batik yang dibuat di desa ini adalah kain gedog yang hanya dikerjakan dengan tangan. Sebuah karya yang memang perlu dilestarikan bersama, mengingat batik merupakan salah satu warisan dunia dari Indonesia.

Membuat batik gedog seolah sudah menjadi bagian denyut kehidupan warga Desa Kedungrejo. Tasri (56), nenek yang piawai membuat batik gedog sudah akrab dengan peralatan tradisionalnya sejak 40 tahun lalu. Tepatnya ketika dia masih remaja dan belum menikah, dia sudah terdidik dan mendapatkan ilmu ketrampilan dari orang tuanya.

"Dulunya saya melihat orang tua saya yang aktifitasnya juga menenun, sekitar 40 tahun yang lalu sejak itu saya bisa menenun," ungkap Tasri.

Dengan sabar dan telaten, setiap empat hari dia baru menyelesaikan satu lembar kain sepanjang 3 meter yang dijual dengan harga sekitar Rp120 ribu. Dia kemudian menyetor kain tersebut ke salah satu pengrajin di desa lain untuk dibatik dan dijual kembali.

Lain cerita, adalah Mbok Tar (60), yang sudah 45 tahun menekuni aktivitas membatik dan membuat kain gedog. Sejak masih anak-anak, dia sering melihat orang tua membatik dan terus mengamati cara kerjanya. "Saya bisa membatik tidak minta diajari, tapi dulu senang melihat Ibu dan orang tua membatik sampai akhirnya bisa sendiri," jelas Mbok Tar dalam bahasa jawa.

Meski di usia senja, dia masih akrab dengan beragam alat seperti canting, malam, wajan, dan kompor berukuran kecil. Diapun mampu membuat beragam motif batik seperti lintang ratan, kembang waloh, larwongo, ganggeng, dan panji konang.

Dulu Mbok Tar selalu menjual sendiri batik karyanya ke pasar. Tapi sekarang dia hanya melayani pesanan dari pengepul dan pengrajin batik yang lebih besar. Setiap satu lembar kain dengan panjang sekitar 4 meter, dia mendapat ongkos Rp75 ribu, dengan bahan dan kain yang disediakan oleh pemesan.

Pengrajin batik gedog di Desa Kedungrejo masih banyak yang sudah berusia lanjut. Selain bekerja mencari nafkah, karya yang mereka hasilkan adalah bentuk pelestarian dari peninggalan nenek moyang.

Proses Rumit dengan Nilai Estetika Tinggi

Membuat batik, apalagi batik dengan kain tenun gedog bukan perkara mudah. Ada serangkaian proses yang cukup rumit dan memakan waktu cukup panjang. Itulah yang menjadi alasan kenapa karya batik gedog kebanyakan dipatok tidak dengan harga murah.

Ahli batik sekaligus pemilik Sanggar Sekar Ayu Wilujeng di Desa Kedungrejo, Uswatun Hasanah, menjelaskan beberapa tahaoan pembuatan batik tenun gedog. Rata-rata semuanya masih menggunakan peralatan yang tradisional.

Tahap awal membuat batik tenun gedog adalah memintal benang menjadi kain menggunakan sejenis alat tradisional yang diberi nama Jontro, setelah jadi hasil pintal benang itu direbus dan dikanji, kemudian dikeringkan untuk disikat dan diulur serta diurai, kemudian pengukuran panjang benang (hani/manen), lalu proses meluruskan(Nyurup dan Ngelap), selanjutnya digulung lalu dimasukan kedalam alat sejenis kemplongan, dan baru kemudian kain itu bisa ditenun.

Proses diatas baru sebatas pembuatan kain tenun gedog. Membutuhkan waktu yang cukup panjang sebelum kain itu bisa dibatik.

Setelah kain jadi, pembatik baru bisa membuat corak di kain menggunakan canting dan malam, kemudian melakukan pewarnaan sesuai kebutuhan. Proses membatik menggunakan tanganpun bukan perkara mudah dan masih membutuhkan waktu yang cukup lama.

Harga batik tergantung dengan tingkat kerumitan dalam menenun, membuat corak, ataupun pewarnaan. Uswatun menjelaskan, harga batik di Desa Kedungrejo bervariatif, mulai dari Rp100.000 sampai Rp6 juta.

"Karena menenun kain gedog dan membatik membutuhkan waktu yang cukup lama," kata Uswatun.

Uswatun menjelaskan, ada ribuan motif batik yang dibuat pengrajin asal Desa Kedungrejo. Bahkan Uswatun sendiri mempunyai 1.000 lembar koleksi motif batik yang semuanya berbeda dan dia warisi secara turun temurun dari keluarganya. "Motif batik yang saya warisi dari Mbah (nenek) sekitar seribu lembar, mungkin usianya sudah 200 tahun," kata pengusaha batik sukses itu menerangkan.


