Aku Tidak Bisa Jatuh Cinta Pada Jam Dinding, Bu!

Penulis: Aida A. R.*

blokTuban.com - Barangkali aku akan menjadi orang tuli dengan telinga normal di kota ini. Segalanya terasa sepi, jalanan nyaris lengang, gedung-gedung tua dan kelabu sama dengan usia yang tidak dikata muda lagi. Bagi telinga normal yang sehat, hidup ini seperti suara klakson kendaraan yang padat merayap di jalanan. Saling berlomba memencet klakson untuk segera mendapat jalan dari kendaraan di depannya. Dan waktulah yang membuat segalanya menjadi riuh, ramai, lagi-lagi bagi telinga yang normal dan sehat.

Bagiku waktu merupa kawan yang menjengkelkan. Bagaimana tidak? Ia membuatku tuli, lalu menghadirkan peri pemetik air mata. Aku mulai tuli sejak waktu tak acuh mendengar curahan hati. Dan sejak ia membuat derai air mata menetes seperti hujan yang tiada reda. Berbicara tentang waktu, aku selalu ingat jam dinding di kamar. Dentingnya semakin keras saja pada usiaku ini. Ia membuat detak jantung berdebar melebihi debaran orang yang sedang jatuh cinta. Ia, ah tidak bisa membuat tenang dan bersantai ria. Seolah-olah menjelma malaikat pencabut maut bila deadline tugas dan pelunasan hutang jatuh tempo. Longgar pun, tampilannya juga sama menyeramkan. Saat aku berusaha membanting jam dinding itu, ibu menghampiri sambil melihat yang kulakukan. Katanya “Waktu bisa menjadi kawan yang baik, tapi sebaliknya bisa pula jadi lawan yang luar biasa menikam seperti hunusan pedang. Tinggal kau pilih yang mana, Dik?”

“Bu, waktu membuatku menua dengan rangkaian kejadian naif di kepala.”

“Tapi waktu bisa mengembalikan masa muda dengan usia yang terbilang sudah renta, Dik.”

“Bagaimana bisa begitu, Bu?”

“Jadikan waktu sebagai sahabat. Kamu akan tahu manfaat bersahabat dengannya bila dekat dan memahami setiap putaran jarum jam. Karena sejatinya waktu adalah kamu. Cintailah ia, maka kamu merasa bahwa kehidupanmu berharga.”

“Tapi waktu terlalu terburu-buru berputar, Bu.”

“Itu tanda kasih sayang waktu. Ia tak mau orang terlena. Terlena karena kebahagiaan, galau karena kenangan. Jatuh cintalah pada jam dindingmu itu! Jangan dibanting-banting. Ibu tak akan membelikan yang baru.”

*****

Pada suatu sore, aku duduk di halte depan kampus. Menunggu bus jurusan Surabaya-Semarang yang akan mengantarku sampai rumah. Melihat dua insan memadu asmara, imajinasiku melayang: barangkali cinta seperti menunggu bus, bila bus yang datang tidak sesuai jalur yang dituju, maka penumpang tidaklah naik, namun jika sesuai alamat, naiklah penumpang itu walau harus menunggu lama. Lagi-lagi waktulah yang menjawab kesanggupan untuk menunggu atau menerima yang tidak sesuai kehendak. Tidak lama kemudian, lamunanku terhenti. Bus yang kutunggu tiba. Di dalam bus, aku duduk bersebelahan dengan seorang laki-laki paru baya. Tanpa ada aba-aba, dia bercerita tentang hidupnya.

“Waktu membuat saya berharap kenangan akan kembali. Kenangan bersama kekasih, dan anak dari buah hati kami. Saya selalu menangisi keadaan itu. Sungguh kejam saya ini, kejam!”

“Waktu memang kejam, Pak bila kita memilih menjadi lawannya.” Kataku meminjam kata-kata ibu. “Kamu ini mengingatkan akan kekasih saya itu, yang mengatakan hal yang aku sesali adalah ketika aku tak dapat menyesali semua yang sudah terjadi. Penyebabnya adalah waktu yang kucintai.”

“Istri Bapak berarti orang yang bersahabat dan jatuh cinta sejatuh-jatuhnya pada waktu.”

“Benar, dan tidak semua orang bisa seperti itu, termasuk saya. Kamu mencintai waktukah?”

“Awalnya saya membencinya karena waktu tak bisa diajak kompromi, Pak.”

“Kenangankah yang membuatmu membencinya?”

“Widang, Widang, yang Widang turun.” Suara kenek bus memecah keheningan wajah kami.

