Menyikapi Dilema Anak Multilingual

Reporter: -

blokTuban.com - “No French!”, sekembalinya penempatan dari Brussel, Belgia, awal tahun 2017, anak saya yang saat itu masih berusia tiga tahun, sama sekali menolak berbahasa Prancis saat kami kembali bermukim di Jakarta. Padahal, ketika selama setahun bersekolah di sebuah TK berbahasa Prancis di sana, tanpa malu-malu dia menyapa orang-orang di sekitar dengan bahasa campur-campur seperti: “Bonjour, apa kabar?” atau “This bike, c’est bon!”.

Usut punya usut, ternyata alasan anak saya mogok berbahasa Prancis adalah karena enggan mengingat-ingat guru TK-nya di sana yang katanya galak dan sering menegurnya dalam Bahasa Prancis. Bukan hanya itu, ketika di Jakarta, guru TK-nya sering komplain karena anak saya tidak mau berinisiatif masuk ke dalam kelas atau beraktivitas tanpa dipanggil atau disuruh gurunya.

Memang, dalam budaya yang dia pahami waktu sekolah di Belgia, sering kali siswa diperbolehkan melakukan suatu aktivitas setelah diberi aba-aba oleh gurunya. Walhasil, kemampuan  Bahasa Prancisnya kini sudah pudar, dan di sekolahnya sekarang, dirinya sering kagok sendiri. Belum lagi ia kerap jadi sasaran ledekan teman-temannya.

Nyatanya, masalah yang dia hadapi tidak berhenti di situ. Dirinya pun sempat sulit berinteraksi dengan teman sebaya dan memahami pelajaran di kelas karena kendala bahasa. Meskipun sekolahnya notabene berkurikulum internasional, bukan berarti dirinya bisa cas-cis-cus berbahasa Inggris di sekolah.

Ini karena Bahasa Indonesia masih mendominasi keseharian pergaulan dan proses belajar mengajar. Namun akhirnya, setelah setahun bergelut dengan proses adaptasi bahasa dan budaya, anak saya mulai dapat bergaul dengan teman-temannya seiring dengan peningkatan kemampuan Bahasa Indonesianya.

Third Culture dan Bullying

Sesungguhnya, bingung bahasa, kagok budaya, hingga potensi efek dominonya yang lebih serius seperti bullying, merupakan problem umum yang kerap dihadapi anak-anak Indonesia yang orang tuanya tinggal atau bekerja di luar negeri. Ini yang sering disebut dengan Third Culture Kids alias anak-anak dan remaja yang menghabiskan waktu kecilnya di luar negeri dan memiliki budaya berbeda dari budaya orang tuanya.

Ironisnya, ketika mereka kembali hijrah ke Indonesia, masalah yang sama pun masih menghantui.

Ambil contoh Renita Moniaga yang orang tuanya kerap berpindah-pindah tugas ke luar negeri, antara lain ke London dan New York, karena tuntutan pekerjaan. Sekembalinya dari London, dirinya bercerita, saat duduk di bangku SMP di Jakarta, pernah merasakan di-bully teman akibat aksen Bahasa Indonesianya yang tidak biasa.

Dan ketika kemudian masuk di SMA negeri di New York City, Renita merasa didiskriminasi lantaran harus turun kelas tanpa dites terlebih dahulu. Level Bahasa Inggrisnya dianggap masih setara dengan siswa-siswi imigran yang berkemampuan minim.

Tidak hanya itu, awalnya setiap jam makan siang di kantin adalah waktu-waktu terberat baginya karena pergaulan siswa di sana sudah tersegmentasi berdasarkan kelompok ras/kebangsaan atau identitas lainnya sehingga mencari teman yang klop merupakan tantangan.

Namun demikian, yang paling rentan terhadap persoalan bahasa semacam ini adalah anak kelompok usia di bawah lima tahun, seperti cerita anak saya di atas. Yovanka Siahainenia, yang berprofesi sebagai diplomat dan pernah ditempatkan di KBRI Beijing, RRT, sempat mengkhawatirkan kemampuan berbahasa kedua anaknya yang bersekolah di TK lokal berbahasa Mandarin di kota itu.

