Selamat Datang Peradaban Baru

Oleh : Sri Wiyono

blokTuban.com - ‘’Kehidupan kita sudah pasti berubah untuk mengatasi risiko wabah ini, itu keniscayaan. Itulah yang oleh banyak orang disebut new normal atau tatanan kehidupan baru’’

 

Begitulah pernyataan resmi Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana Merdeka 15 Mei lalu. Saat menyampaikan rencana pemerintah menerapkan new normal. NEW NORMAL !!! Normal Baru. Peradaban baru. Begitulah kira-kira yang saat ini sedang dipersiapkan pemerintah. Sejumlah provinsi dan kabupaten/kota menjadi tempat untuk menguji konsep tersebut.

 

Satu minggu, empat provinsi yakni DKI Jakarta, Jawa Barat, Sumatra Barat dan Gorontalo akan menerapkan status normal baru tersebut.  Lalu 25 kabupaten/kota di antaranya adalah Surabaya, Malang, Tangeran, Tegal, Palembang, Pekan Baru dan Banjarmasin yang memulai tatanan baru sejak Juni ini.

 

Sesuai dengan pernyataan resmi Presiden Jokowi di Istana Merdeka 15 Mei lalu itu, ada lima fase penerapan normal baru ini. Dimulai sejak Juni sampai Juli nanti. Setiap fase disesuaikan dengan kondisi saat itu. Dan dievaluasi hasilnya sebelum lanjut ke fase berikutnya.

 

Misalnya, pada fase pertama yang dimulai 1 Juni, industri dan jasa bisnis ke bisnis beroperasi dengan social distancing dan persyaratan kesehatan. Toko, pasar dan mall belum boleh beroperasi. Kecuali toko penjual masker atau peralatan kesehatan.

 

Sektor kesehatan beroperasi penuh dengan memperhatikan kapasitas sistem kesehatan. Berkumpul maksimal dua orang di dalam satu ruangan, olahraga luar ruang belum diperbolehkan.

 

Kebijakan itu berubah pada fase dua yang dimulai 8 Juni. Meski harus dalam protokol yang ketat tapi toko, pasar dan mall bisa buka. Namun usaha dengan kontak fisik belum boleh beroperasi. Serta olahraga luar ruangan juga belum boleh.

 

Fase-fase selanjutnya, akan diperluas kemungkinannya dengan memperhatikan hasil evaluasi fase sebelumnya. Setidaknya begitu yang direncanakan pemerintah. Sebab, kehidupan harus terus berjalan, sedang wabah Covid-19 masih belum pasti kapan berakhir.

 

Pemulihan ekonomi harus mulai digerakkan. Sudah terlalu banyak dampak yang ditimbulkan. Pelan namun pasti roda kehidupan itu mulai diputar. Tentu dengan syarat yang ketat. 

 

Protokol kesehatan harus dilaksanakan. Itu kenapa Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahyanto menyiapkan 340 ribu personel untuk memastikan pelaksanaan new normal ini berjalan sesuai harapan.

 

Masyarakat tentu harus mendukung dengan menaati aturan, menjalankan anjuran pemerintah dan memberlakukan aturan atau protokol ketat untuk diri sendiri, keluarga dan lingkungan sekitarnya. 

Setiap daerah diharapkan membuat kebijakan untuk mendukung dan menyelaraskan dengan upaya pemerintah pusat tersebut. Agar upaya itu bersambut dan gerakan melawan wabah itu massif dan sistematis.

 

Apakah gerakan itu menjamin wabah segera hilang? Belum ada yang bisa menjamin. Namun setidaknya upaya itu bagian dari ikhtiar yang bisa dilakukan manusia kala menerima cobaan dari Tuhannya.

 

Ketika tidak bisa menghilangkan seluruh wabah, ancaman bencana dan lainnya, maka hidup berdampingan bersama yang mengancam itu jauh lebih baik. 

 

Berdamai dengan Corona. Atau berdamai dengan bencana, living harmony with disaster istilahnya. Sebagaimana masyarakat di dekat lokasi bencana menjalani kehidupannya.

 

Masyarakat di sekitar Gunung Merapi misalnya, menerapkan hidup berdamai dengan bencana gunung Merapi meletus yang sewaktu-waktu bisa terjadi. 

 

Tentu masyarakat harus dilatih, dididik bagaimana mengatasi bencana ketika datang. Dilatih untuk terus waspada dan mengenali gejala-gejala alam terkait dengan Merapi, serta hal-hal lain yang diperlukan.