“Ah, sayang sekali jalan yang memisahkan percakapan kita. Saya mau turun, ini kartu nama saya. Semoga kita bisa berjumpa kembali. Oh, ya wajahmu mengingatkan pada kekasih saya.”

“Kinan Gerry. Iya, itu nama saya.”

*****

Entah mengapa nama Pak Kinan Gerry memenuhi kepalaku. Rasanya tak asing padahal baru saja bertemu. Tik..., tok..., tik..., tok..., suara jarum jam dinding membuyarkan ingatanku. Aku membaca kembali kartu nama Pak Kinan. Muncullah ibu dari luar jendela. “Dik, tolong bukakan pagar yang kamu gembok.” “Iya, Bu sebentar.”

Ibu adalah orang yang tidak pernah lupa mengatakan maaf, tolong, terima kasih kepada orang. Meski beliau lebih tua dari orang yang mendapat ucapan itu. Seperti yang beliau katakan padaku.

“Ibu tampak lemas, adik buatkan makanankah?”

“Tak usah, Dik. Ibu tadi sudah makan. Terkadang waktu tak dapat menyembuhkan luka.” Katanya dengan tatapan nanar.

“Waktu seperti hujan yang selalu membasahi luka, Bu. Luka karena kematian ayah bagiku tidak pernah kemarau.”

“Hmm, maafkan ibu, maafkan, Dik.” “Maaf untuk apa, Bu?”


“Ibu selalu berusaha tidak menyesali hal yang terjadi tapi tidak bisa.”

“Ibu, mengapa berkata demikian?”

“Ibu tadi bertemu dengan masa lalu yang akan tetap menjadi hantu.”

“Dihantui masa lalu apa, Bu?”

“Ibu, ibu..., mau istirahat, rapat tadi menguras tenaga. Ibu tidur dulu.”

“Iya, Bu. Selamat rehat.”

Kata-kata dan raut wajah ibu menampakkan keganjilan, seperti ada yang ditutupi. Baru kali ini aku melihat ibu begitu. Seperti ada dosa yang membuatnya tidak tahan menanggungnya. Rasanya dada ini sesak melihat ibu yang selalu tegar dilanda gundah. Kenangan tentang ayah pun terus tumbuh serupa hutan belantara. Di dapur, di kamar mandi, di beranda, di kamar beserta jam dinding itu. Bahkan tak jarang kenangan ayah tumbuh di kepalaku. Ayah ada sesuatu hal yang membuat ibu goyah, tapi aku tak tahu apa itu.

Jam dinding itu, pemberian ayah. Tidak dapat dipungkiri jam yang berbentuk baju dengan motif zebra itu yang selalu menemaniku di kamar. Ia tahu segala hal yang kulakukan, kurasakan. Ia pula petaka, setiap meliriknya teringat saat ayah memberikan jam dinding itu dan aku menerimanya dengan senang hati.

*****

Aku heran dan tak mengerti dengan masa lalu ibu yang menyeret beliau hingga lemas, hanya berkutat di kamar. Setiap kali aku mengajaknya bicara, air matanya menjadi jawaban atas pertanyaanku.

“Ibu, tolong katakan pada adik masa lalu apa yang membuat ibu menjadi begini?”

“Maafkan ibu, maafkan ibu.” Linangan air mata membuat wajahnya kuyup.

“Maaf untuk apa, Bu?”

“Ayahmu, kamu, dan Gerry. Tolong tinggalkan ibu sendiri, ibu butuh rehat sejenak.”

“Ayah, aku, Gerry?” Semakin ganjil saja sikap ibu ini. Sepertinya aku pernah mendengar nama terakhir yang disebut ibu. Aku berusaha mengingat-ingat. Kartu nama bapak itu. Kubuka sorogan almari bukuku, ada kartu nama dengan nama Kinan Gerry. Apa Gerry yang ibu maksud sama dengan Pak Gerry itu? Aku ingat, Pak Gerry pernah berkata aku mengingatkannya pada kekasihnya. Apa hubungan ibu dengannya? Kekasih? Siapa yang dimaksud buah hatinya? Otak dan hatiku carut marut. Belum kering luka ini karena kematian ayah, tumbuh lagi luka lain di tempat yang sama.

*****

Selang beberapa hari dari sikap ibu yang aneh dan bungkam, aku tidak melihat ibu di kamarnya. Aku pikir beliau pergi ke kantor, sampai malam aku tunggu-tunggu kedatangannya tak datang. Aku hubungi nomor ponsel ibu tidak aktif. Keesokan harinya, aku menemukan kertas putih yang dilipat terletak di meja belajarku. Kertas itu berisi ungkapan ibu.