Sang kakak sulit berkomunikasi dengan teman sekelasnya sehingga awalnya sering menangis dan cenderung menjadi penyendiri di sekolah. Sepulangnya ke Indonesia, sang kakak sempat mengalami bullying di sekolah karena sering mencampur Bahasa Mandarin dan Indonesia. Kini akibatnya, ia sudah mulai lupa cara berkomunikasi dalam Bahasa Mandarin.

Sementara itu, si adik yang lahir dan besar di Beijing, kini berbicara ala gado-gado dengan Bahasa Mandarin, Indonesia, dan Inggris karena belum menguasai salah satu pun dengan baik. Di samping bahasa, keduanya pun mengalami bingung budaya karena perbedaan tradisi kedua negara, seperti bagaimana cara berpakaian di sekolah dan bagaimana aturan tentang makanan non-halal.

Contoh kasus lainnya adalah anak-anak dari Dinie Arief, diplomat yang pernah ditugaskan di KBRI Ottawa, Kanada, yang kehilangan kemampuan Bahasa Indonesianya saat bersekolah di negara tersebut. Meskipun sang kakak sudah lancar berkomunikasi dalam Bahasa Inggris dari kecil, tetap saja dirinya menemui kendala dalam menulis dan membaca dalam Bahasa Inggris ketika di TK di sana.

Saat pindah ke Jakarta, sang kakak sempat mengalami stres dan susah fokus saat belajar, juga beberapa kali menangis di sekolah karena merasa tertinggal pelajaran. Namun sekarang, baik kakak mau pun adik sudah lancar berbahasa Indonesia karena banyak teman bicara di lingkungan tempat tinggalnya di Jakarta.

Plus Minus Multi-Bahasa

Sekilas menyimak problem perkembangan berbahasa semacam ini, memang tampaknya membesarkan anak secara multi-bahasa (multilingual/menguasai lebih dari dua bahasa), besar sekali tantangannya.
Secara definisi, menurut Sidiarto L, gangguan perkembangan berbahasa adalah ketidakmampuan atau keterbatasan dalam menggunakan simbol linguistik untuk berkomunikasi secara verbal atau keterlambatan kemampuan perkembangan bicara dan bahasa anak sesuai kelompok umur, jenis kelamin, adat istiadat, dan kecerdasannya.

Penelitian yang dilakukan dokter anak, Fitri Hartanto, menunjukkan bahwa jenis kelamin anak dengan keterlambatan bahasa (speech delay) lebih banyak dialami laki-laki (77,8 persen) dibandingkan perempuan.

Lalu, apakah menguasai kemampuan dwi-bahasa (bilingual), atau multilingual, atau bahkan polyglot (berbicara minimal empat bahasa) bermanfaat bagi anak?

Fred Genesse, profesor psikologi dari McGill University, Kanada, menyebutkan ada banyak alasan seseorang membersarkan anak secara bilingual. Pertama, alasan pribadi dan keluarga, di mana ada anggota keluarga yang berbicara dengan bahasa asing lainnya sehingga penting bagi anak untuk menguasasi bahasa ini supaya bisa berkomunikasi.

Kedua, menurut penelitian, anak yang mahir dalam setidaknya dua bahasa memiliki keuntungan kognitif dibandingkan anak yang hanya berbicara satu bahasa. Misalnya, mereka lebih mampu memecahkan persoalan dengan berfokus pada seluruh informasi yang relevan dan mengabaikan yang tidak relevan.

Ketiga, menguasai bahasa asing lain itu menguntungkan saat anak sudah cukup besar untuk membaca, menulis, dan menggunakan komputer. Mereka dapat mengakses banyak sekali informasi dalam berbagai bahasa yang mereka kuasai, khususnya dalam Bahasa Inggris.

Terakhir, ketika dewasa, mereka punya kesempatan lebih banyak dalam hal lapangan kerja di bidang bisnis internasional dan pemerintahan yang membutuhkan kompetensi penguasaan dua atau lebih bahasa asing.

Menurut para pakar pendidikan dan pediatrik, tidak ada bukti bahwa anak yang berbicara multi-bahasa berisiko mengalami kendala bahasa ketika tumbuh besar.

Dalam Social Policy Report 2013 tentang mitos dan praktik terbaik anak multi-bahasa, Allyssa McCabe dkk menemukan bahwa anak multi-bahasa mengembangkan sistem linguistik yang memungkinkan mereka mempelajari bahasa baru tanpa mengganggu perkembangan bahasa yang dikuasai sebelumnya. Bahkan, mempelajari bahasa ibu (heritage language) memfasilitasi penguasaan bahasa kedua.