 

Begitu juga dengan wabah Covid-19 ini. Masyarakat harus terus diedukasi dengan hal-hal terkait Covid-19. Bagaimana cara mencegah agar tidak tertular, bagaimana kewaspadaan harus dilakukan. Bagaimana menerapkan pola hidup bersih dan sehat. Bagaimana harus bergaul dan sebagainya.

 

Kabupaten Tuban melalui peraturan bupati (perbup) 19 tahun 2020 sudah mulai menerapkan antisipasi. Perbup itu sebagai penjabaran dan menyambut kebijakan pusat. Perbup itu di antaranya mewajibkan semua warga memakai masker saat beraktivitas di luar rumah.

 

Orang pribadi, lembaga, pusat kegiatan ekonomi dan tempat keramaian wajib menerapkan perbup itu. Ada sanksi yang menunggu saat perbup itu dilanggar. Misalnya, bupati bisa menutup mall atau swalayan misalnya jika tidak menerapkan protokol ketat pada para karyawan dan pengunjungnya.

 

Karena itu, ke depan kita tak heran lagi melihat orang ke mana-mana memakai masker. Itu sudah dimulai sejak wabah Covid-19 mulai berkembang. 

 

Seiring berkembangnya wabah virus corona, semakin banyak publik yang mengenakan masker meski sedang tidak sakit dengan alasan pencegahan. Dan memakai masker akan semakin membudaya di masyarakat kita kelak.

 

Masker wajah utamanya, perlu digunakan oleh mereka yang sedang sakit, agar tidak menularkan virusnya kepada orang lain. Nah, apakah sebetulnya masker wajah cukup efektif untuk mencegah virus corona? 

 

Dilansir dari Guardian sebagaimana dikutip laman Kompas.com, penggunaan masker wajah tentu bukan jaminan kita tidak akan tertular virus corona. Karena virus juga dapat menular melalui mata dan partikel virus kecil, yang dikenal sebagai aerosol. 

 

Partikel virus kecil tersebut dapat menembus masker yang kita gunakan. Namun, masker dinilai efektif untuk menahan tetesan (droplet) sebagai rute transmisi utama dari coronavirus.  

 

Sejumlah penelitian memperkirakan, masker memiliki kemampuan menahan tetesan tersebut sekitar lima kali lipat jika dibandingkan dengan seseorang yang tidak menggunakan penghalang apapun. 

 

Meskipun, ada pula penelitian yang menemukan tingkat efektivitas masker lebih rendah. Jika kita kemungkinan melakukan kontak dekat dengan seseorang yang terinfeksi, masker dapat mengurangi kemungkinan tertular dari penyakit tersebut. Jika kita mengalami gejala yang mengarah pada virus corona atau telah didiagnosis, memakai masker juga dapat melindungi orang lain.

 

Maka pemerintah berusaha menerapkan aturan ketat itu. Tim dari pemkab misalnya, saat merazia warung atau kafe memberi sanksi kepada pengunjung yang tidak memakai masker. 

 

Bentuknya, hape pengunjung tak memakai masker itu disita, di bawa ke kantor Satpol PP. Pemilik hape bisa mengambil hapenya ke kantor. Syaratnya membawa surat keterangan dari desa atau kelurahan. 

 

Kemudian di kantor Satpol PP mereka membuat surat pernyataan tidak akan mengulangi lagi. Sebagian warga memang masih bandel. Diminta memakai masker tidak memakai. Diminta berdiam di rumah malah cangkruk di kafe atau warung kopi dengan berkerumun dalam jumlah besar.

 

Ketika ada tindakan tegas, banyak yang menghujat, sampai mempertanyakan dasar hukum kenapa harus menyita hape dan sebagainya. Seperti perdebatan dalam WA grup yang saya ikuti. 

 

Sebagian mempertanyakan legal formal, aturan atau dasar hukum penyitaan hape bagi yang tidak bermasker. Sebagian mendukug langkah itu sebagai memberikan efek jera bagi warga yang masih bandel dan tidak mau mematuhi anjuran pemerintah.

 

Dan, sampai tulisan ini selesai saya buat, kayaknya diskusi soal penyitaan hape itu masih belum ada titik temu. Masing-masing pihak masih berpegang dengan argumennya masing-masing. Ada yang mengagungkan legal formalnya, ada yang mengagungkan maslahah untuk umat hehehe….. Lalu mana yang benar ? Wallahu a’lam.[*]