Rhenald Kasali Gelar Diskusi Buku Series on Education

Reporter: Khoirul Huda

blokTuban.com - Terpanggil oleh kritik badan-badan dunia terhadap kualitas pendidikan di tanah air, Rhenald Kasali urun rembug dalam buku barunya: Sentra, Inspiring School. Dalam Series On Education, Rhenald menunjukkan progress yang telah dijalani unit pendidikan usia dini pada yayasan Rumah Perubahan yang dipimpinnya selama 15 tahun.

Dengan metode Sentra, “Kami berhasil membentuk Higher-order thinking yang biasa dikenal sebagai higher order thinking skills (HOTS) yang menjadi acuan dalam survei skor PISA,” ujarnya.  

Dan besar kemungkinan kita telah terperangkap oleh judul higher level yang seakan-akan terpisah atau merupakan tahapan dari lower order of thinking seperti menghafal.

“Kenyataannya, level pemahaman sudah bisa dibentuk bersamaan saat anak mulai melatih motorik kasar dan halus, bahasa, maupun rasa pervaya diri. Bahkan membangun empati dan jiwa sosial menjadi domain berpikir yang bisa dibangun sambil bermain sejak usia dini.”

Rhenald dan Elisa Kasali memaparkan pencapaian anak-anak yang dibimbingnya selama 15 tahun dan menunjukkan progres yang membanggakan, kendati anak-anak berasal dari kalangan kurang mampu.  

Menggunakan studi dan hasil terbaru dalam neuroscience, Rhenald bersama Elisa Kasali menemukan ternyata untuk membentuk karakter, anak-anak sudah mampu mengenal mana yang baik dan mana yang “jahat” atau mana yang lebih baik dalam kehidupan. “Namun karena perhatian pendidik lebih ditekankan pada konten dan kognisi, hal-hal dasar yang menjadi penbentuk karakter, disiplin, kemampuan berpikir dan memahami menjadi terabaikan dan dimatikan.”

Ini tentu berakibat fatal bagi pembentukan karakter bangsa, kegairahan belajar yang menyenangkan, bahkan dalam membangun sistematika kerja serta kecakapan hidup yang sangat dibutuhkan dalam membangun bangsa menghadapi tantangan-tantangan baru,” ujarnya.

Seperti diketahui publikasi laporan Programme for International Student Assessment (PISA) selalu memantik keprihatinan pendidik Indonesia. Yang terbaru, 3 Desember 2019 lalu, laporan PISA 2018 kembali menempatkan Indonesia di peringkat bawah dari 79 negara yang disurvei.

Secara umum, kemampuan membaca, siswa Indonesia ada di peringkat 74 (sebelumnya peringkat 64), kategori matematika ada di peringkat 73 (sebelumnya 63), dan kategori kinerja sains ada di peringkat 71 (sebelumnya 62).

Selama ini, assessment dalam PISA memang berbasis Higher Order Thinking Skills (HOTS). Indonesia pernah mencoba memberikan soal kategori HOTS pada saat Ujian Nasional (UN) 2018 lalu. 

Hasilnya, siswa-siswa kesulitan karena memang dalam proses belajarnya belum terlatih dengan soal kategori HOTS.

Rupanya, taraf pendidikan yang diterima siswa selama ini lebih menitikberatkan pada menghafal, memahami, dan mengaplikasikan. Ini merupakan level bawah dan masuk kategori Lower Order Thinking Skills (LOTS).

Makin naik levelnya, siswa dituntut untuk bisa berpikir kritis, analitis, memecahkan masalah, dan melakukan evaluasi. Mayoritas siswa Indonesia, ternyata belum mencapai tahap tersebut. Itulah yang dilihat oleh Guru Besar Universitas Indonesia (UI) Prof. Rhenald Kasali dari pengalamannya yang telah mengabdi selama 35 tahun dalam bidang pendidikan.

Teknologi Bisa Membantu, Tetapi...

Dari pengalamannya di kampus, bersama Elisa istrinya, Prof. Rhenald lalu mendirikan Yayasan Rumah Perubahan yang salah satu kegiatannya adalah menyediakan sekolah bermutu untuk anak-anak kurang mampu pada level dasar.

