Sejarah Masjid An-Nur Nurul Miftahussofyan Gomang

Reporter: Mochamad Nur Rofiq

blokTuban.com - Pagi yang cerah sinar matahari mulai menyengat tubuh. Saat itu, tampak para warga bergotong royong membenahi kompleks Pondok Walisongo. Bunyi hantaman palu bersautan, membentuk irama menandakan keguyuban warga desa.

blokTuban.com berkunjung ke tempat itu, Minggu (24/7/2016), bertemu KH Noer Nasroh Hadiningrat dan putranya Armaya Mangku Negara atau Gus Maya, di Aula ponpes Walisongo.

Di pondok yang berada di perbukitan hutan ini, diceritakan tentang kisah berdirinya pondok dan masjid satu tiang yang unik di area tersebut.

Mengawali kisahnya, Kiai yang mengaku masih memiliki garis keturunan Kesultanan Demak Bintoro itu menceritakan awal mula perjuangannya. Usai menimba ilmu di berbagai Ponpes di Indonesia, Noer Nasroh diminta kiainya untuk mengabdikan ilmunya di Dusun Gomang, yang kala itu merupakan daerah terisolir dengan penduduk hanya 12 kepala keluarga (KK).

"Para penduduk saat itu menganut aliran Sapto Darmo yang menyembah matahari dan bersembahyang menghadap ke arah timur," tutur Pendiri Pondok Walisongo itu kepada blokTuban.com.

Tak hanya itu, pada zaman tersebut warga Gomang selalu bersembunyi setiap kali ada polisi atau pamong desa datang. Ditambahkan Kiai Nasroh, ketika pertama datang ke dusun tersebut, ia mengawali syiar Islam dengan mengajarkan baca tulis kepada warga. Sampai pada tahun 1977 Kiai Nasroh mendirikan Ponpes Walisongo dengan santri saat itu hanya enam orang.

"Hari demi hari, nama Ponpes Walisongo makin dikenal. Sampai tahun 1994 tercatat ada 800 santri mondok di sini," lanjutnya.

Disaat itu, Kiai Nasroh kebingungan lantaran belum punya masjid. Sampai-sampai, sempat empat kali berpindah lokasi untuk Salat Jumat. Mulai dari menggunakan musala hingga memanfaatkan ruang majlis taklim.

Dengan modal uang Rp750.000, Kiai dan para santrinya lalu bertekad mendirikan masjid. Saat itu pembelian kayu dibatasi oleh pemerintah, jika melebihi batas harus melalui proses yang sangat sulit.

"Saya bersyukur mendapat bantuan dari Pak Miftah yang saat itu menjabat ADM Perhutani dan Pak Sofyan sebagai Asper. Makanya, untuk mengenang, nama kami bertiga diputuskan untuk digunakan sebagai nama masjid ini, An-Nur Nurul Miftahussofyan,” kisah bapak enam anak ini. [rof/col]