Ceritera tentang Walur, Makanan Masa Sulit Awal Kemerdekaan Indonesia

Reporter: M. Anang Febri

blokTuban.com - Kemerdekaan Republik Indonesia ke-74 di tahun 2019 ini, memiliki makna berarti bagi sejumlah orang tua yang masih hidup pada era milenial yang begitu maju saat ini. Refleksi kemerdekaan, punya titik perbandingan yang amat jauh dari waktu ke waktu. 

Mulai dari tren mode pakaian, kemajuan teknologi dan informasi, percampuran budaya, juga perkembangan tingkat kesejahteraan masyarakat dari masa ke masa selalu disyukuri dalam tasyakuran Kemerdekaan Republik Indonesia.

Ada cerita klasik, dimana masyarakat sekitar tahun 1965-an dulu masih mengkonsumsi tanaman 'walur' untuk dimakan. Keadaan demikian jelas berbeda ketimbang era masa kini, yang mana mayoritas masyarakat sudah bisa menikmati lezatnya nasi putih dari tanaman padi, ataupun nasi jagung dari olahan serat jagung yang diproses terlebih dulu.

"Kalau orang dulu makan walur, belum ketemu nasi putih seperti sekarang ini. Orang kelahiran 50-an pasti menjumpai makanan itu kok," cerita H. Karjono (64), salah satu tokoh masyarakat RT/RW 03/05 Pulerejo, Desa Simo, Kecamatan Soko.

Dijelaskannya lagi, tumbuhan walur saat itu menjadi andalan masyarakat umum untuk makan sehari-hari. Bukan tanpa sebab, tapi keadaan saat itulah yang memenangi kisah mengapa begitu banyak warga masyarakat, khususnya yang hidup dekat semak belantara hutan maupun dekat semak bambu.

Tumbuhan walur merupakan jenis tanaman keluarga talas-talasan, dengan Genus Amorphophallus. Termasuk golongan dari jenis bunga bangkai yang ukurannya lebih kecil. Masyarakat Jawa mengenal dengan sebutan porang, suweg, dan juga walur.

Masyarakat tempo dulu dengan sangat mudah menemukan walur saat musim penghujan. Keberadaannya bisa ditemui di berbagai hutan, semak pohon bambu, dan perkebunan lainnya. 

"Pas hujan pasti banyak kok. Sampai sekarang pun sepertinya juga masih ada, tapi ya gitu, pas musim hujan saja," imbuh bapak tig anak kelahiran 1955 tadi.

Untuk mengkonsumsi Walur, warga harus terlebih dulu memilah, mencuci, serta mengeringkan tanaman umbi tersebut. Ya, bisa dikatakan tak mudah, juga kurang enak jika dikonsumsi harian oleh masyarakat hari ini.

"Zaman sekarang sudah enak lah. Sudah bisa makan nasi putih, banyak makanan, nggak kekurangan, nggak kesusahan. Dulu juga sempat makan walur kok. Tapi rasanya agak aneh kalau dimakan orang sekarang, soalnya gatal. Gatalnya di tenggorokan sini sesudah makan walur," kisah Mbah Kasdilan (68) yang sangat hafal ketika ditanya soal rasa walur saat itu.

Maka dari itu, hakikat kemerdekaan Indonesia yang sudah berusia 74 tahun ini dimaknai dengan tasyakuran dan doa bersama. Sekaligus, menceritakan bagaiman susah payah orang zaman dulu untuk memperoleh sandang pangan. [feb/lis]