Sebuah lab dibangun dengan rujukan dari Beyond Centers and Circle Time (BCCT) yang dibimbing ahli perkembangan anak dari Florida State University. Dan perkembangan anak dipantau, bahkan sebuah bengkel dikembangkan untuk membuat alat permainan edukatif yang bisa merangsang anak berpikir.

Rhenald mengatakan, ketika teknologi bergerak begitu cepat dan mengubah berbagai lini kehidupan, ada bidang yang masih harus dibongkar sampai ke akarnya , yakni bidang pendidikan.

Padahal para pemangku kepentingannya selalu ingin melompat pada content-nya, apakah itu matematika, bahasa, science, dan fisika. Padahal di balik itu semua ada kecerdasan mendasar yang masih harus dibangun guru untuk memudahkan tahap berikutnya dalam menerima ilmu-ilmu canggih itu

"Kami menaruh perhatian dalam bidang pendidikan anak usia dini. Inilah fase paling krusial dalam pendidikan," katanya saat diskusi buku SENTRA, Inspiring School. Membangun Kecerdasan dan Kemampuan Anak Sejak Usia Dini, Demi Masa Depan yang Cemerlang di Jakarta, 13 Desember 2019.

Menurut Rhenald, untuk menaikkan level pengetahuan siswa, tidak bisa dilakukan secara instan. Untuk membangun daya analitis, critical thinking, dan problem solving, tidak bisa hanya dilakukan melalui uji coba dan les bimbingan belajar sebelum ujian dilakukan. "Untuk membangun kemampuan itu, butuh waktu panjang dan harus dilakukan sejak usia dini," jelasnya.

Sekolah harus Inspiring

Pemahaman itulah yang membuat Rhenald memiliki concern kuat pada pendidikan anak usia dini. Selain sebagai pakar manajemen, kiprah Rhenald Kasali lebih banyak dikenal di bidang pendidikan tinggi sebagai Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FE UI). Namun sebenarnya, Rhenald juga aktif bergerak di bidang pendidikan anak usia dini.

Kisahnya berawal dari 1998. Saat kembali ke Indonesia usai menamatkan studi S3 di University of Illinois at Urbana-Champaign di Amerika Serikat, Rhenald bersama istrinya, Elisa Kasali, tergerak untuk terjun dalam pendidikan anak usia dini. Inisiatif itu dipicu oleh kesadaran betapa jauhnya kualitas kesehatan dan pendidikan anak di Indonesia dibanding dengan di Amerika Serikat.

Kegiatan Posyandu di garasi rumah mereka di Jatimurni, Bekasi, menjadi benih tumbuhnya gerakan perubahan di bidang pendidikan anak usia dini. Setelah Posyandu, muncullah Rumah Baca. Kemudian setelah membeli sebidang tanah, lahirlah PAUD dan TK. Rhenald dan Elisa memberi nama Kutilang.

"Nama Kutilang ini bukan singkatan. Kami hanya mengambil filosofinya. Harapan yang kami sematkan, semoga kutilang-kutilang kecil itu nanti bisa tumbuh besar menjadi rajawali-rajawali hebat. Rajawali yang akan terbang tinggi mengarungi luasnya alam, lalu kembali turun untuk membangun kehidupan," kata Elisa Kasali.

“Dan untuk menjadi rajawali, sekolah harus inspiring, harus dimulai dari prinsip bermain. Jangan biarkan guru menghapuskan suasana bermain di sekolah, namun dengan bermain anak bisa dibentuk disiplin, kemampuannya untuk tetap fokus dan melatih imajinasi serta menghidupkan kemampuan motorik kasar dan halusnya,” imbuhnya.

Posyandu, Rumah Baca, PAUD, dan TK Kutilang bukanlah kegiatan komersial, melainkan gerakan sosial dari Rumah Perubahan. Sebagian besar muridnya adalah anak-anak yang tinggal di tengah-tengah perkampungan padat penduduk di kawasan Jatimurni, Bekasi.

