PNS ATC Asal Tuban Dilaporkan ke Polisi, Diduga Lakukan KDRT

Reporter : Ali Imron

blokTuban.com - Seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) Air Traffic Controler (ATC) asal Desa Pandanagung, Kecamatan Soko, Kabupaten Tuban, EPP (33) dilaporkan istri sahnya RDS (32) ke Polres Tuban. Terlapor diduga melakukan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dengan memukul pelipis pelapor/istri sahnya pada Sabtu (18/5/2019) setelah berbuka puasa.

Pelapor mengaku menerima KDRT sejak tahun 2014. Kekerasan terakhir bermula setelah terlapor pulang dari Bali. Pada Sabtu (18/5), terlapor dari Bali menuju ke Karang Indah rumah orang tuanya. Siangnya kemudian bertolak ke rumah mertua yang di sana juga ada istrinya di Desa Pandanagung, Kecamatan Soko. Terlapor juga dikabarkan sempat bermain dengan anaknya.

Beberapa hari sebelumnya tepatnya pada 13 Mei 2019, istri sempat diminta mengirimkan buku nikah dan Kartu Keluarga (KK) ke Bali. Kendati demikian, korban kekerasan tidak mau. Istrinya menyuruh terlapor pulang ke Soko dan dibicarakan baik-baik.

"Suami awalnya minta buku nikah suami istri. Tapi hanya saya berikan buku pegangan nikah suami dan KK," ucap RDS kepada blokTuban.com setelah diperiksa sebagai saksi oleh Unit PPA Tuban, Selasa (21/5/2019).

Saat diberi satu buku nikah dan KK, terlapor geram dan meremas buku nikahnya hingga lungset. Cek cok berlangsung antara terlapor dan mertua beserta istri. Saat anak memeluk ibunya, ayahnya ingin menarik tapi langsung didekap ibunya dan terlapor memukul pelipis korban sekali.

Habis mukul istrinya, terlapor langsung kabur saat orang berangkat Salat Tarawih. Tidak ada kata sepatah katapun yang disampaikan terlapor. Saat mau dilaporkan mertua dan istri, terlapor justru tak gentar dan terkesan menantang.

Korban kemudian lapor ke Polsek setempat Sabtu (18/5) sekitar pukul 22.00 WIB. Kemudian disarankan ke PPA Polres, dan korban di Polres sekitar pukul 12.00 WIB.

"Anak saya kelas 1 SD (7) juga diancam dan dituding-tuding. Kalau tidak ikut papa, kamu tidak saya akui anak pada Sabtu (18/5)," jelasnya.

Sebagai catatan, terlapor dan korban KDRT menjadi suami istri sah sejak 2010. Tahun 2014 kedunya bertolak ke Papua, karena terlapor bekerja sebagai PNS ATC di Bandara Manokwari Papua. Diduga kuat KDRT sudah terjadi semenjak di Papua.

Dari Papua, sekitar tahun 2015 istri kembali ke Jawa. Suami di Papua ATC Bandara Manokwari. Kemudian mutasi ke Bali dan bekerja ATS di Bandara Ngurah Rai.

Muncul istri siri diduga sekitar tahun 2014. Sekitar tahun 2017 istri siri mulai diajak ke rumah orang Tua Karang Indah. Justru istri asli tidak diajak. Kalau ke Soko hanya sehari dan langsung kembali.

Dari istri sah dikaruniai anak satu perempuan. Istri Siri juga satu anak laki-laki usia 2 tahunan. Istri sah sempat mengeluh ke mertua, tapi tidak dihiraukan. Untuk nafkah masih lewat ATM. Dua bulan terakhir Maret-April 2019 nafkah ke istri dihentikan.

"Suami saya juga saat ditanyai temen kerjanya mengaku jika istri sirinya yang sah," keluhnya.

Alasan minta buku nikah yaitu, mau mundur dari PNS. Sehingga statusnya hanya karyawan Bandara. Setelah aksi pemukulan, terlapor mengirim sms ke korban yang berisi hal yang tak pantas.

Kasatreskrim Polres Tuban, AKP Mustijat Priyambodo saat dikonfirmasi perihal pemanggilan korban sebagai saksi KDRT oleh Unit PPA belum merespon. Sementara terlapor EPP membantah karena dirinya ingin mengajak anak kandungnya, tapi malah dilarang sekeluarga.

"Minta bukti visum bila ada dan saya juga akan bukti visum jika sudah ada dari pihak istri saya. Saya juga lagi membuat surat pengusulan cerai atas dasar permintaan istri saya," pungkasnya. [ali/ito]