Mengenal Basuki Rahmat, Kurir dan Saksi Penandatanganan Supersemar Asal Tuban

Reporter : Ali Imron

blokTuban.com - Bulan November tahun 1965, Basuki Rahmat dipindahkan ke Jakarta dan menjadi anggota staf Soeharto yang pada saat itu menjabat sebagai Panglima Angkatan Darat. Basuki Rahmat menduduki jabatan sebagai Deputi Bidang Keuangan dan Hubungan Sipil.

Waktu itu, Basuki juga aktif sebagai anggota Panitia Sosial Politik (Panitia SosPol), sebuah think-tank politik Angkatan Darat yang dibentuk Soeharto setelah ia menjadi Komandan

Pada bulan Februari tahun 1966, dalam sebuah reshuffle kabinet, Basuki Rahmat diangkat menjadi Menteri Urusan Veteran. Tanggal 11 Maret 1966, Basuki menghadiri rapat kabinet yang pertama diadakan setelah Soekarno melakukan reshuffle kabinet di akhir bulan Februari di Istana Presiden.

Pertemuan belum lama berlangsung, ketika Soekarno tiba-tiba meninggalkan ruangan, setelah menerima catatan dari komandan pengawalnya. Ketika pertemuan itu selesai, Basuki dan Menteri Perindustrian, Mohammad Jusuf, pergi keluar dari Istana Presiden untuk bertemu dengan Amir Machmud, Komandan KODAM V / Jaya.

Basuki kemudian diberitahu apa yang telah terjadi dan mendapat informasi bahwa Soekarno telah pergi ke Bogor naik helikopter karena tidak aman di Jakarta. Jusuf menyarankan agar mereka bertiga pergi ke Bogor untuk memberikan dukungan moral bagi Soekarno.

Dua jenderal tersebut setuju dan bersama-sama pergi ke Bogor setelah meminta izin dari Soeharto. Menurut Amir Machmud, Soeharto meminta ketiga jenderal tersebut untuk memberitahu Soekarno mengenai kesiapannya untuk memulihkan keamanan apabila Soekarno memerintahkannya.

Di Bogor, ketiga jendral tersebut bertemu dengan Soekarno yang tidak senang dengan situasi keamanan dan dengan penegasan Amir Machmud bahwa segalanya aman.

Soekarno kemudian mulai mendiskusikan pilihan-pilihan yang ada dengan Basuki, Jusuf, dan Amir Machmud sebelum akhirnya bertanya pada mereka bagaimana ia bisa mengendalikan situasi.

Basuki dan Jusuf diam, tetapi Amir Machmud menyarankan agar Soekarno memberikan beberapa kewenangan dan bersama-sama memerintah Indonesia sehingga semuanya dapat diamankan. Pertemuan kemudian dibubarkan dan Soekarno mulai mempersiapkan Surat Keputusan Presiden.

Tiba ketika Surat Keputusan yang kemudian menjadi Supersemar itu akhirnya siap dan menunggu tanda tangan dari Soekarno. Soekarno ragu-ragu di detik-detik terakhir, tetapi Jusuf dan dua jenderal serta orang-orang terdekat Soekarno dalam Kabinet yang juga telah tiba di Bogor mendorongnya untuk menandatangani.

Soekarno akhirnya menandatangani surat itu. Sebagai jendral yang paling senior, Basuki dipercaya untuk membawa surat keputusan tersebut dan diperintahkan untuk menyampaikannya kepada Soeharto. Malam itu, tiga Jenderal segera pergi ke Markas Kostrad dan Basuki menyerahkan surat tersebut kepada Soeharto.

Terdapat kontroversi mengenai peran Basuki Rahmat dalam peristiwa Supersemar. Ada salah satu versi yang menyatakan bahwa ada empat jenderal yang pergi ke Bogor, di mana jendral yang keempat adalah Maraden Panggabean.

Versi ini menyebutkan bahwa Basuki dan Panggabean menodongkan pistol ke Soekarno dan memaksanya untuk menandatangani Supersemar yang telah dipersiapkan dan dibawa oleh Jusuf dalam map berwarna merah muda.