Meskipun berawal dari kegiatan sederhana, PAUD dan TK Kutilang kini tumbuh menjadi salah satu institusi percontohan untuk pendidikan anak usia dini. Di sini, anak-anak dari keluarga sederhana mendapatkan kualitas pendidikan yang tak kalah dengan institusi pendidikan terkenal. Maka, tak mengherankan jika Kutilang kini menjadi ajang studi banding para guru dan orang tua dari berbagai daerah.

Atas kiprahnya di bidang pendidikan anak usia dini, Elisa Kasali pun beberapa kali dianugerahi penghargaan. Salah satunya adalah Anugerah Peduli Pendidikan dari Mendikbud pada 2014 silam. Yang terbaru, November 2019 lalu, Elisa kembali mendapat penghargaan dalam ajang Apresiasi Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Keluarga dari Kemendikbud.

Happy Learning, Pendidikan Anak Harus Menyenangkan

Rhenald Kasali mengatakan, PAUD dan TK Kutilang lahir dari mimpi sederhana, yakni bagaimana agar anak-anak di tengah perkampungan padat di kawasan Bekasi menjadi anak-anak hebat di masa depan dan memutus mata rantai kemiskinan. "Kami memulainya dengan sangat sederhana. Mendirikan Posyandu, Rumah Baca, lalu PAUD dan TK," kenangnya.

Awalnya, Rhenald dan Elisa berpikir, tidak begitu sulit untuk menjalankan PAUD dan TK. Toh, semua pernah menjalaninya di waktu kecil. Maka, di tahap awal, proses belajar mengajar dilakukan layaknya rata-rata sekolah biasa. Guru  mengajari murid berhitung, mengeja, menggambar, membacakan cerita, dan seterusnya.

Tetapi setelah pendidikan berjalan, Rhenald dan Elisa menyadari ada sesuatu yang kurang tepat. Tatanan ekonomi dan bisnis berubah dengan cepat, masa depan yang akan dihadapi anak-anak juga akan jauh lebih menantang. Tetapi, mengapa sistem pendidikan anak masih seperti cara konvensional yang dijalankan beberapa puluh tahun silam?

Eksplorasi dan riset pun dilakukan. Buku-buku tentang pendidikan anak, tahap perkembangan anak, perkembangan otak atau neuroscience, hingga alat-alat permainan edukasi diresapi dan didalami.

Beberapa metode pendidikan yang berkembang di negara-negara maju juga dipelajari. "Makin kami pelajari, makin kami sadar bahwa ilmu mendidik anak itu seluas samudera," kata Rhenald.

Dia menyebut, 2019 adalah tahun ke-35 nya dalam berkecimpung di dunia pendidikan. “Saya menyadari, ternyata menjadi pendidik di tingkat dasar, di usia dini, sesungguhnya jauh lebih rumit ketimbang mendidik calon doktor di perguruan tinggi," imbuhnya.

Karena itulah, eksplorasi dan riset terus dilakukan. Dalam proses tersebut, Rhenald dan Elisa kemudian bertemu dengan Wismiarti Tamin, seorang praktisi pendidikan dan pendiri Sekolah Al-Falah di Jakarta Timur. Wismiarti adalah sosok  yang membawa dan mengenalkan Metode Sentra di Indonesia.

Dia dan guru-guru Sekolah Al-Falah belajar langsung dari Dr. Pamela Phelps, tokoh pendidikan asal Florida, Amerika Serikat, yang mendesain Beyond Centers and Circle Time (BCCT), metode pendidikan yang kemudian dikenal dengan nama Sentra.

Konsep Metode Sentra adalah non-direct teaching. Jadi, proses belajar dilakukan melalui aktivitas main yang didesain untuk menstimulasi perkembangan otak anak. Intinya, pendidikan anak di-delivery dalam suasana yang menyenangkan, sehingga anak bisa belajar dengan optimal. "Kami merasa, inilah metode yang tepat untuk mendidik anak. Sebab, pendidikan seharusnya menyenangkan, bukan membuat anak stress dan terbebani," jelas Rhenald.