Akrab dengan Tradisi Petani, Produksi Batik Juga Tergantung Musim

Motif batik yang dihasilkan warga Desa Kedungrejo, Kecamatan Kerek, Kabupaten Tuban, sangat beragam. Batik andalan menggunakan kain tenun gedog itu, juga masih dipertahankan untuk tradisi masyarakat desa yang sebagian besar bekerja sebagai petani.

Adat istiadat kuno yang masih dilestarikan petani Desa Kedungrejo, adalah menggunakan kain batik tenun gedog sebagai upacara adat. Seperti halnya wiwit (memulai) tanam ketika musim tanam menjelang.

"Ketika mulai masuk musim tanam, petani masih sering menggunakan kain batik tenun gedog sebelum memulai pekerjaan," kata Uswatun, ahli batik sekaligus pemilik Sanggar Sekar Ayu Wilujeng.

Ragam pembuatan batik menggunakan kain tenun gedog di desa ini juga menarik minat dari kalangan luar. Tak jarang ada kunjungan dari instansi dari luar Tuban, seniman, dan juga peneliti dari luar negeri.

"Pernah juga ada penelitian di Desa Kedungrejo yang dilakukan oleh Rens Heringa warga kenegaraan Belanda, dia mengatakan kalau batik tenun Gedog di Desa Kedungrejo merupakan batik tenun gedog tertua (dari desa lain di Tuban)," ujar Uswatun.

Batik Kedungrejo yang tumbuh di lingkungan petani membuat produksinya juga bergantung dengan musim. Itu karena banyak warga yang menjadikan membatik merupakan pekerjaaan di sela mereka sebagai petani.

Produksi batik di desa ini sangat tinggi ketika musim kemarau, waktu dimana banyak perempuan tidak bekerja di sawah dan mempunyai waktu lebih senggang. Hal itu berbeda ketika musim penghujan, terlebih ketika musim panen ataupun musim tanam, sebagian besar waktu perempuan di desa tersebut dihabiskan untuk berada di sawah dan ladang.

"Dalam seminggu saat musim kemarau saya bisa menerima 300 sampai 500 potong batik dari para pengrajin, namun ketika musim tanam dan musim panen ini para perajin dalam sebulan hanya sekitar 50 potong saja," terang Uswatun.

Di Desa Kedungrejo, diperkirakan ada 40 penenun kain gedog, dan sekitar 150 orang pembatik dari lintas generasi. Mulai dari anak-anak sampai orang tua.

 

Berpenghasilan Tidak Menentu, Aktivitas Membatik Terancam Ditinggalkan

Pekerjaan membuat batik menggunakan kain tenun gedog bukan perkara mudah. Selain itu, para pengrajin biasanya tidak mempunyai jaringan pemasaran yang kuat ketika mereka memproduksi dengan jumlah besar.

Kepala Desa Kedungrejo, Sugiono, menjelaskan kesulitan jaringan pemasaran membuat pembatik berpenghasilan tidak menentu. Hasil jual membatik dinilai masih kurang sepadan dengan tenaga yang dikeluarkan, dimana para pembatik masih ada yang menggunakan peralatan tradisional.

"Itulah yang membuat generasi tidak mau melanjutkan membatik dan menenun, lebih banyak mencari pekerjaan di proyek atau merantau," kata Sugiono.

Sugiono menjelaskan, bekerja di sektor lain di luar aktivitas membatik dinilai lebih menghasilkan oleh warga. Para pembatik sekarang, juga banyak yang menjadikan aktivitas membatik sebagai sampingan untuk mengisi waktu senggang ketika tidak sedang bertani.

"Untuk musim penghujan, karena mayoritas warga Kedungrejo adalah petani lebih mengutamakan pertanianya, sehingga aktifitas membatik dan menenun menjadi salah satu aktifitas sampingan yang bisa dikerjakan saat bersantai dirumah," Kata Sugiono.

Supaya budaya membatik tetap lestari, Pemdes berharap nilai komoditas barang dihasilkan pengrajin bisa lebih tinggi. Dengan begitu, sektor ini bisa dilirik lagi oleh generasi muda.

"Saya berharap harga barang yang dihasilkan warga mempunyai nilai ekonomi lebih tinggi, agar hasil yang didapat sesuai dengan ongkos dan tenaga yang dikeluarkan," tandasnya. [hud/pur/ito]


Biografi Desa Kedungrejo

Luas Wilayah 1.144.03 Ha

Perbatasan Sebelah Utara Desa Sawir Kecamatan Tambakboyo

Perbatasan sebelah Timur Desa Kasiman Kecamatan Kerek

Perbatasan sebelah Selatan Desa Margorejo, Kecamatan Kerek

Perbatasan sebelah Barat Desa Gaji Kecamatan Kerek

Jarak Ke-kecamatan 3,5 KM

Jarak Ke-Kota Tuban 29 Km

Jumlah penduduk laki-laki: 1863 orang
Jumlah penduduk perempuan: 2038 orang

Jumlah KK 950.

 

sanggar-sekar-ayu-uswatun