Temuan lainnya juga mengungkap bahwa sejak usia dua tahun, fungsi kontrol eksekutif otak anak multi-bahasa lebih baik dibandingkan anak mono-bahasa. Mereka juga lebih fleksibel ketika mempelajari kata-kata baru untuk obyek yang sudah mereka ketahui sebelumnya, serta mampu menganalisis lebih baik daripada anak mono-bahasa.

Kata professor multilingualisme, Julia Festman, umumnya anak multi-bahasa adalah komunikator yang percaya diri dan kreatif. Mereka dapat melihat kenyataan dari berbagai sudut pandang dan cenderung tidak terikat oleh nilai-nilai dan rintangan dari bahasa dan budaya tertentu.

Namun demikian, menurut Fitri Hartanto, tentunya terdapat kerugian-kerugian yang berpotensi dialami anak multi-bahasa. Misalnya, mereka butuh banyak energi untuk menghaluskan pengucapan dan biasanya cenderung lambat membuat keputusan tentang bahasa.

Kondisi multi-bahasa biasanya juga memengaruhi prestasi belajar bagi mereka yang menggunakan Bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar di sekolah, meskipun tidak berdampak negatif terhadap perkembangan tingkat kecerdasan (IQ). Di samping itu juga berpengaruh pada perkembangan kepribadian dan sikap sosial anak yang bahasa ibunya bukan Bahasa Inggris.

Cara Manfaatkan Kemampuan Multilingual

Menurut pakar bahasa Indonesia, Profesor Mikihiro Moriyama, sebenarnya masyarakat Indonesia adalah masyarakat poliglossia, yang terdiri dari orang-orang multilingual pada setiap zaman, baik Hindia Belanda mau pun setelah kemerdekaan. Oleh karenanya, jangan merasa khawatir saat anak harus menghadapi situasi yang mengharuskan mereka bermulti-bahasa atau pun ketika harus memilih jenis sekolah apa yang tepat untuk mengembangkan kemampuan bahasa mereka.

Salah satu tips dari dokter anak sewaktu di Belgia, supaya anak saya lancar berdwi-bahasa, yaitu dengan konsistensi Ibu berkomunikasi dengan Bahasa Inggris dan Ayah dengan Bahasa Indonesia. Para pakar juga menganjurkan agar orang tua menggunakan Bahasa Inggris sebanyak-banyaknya, akan tetapi jangan melarang anak ketika menggunakan bahasa lainnya. Strategi lain yang dapat dilakukan orang tua yaitu sering-sering saling bercerita dengan anak tentang pengalaman-pengalaman di masa lalu sehingga membantu mengembangkan kemampuan anak dalam bernarasi.

Panduan praktis untuk membesarkan anak dwi-bahasa pernah dituliskan Fred Genesse yang menjawab kekhawatiran umum orang tua ketika anak berdwi-bahasa. Misalnya, jangan khawatir apakah anak akan bingung karena memakai dua bahasa di rumah, karena anak mampu mempelajari pola-pola mixing atau mencampur adukan bahasa.

Cara ini tidak berarti anak bingung atau tidak mampu, namun mereka hanya gunakan sumber-sumber kebahasaan mereka untuk mengekspresikan diri. Seorang anak pun dapat mengganti satu bahasa ke bahasa lainnya menggunakan sebuah kalimat yang tidak akan menabrak aturan grammar kedua bahasa itu.

Belajar dari kasus-kasus di atas, anak-anak multi-bahasa ini biasanya memiliki karakter survivor, lebih toleran, dan terbuka. Bila memang dibutuhkan, mungkin bisa mencontoh yang dilakukan Yovanka, di mana orang tua dapat berkonsultasi dengan psikolog tentang tantangan anak multi-bahasa, memberikan kelas privat belajar membaca dalam Bahasa Indonesia, dan bekerja sama dengan guru di sekolah untuk membantu memperlancar proses adaptasi anak di lingkungan baru.

Kunci utamanya adalah kesabaran dan ketekunan orang tua dalam membimbing anak multi-bahasa. Manfaatnya baru akan benar-benar terasa ketika mereka beranjak dewasa.

*Sumber: kumparan.com