Dalam Metode Sentra, proses belajar mengajar disesuaikan dengan tahap perkembangan setiap anak. Tujuannya, agar dapat mengembangkan semua titik kecerdasan (multiple intelligence) dan keterampilan hidup anak (essential life skills). Kecerdasan dan skill itulah yang akan membangun pondasi karakter dan menjadi bekal anak dalam mengarungi masa depan.

Rhenald dan Elisa pun bergerak total dalam penerapan Metode Sentra di PAUD/TK Kutilang. Totalitas dalam keluarga ini diikuti oleh anaknya, Fin Kasali yang kemudian ikut terjun dalam pembuatan alat permainan edukasi dari kayu yang diberi nama Indiblocks.

Melatih Anak dengan Peran Kehidupan

Menurut Rhenald, salah satu fenomena dalam pendidikan di Indonesia adalah penitikberatan pada content. Misalnya, ketika skor Matematika dianggap kurang bagus, maka ditambahlah waktu belajar matematika. 

Demikian pula ketika nilai-nilai luhur Pancasila dianggap mulai luntur, diperbanyaklah pelajaran agar murid-murid hafal sila-sila dan butir-butir Pancasila. "Padahal, yang mesti diperkuat adalah pondasi dan karakter sejak usia dini," katanya.

Dalam Metode Sentra, ada permainan peran, yakni bermain peran besar dan bermain peran kecil. Kelihatannya sederhana, anak-anak bermain menjalankan peran berbagai profesi seperti dokter, guru, pemadam kebakaran, maupun orang tua.

Padahal, jika diarahkan dan didesain dengan benar, permainan peran ini tidak hanya bisa melatih daya kreativitas dan intelektualitas siswa, tetapi juga melatih siswa untuk menjalani perannya nanti dalam kehidupannya. "Kuncinya adalah membangun karakter anak," jelasnya.

Dengan bermain peran, anak belajar bagaimana berkomunikasi, berinteraksi, saling berbagi, saling menghargai, memupuk empati, bertoleransi,  menekan ego ingin menang sendiri, belajar berpikir kritis, menganalisa, dan  memecahkan masalah yang dihadapi, hingga belajar mencapai tujuan bersama melalui kolaborasi.

Ini adalah nilai-nilai dasar yang  membentuk seseorang. Jika nilai-nilai dasar itu tidak diajarkan sejak dini, anak-anak bisa tumbuh menjadi remaja yang beringas. Setiap menghadapi permasalahan, tidak  diselesaikan dengan cara komunikasi penuh empati dan kreatif mencari solusi, tapi dengan ego tinggi. Akibatnya, tawuran pelajar pecah di mana-mana.

Saat umurnya bertambah, sosok itu berpotensi menjadi manusia yang tak menghargai toleransi, egonya tinggi, ingin mencapai tujuan dengan instan, menghalalkan segala cara untuk mengejar keinginan, menjatuhkan dan memfitnah orang lain, mudah terpengaruh dan ikut menyebarkan hoax karena daya nalarnya lemah.

"Tentu, kita tidak ingin anak-anak kita melalui masa kecilnya tanpa diisi dengan nilai-nilai dasar yang menjadi bekal berharga dalam hidupnya. Tentu, kita tidak ingin anak remaja kita tumbuh menjadi sosok yang beringas, hobi tawuran, dan terjerat narkoba. Tentu, kita tidak ingin anak-anak kita menjadi orang dewasa yang intoleran, ingin menang sendiri, dan tidak mandiri," urainya.

Karena itulah, Rhenald menyerukan agar gelombang perubahan digerakkan untuk mereformasi dunia pendidikan di Indonesia. Skor PISA yang rendah tak bisa diatasi dengan cara-cara instant. Butuh perbaikan mendasar dalam proses belajar mengajar.

"Perbaikan harus dimulai dari pendidikan usia dini. Sebab, inilah fase paling krusial dalam pembentukan pondasi karakter yang akan menentukan sosok manusia seperti apa yang akan dilahirkan oleh sistem pendidikan kita," tutup Rhenald. [hud/dy]