Pada 13 Maret, Soekarno memanggil Basuki, Jusuf, dan Amir Machmud. Soekarno marah karena Soeharto telah melarang PKI dan menyatakan kepada tiga jendral bahwa Supersemar tidak memuat perintah semacam itu.

Soekarno kemudian memerintahkan agar Surat Keputusan tersebut ditunjukkan padanya untuk memeriksa isi Supersemar, tetapi salinan Surat Keputusan itu tidak pernah diketemukan kecuali salinan yang berada di tangan mantan Duta Besar Kuba, AM Hanafi.

Penyerahan Supersemar secara de facto memberi Soeharto kekuasaan eksekutif dan ia segera mulai membentuk Kabinet yang lebih menguntungkan baginya. Basuki menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri sejak Kabinet pertama Soeharto di bulan Maret 1966 hingga ketika Soeharto secara resmi menjadi presiden di bulan Juni 1968.

Basuki Rahmat lahir pada tanggal 4 November 1921 di Tuban, Jawa Timur. Ayahnya, Raden Soenodihardjo Sudarsono, adalah asisten residen setempat. Ibunya, Soeratni, meninggal pada bulan Januari 1925 ketika Basuki berusia empat tahun, sepuluh hari setelah melahirkan adiknya. Ketika berusia tujuh tahun.

Basuki masuk sekolah dasar. Pada tahun 1932 ayahnya meninggal, sehingga berakibat terhentinya pendidikan Basuki. Dia dikirim untuk tinggal bersama adik ayahnya dan lulus dari SMP pada tahun 1939 serta dari SMA Yogyakarta Muhammadiyah pada tahun 1942, ketika Jepang mulai menduduki Indonesia.

Basuki Rachmat sebetulnya sempat bercita-cita menjadi guru dengan belajar di Hollandsche Indische Kweekschool Muhammadiyah, Yogyakarta. Namun, kedatangan Jepang ke Indonesia membuatnya terseret menjadi tentara dengan masuk Pembela Tanah Air (PETA).

Sekitar tahun 1943, selama pendudukan Jepang di Indonesia, Basuki bergabung dengan Tentara Pembela Tanah Air (PETA), yang didirikan oleh tentara Jepang untuk melatih tentara tambahan dalam menghadapi invasi tentara Amerika Serikat ke Pulau Jawa. Di PETA, Basuki diangkat menjadi Komandan Kompi.

Dengan terjadinya Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 yang diproklamasikan oleh para pemimpin Nasionalis Soekarno dan Mohammad Hatta, Basuki, seperti kebanyakan pemuda lain bergabung ke kelompok milisi yang dipersiapkan untuk membentuk tentara Angkatan Darat Indonesia.

Dalam Siapa Dia? Perwira Tinggi TNI Angkatan Darat (1988:254), Harsya Bachtiar mencatat bahwa Basuki Rachmat pernah menjadi komandan peleton dan komandan kompi di Pacitan. Di zaman revolusi, ia pernah menjadi komandan batalion dalam Brigade Ronggolawe di Jawa Timur.

Setelah PETA dibubarkan pada 1945, seperti dicatat Dasman Djamaluddin dalam Jenderal TNI Anumerta Basoeki Rachmat dan Supersemar (2008: 10), Basuki Rachmat menjadi Inspektur Polisi di Madiun. Pada tahun 1950-an, ia menjadi pejabat komandan di beberapa resimen di Jawa Timur. Bahkan dari 1962 sampai 1965, ia menjadi Panglima Kodam Brawijaya, Jawa Timur.

Basuki Rahmat meninggal pada tanggal 9 Januari 1969 ketika masih memegang jabatan sebagai Menteri Dalam Negeri. Posisinya digantikan oleh Amir Machmud. Setelah ia meninggal Pemda Jakarta mengubah nama Jalan Proklamasi (Depok Timur) yang terhubung ke Jalan Arif Rahman Hakim (Margonda) menjadi Jalan Basuki Rahmat.[ali/ono]