Adik, maafkan ibu pada usiamu ke-20 tahun baru bisa mengatakan rahasia ini. Sebenarnya kamu bukan anak kandung dari ayah yang selama ini bersamamu. Kamu adalah buah cinta dari ibu dan mantan kekasih ibu. Memang ibu menikah dengan ayahmu, tapi selama pernikahan, kami tidak dikaruniai anak. Ayahmu yang menyuruh ibu untuk melakukan hubungan seksual dengan mantan kekasih ibu. Dia adalah sahabat karib ayahmu, dan ayah tahu kami dulu sepasang kekasih yang terpisah karena perjodohan antara ibu dan ayah. Maaf ibu baru cerita, rasanya ibu sudah tidak kuat menanggung dosa ini. Apalagi sejak pertemuan ibu dengan mantan kekasih. Dia mengajak ibu kembali menyelami masa lalu. Ibu semakin tidak kuat menanggung rasa bersalah padamu, juga ayahmu. Setiap melihatmu, ibu selalu terbayang wajah Gerry mantan kekasih ibu dan juga kasih sayang ayahmu walau kamu bukan anak kandungnya. Untuk itu, ibu memilih pergi menjauh dari masa lalu yang merupa masa depan: kamu iya kamu maksud ibu. Ibu tak bisa menjalin cinta dengan waktu, ibu tak bisa menjaga kesetiaan cinta ayahmu. Maafkan ibumu ini yang tak punya nurani. Datanglah ke alamat dalam kartu nama yang ibu selipkan ini, temui ayah kandungmu. Hiduplah bersamanya, dia baik seperti ayahmu. Salam terkasih dari ibumu.

Derai air mata membuncah, luka ini semakin kuyup dan hujan pun enggan berhenti dari pelataran diriku. Gerry laki-laki paru baya itu rupanya ayah kandungku, kekasih ibu. Ternyata aku lahir dari hubungan terlarang.

Tak terasa seminggu sudah aku terguncang. Tiba-tiba ada pesan dari nomor ibu: mulailah bersahabat dengan waktu, ingat jam dinding kesayangamu itu. Berdamailah dengan keadaan, begitu pula yang ibu lakukan. Temui ayahmu di kantornya, dia pasti senang bertemu putri yang tidak pernah dipeluknya selama 20 tahun.

Meski ibu telah menyembunyikan identitasku, aku merasa beliau adalah junjungan yang selalu menjadi penopangku. Aku berusaha menenangkan diri, berdamai dengan kondisiku dan mencoba menerima saran beliau untuk datang ke kantor Pak Gerry ayah kandungku.

Kulangkahkan kaki menuju kantor Pak Gerry, setibanya di sana aku bertemu dengan wajah yang meminta kenangannya kembali sewaktu cerita di bus. Dia memelukku dan berkata “Saya tahu kamu putriku. Fotomu dan ibumu adalah pelipur rindu saya yang tak punya keluarga lain selain kalian. Ibumu memilih pergi dan menitipkanmu kepada saya. Jangan pergi dari ayah lagi, Nak. Ayah takut kehilangan dan merasakan kesepian. Bagi ayah kesepian adalah nama lain kematian secara perlahan.”

“Bapak adalah orang yang berdosa besar telah mengkhianati ibu dan ayah.” Kataku sinis dan melepaskan dari pelukannya.

“Bapak jangan hanya mengandalkan nafsu, kalau saja saya boleh memilih lebih baik saya tidak dilahirkan dari hubungan terlarang itu,” sergapku.

“Nak, maafkan Ayahmu ini. Itu semua atas kehendak suami ibumu. Dia tidak mau menyentuh ibumu sama sekali dalam pernikahannya.”

“Bukankah penyebabnya mereka tidak dikarunia anak?”

“Bukan, suami ibumu tidak mencintai ibumu. Dia mencintai ayah, Nak. Dia meminta kami berhubungan seks karena ingin terus melihatku lewat darah dagingku yaitu kamu.”

“Bohong, Bapak dusta. Ibu bilang mereka tidak dikaruniai anak.”

“Itu karena ibumu tak mau menyakitimu yang amat menyayangi ayahmu. Ayahmu itu homo, suka dengan lelaki. Dia menyukaiku, Nak. Percayalah kejujuran yang selama ini tertahan dari bibir ayah.”

Aku berlari keluar, terus berlari. Ibu, waktu adalah pedang yang selama ini menghunusku secara perlahan, sekarang ia lebih cepat menancapkan tajam ujungnya itu di dadaku. Ibu, aku lelap oleh darah yang keluar dari tubuhku. Ibu!


*Aida A. R., Mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Unirow Tuban. Aktif di Kostra Unirow Tuban

Ilustrasi: id.aliexpress.com