Anak Tak Masuk Sekolah Favorit Karena Zonasi, Anda Perlu Baca Ini

Reporter: -

blokTuban.com - Sistem zonasi, sepertinya jadi salah satu bahasan paling hangat di antara orang tua yang memiliki anak usia sekolah saat ini. Ya Moms, melalui Permendikbud No. 51 Tahun 2018, pemerintah secara resmi mengatur tata cara Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2019. Permendikbud ini menggantikan peraturan sebelumnya, yaitu Permendikbud No. 14 Tahun 2018 yang sebelumnya dipakai untuk mengatur PPDB 2018.

Salah satu hal yang diatur dalam Permendikbud ini adalah mengenai jalur pendaftaran sistem zonasi. Dengan sistem zonasi ini, sekolah anak akan ditentukan oleh domisilinya. Anda hanya dapat memilih sekolah anak yang memiliki zonasi yang sama dengan domisilinya.

Meski begitu, sistem zonasi ini banyak dikritik dari para orang tua murid. Salah satu yang perlu dievaluasi adalah panjangnya antrean pendaftaran. Selain itu, banyak juga orang tua yang sedih dan kecewa karena anaknya gagal masuk sekolah favorit akibat sistem zonasi.

Apakah Anda termasuk yang mengalaminya, Moms?

Bila ya, sebelum menyimpan rasa kecewa lebih lama, sebaiknya Anda mengetahui dulu kenapa satu sekolah diklaim menjadi sekolah favorit.

Lewat laman Teman Takita, pengamat pendidikan dan ketua Kampus Guru Cikal, Bukik Setiawan, menjelaskan ukuran sukses yang dipakai kebanyakan orang tua untuk menilai sekolah favorit, yaitu:

- Rata-rata nilai ujian sekolah dan ujian nasional

- Jumlah prestasi berupa piala dan gelar juara

- Persentase lulusan yang melanjutkan ke sekolah favorit

Ketiga indikator tersebut, kata Bukik, membuat sekolah favorit disebut juga sekolah yang berorientasi pada nilai akademis. Padahal menurutnya, penilaian terhadap sekolah harusnya tak sebatas pada orientasi nilai akademik.

"Ada banyak perubahan cara dan peralatan hidup kita dalam 100 tahun terakhir. Mobil seratus tahun yang lalu berbeda dengan mobil zaman sekarang. Ada banyak kritik dan seruan untuk melakukan perubahan pendidikan. Ada perubahan kurikulum, menteri, dan kebijakan pendidikan. Tapi praktik belajar yang terjadi pada sekolah favorit secara umum masih sama dengan praktik belajar 100 tahun yang lalu," jelasnya.

Menurut Bukik, ada 5 salah kaprah yang perlu orang tua ketahui seputar sekolah favorit, yaitu:

1. Menilai Hasil Belajar yang Berupa Angka dan Piala, Bukan yang Berupa Karya

Konsekuensi dari 3 ukuran keberhasilan di atas adalah fokus pada hasil belajar yang mendukung 3 ukuran tadi. Nilai angka dan piala adalah perwujudannya.

"Karya anak hanya dianggap penting bila mendukung pada nilai ujian dan piala," ungkap Bukik.

Kesibukan sekolah akan terlihat ketika menjelang ujian atau mau menghadapi perlombaan. Ujian, kata Bukik, kemudian dijadikan ritual, ada waktu khusus untuk pelaksanaannya, biasa disebut minggu ujian.

2. Menerapkan Belajar untuk Ujian, Bukan Kegemaran Belajar

Karena ukuran keberhasilan adalah nilai ujian, maka sekolah favorit dengan 3 ukuran keberhasilan tadi, menerapkan belajar untuk ujian. Belajar yang dimaksud adalah mendikte dan mengerjakan soal, berulang-ulang. Menurut Buki, belajar harusnya dipenuhi rasa gembira dan tanpa paksaan.

"Pelajaran olahraga yang harusnya dipenuhi kegembiraan beraktivitas, justru menuntut murid menghafalkan teorinya agar murid bisa mengerjakan ujian. Bahkan saat ini, anak SD kelas 1 yang baru masuk tiga bulan sudah dituntut mengerjakan Ujian Tengah Semester," papar Bukik.

3. Mengandalkan Materi Belajar Tunggal, Bukan yang Relevan

Buku teks biasanya menjadi pegangan untuk anak belajar di sekolah favorit. Ketika ada pilihan buku teks, kata Bukik, sekolah itu biasanya akan memilih buku teks yang sesuai kisi-kisi ujian.

"Buat apa belajar banyak pelajaran bila tidak muncul di ujian? Karena itu, pelajaran yang tidak diujikan di ujian nasional akan dianggap kasta kedua," jelasnya.

4. Menciptakan Ketergantungan, Bukan Kemandirian

Belajar untuk ujian, bagi kebanyakan terasa membosankan. Karena itu, sebagian besar murid cenderung menghindari belajar.

"Hal seperti itu berbahaya buat reputasi sekolah! Sekolah favorit mengendalikan murid agar belajar melalui mekanisme perintah dan larangan dengan guru sebagai pengawas," ungkap Bukik.

Menurut ketua Kampus Guru Cikal ini, setiap anak harusnya mendapat kesempatan untuk mengatur belajarnya secara mandiri, bukan dengan paksaan.

5. Membangun Iklim Kompetisi yang Ketat, Bukan Iklim Kolaborasi

Terlalu banyak menerima perintah dan larangan pasti melelahkan. Sehingga perlu ada cara untuk memotivasi anak belajar tanpa perlu perintah dan larangan. Membangun iklim kompetisi yang ketat dipercaya banyak sekolah bisa memotivasi anak.

"Slogannya, lomba membuat murid semangat belajar. Iklim kompetisi membuat murid membandingkan dirinya dengan murid yang lain, murid di kelasnya, di kelas lain dan bahkan murid dari sekolah lain," jelas Bukik.

Padahal, Bukik menambahkan, yang lebih penting ditanamkan pada anak bukanlah tentang kompetisi, tapi kolaborasi. Ya, anak perlu diajarkan cara bekerja sama sedari dini untuk mengembangkan kemampuan sosialnya.

Bukik menekankan, selain kemampuan akademik, orang tua harus punya ukuran keberhasilan lain saat akan menentukan sekolah anak. Di antaranya, kemandirian, kegemaran belajar, kemampuan berkolaborasi, penyelesaian persoalan, kreativitas, kepekaan sosial, kewirausahaan, kepemimpinan dan kebahagian.

*Sumber: kumparan.com