Begini Kronologi Sengketa Tanah Warga dengan Semen Indonesia Itu

Reporter: Sri Wiyono

blokTuban.com – Turun gunungnya KH Maksum Faqih, putra bungsu KH Abdullah Faqih almarhum, pengasuh pondok pesantren Langitan, Widang, Tuban itu cukup mengejutkan. Bukan lantaran kasusnya, namun nama besar pondok Langitan yang membuat publik seolah terhenyak dengan kehadiran pengasuh pesantren yang dulu dikenal sebagai pusat kegiatan Poros Langit tersebut.

Sebab, Gus Maksum, begitu kiai muda itu biasa disapa, adalah penerus tongkat estafet kepemimpinan pesantren yang mencetak banyak ulama dan kiai, bukan hanya di negeri ini, namun sampai luar negeri. Bahkan, konon Mbah Kholil Bangkalan, kiainya para kiai di negeri ini pernah mondok di Langitan. Pun juga Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari pendiri Nahdlatul Ulama (NU) juga pernah menimba ilmu di pesantre yang berada di pinggiran Sungai Bengawan Solo itu.

Gus Maksum, yang ditemui di Pengadilan Negeri (PN) Tuban saat mendampingi pendaftaran gugatan ahli waris pemilik tanah kepada PT Semen Indonesia (SI) mengaku terus terang keberpihakan dia pada ahli waris. Bukan lantaran salah satu ahli waris adalah alumni pesantren Langitan, namun ada hal yang lebih besar yang harus diperjuangkan.

"Jangan sampai masyarakat terzalimi. Apalagi ini dilakukan BUMN yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam mengayomi dan menyejahterakan masyarakat sekitar perusahaannya, bukan sebaliknya. Biar tidak ada kejadian seperti ini lagi," ujar Gus Maksum serius. 

Gus Maksum bersama Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Al Hikmah dan ahli waris pemilik tanah mendatangi Kantor Pengadilan Negeri (PN) Tuban untuk mendaftarkan gugatan. Karena selama 24 tahun tanah penggugat dikuasai PT Semen Indonesia, sedangkan pemilik maupun ahli waris tidak pernah merasa menjual. 

Dalam gugatan itu terdapat tergugat utama PT Semen Indonesia dan sejumlah pihak turut tergugat, yang dimungkinkan terlibat dalam proses jual beli tanah melalui Tim Pembebasan Tanah Kabupaten Tuban waktu itu. Dengan tuntutan ganti rugi materiil dan imateriil. 

"Kita datang ke pengadilan negeri ini terkait dengan pengajuan gugatan tanah dimana tergugatnya adalah PT. Semen Indonesia  atau Semen Gresik dan penggugatnya adalah ahli waris bapak Haji Umar pemilik tanah dan tanah ini sudah lama dikuasai atau digunakan oleh PT. Semen indonesia atau Semen Gresik,’’ tambah Gus Maksum.

Kedatangannya, dianggap sebagai penyambung lidah dari masyarakat. Gus Maksum meosisikan diri sebagai tokoh di Tuban yang harus memperjuangkan hak-hak masyarakat yang mendapat ketidakadilan. 

‘’Masyarakat butuh pengayoman,  kita akan melakukan itu.  Mereka ingin memperjuangkan hak mereka dan saya juga akan memperjuangkan untuk para ahli waris yang selama ini sudah berjuang tapi tidak ada titik temu. Supaya tidak ada lagi sengketa-sengketa seperti ini, biar kita semua sebagai masyarakat Indonesia yang atas bisa mengayomi yang bawah yang bawah bisa menghormati yang atas, tegasnya.

Sementara, menurut Maghfur, salah satu ahli waris tanah didampingi dengan sejumlah saudaranya, menceritakan kasus yang akan didaftarkan gugatan itu. Bapaknya, Haji Umar, yang dulu pengusaha palawija di Desa Karanglo, Kecamatan Kerek memiliki belasan sertifikat tanah. Salah satunya sertifikat No. 50 gambar situasi No. 1436 tahun 1987. Dengan luas tanah 8390 meter persegi yang berlokasi di Desa Sumberarum, Kecamatan Kerek, Kabupaten Tuban. 

Kemudian sertifikat tersebut diagunkan di Bank BRI bersama belasan sertifikat hak milik tanah lainnya untuk kebutuhan modal. Posisi agunan berupa sertifikat diambil pada 2007 karena baru dilakukan pelunasan. 

"Posisi sertifikat diambil dari Bank BRi tahun 2007,dan setelah itu diperiksakan di Badan Pertanahan Nasional (BPN) Tuban, hasilnya pada 27 Agustus 2007 dinyatakan masih sesuai atau masih sesuai pemilik dalam sertifikat," terangnya. 

Kemudian pihak ahli waris melakukan upaya komunikasi ke perusahaan dengan sejumlah cara. Salah satunya mendapatkan tanggapan tertulis dari pihak legal perusahaan. No. 008714/HK/SUP/50045217/2000/09.218 tertanggal Gresik, 12 September 2018. Menyebutkan di antaranya tanah tersebut sudah dibeli perusahaan pada tahun 1991. Berdasarkan berita acara pembebasan tanah Panitia Pembebasan Tanah Kabupaten Tuban. Dengan kuasa jual dan penerima pembayaran melalui Sadari, salah satu perangkat desa. Atas dasar yang dianggap kuat, melalui surat tersebut perusahaan meminta ahli waris menyerahkan SHM No. 50 tersebut. 

"Sertifikat (SHM) masih diagunkan di bank apa bisa dijual tanahnya, kok aneh. Posisi sertifikat masih dinyatakan sah oleh BPN kok tanahnya dikuasai pihak lain. Bahkan pada Agustus 2018 dilakukan cek lapangan dan masih dinyatakan sertifikat tersebut hak milik Haji Umar belum berpindah,’’ ungkap alumni pesantren Langitan tahun 1999 tersebut.

Karena itu, dia berharap kasus ini segera selesai dan ada kejelasan. Sebab, sertifikat yang dia pegang adalah sertifikat asli, sedangkan tanah itu belum pernah dijual ke pihak lain oleh keluarganya.

Salah satu penasehat hukum Maghfur, Hayo Witjakso mengatakan, gugatan yang didaftarkan tersebut serius. Sebab, bukti-bukti otentik atas kepemilikan tanah itu ada di tangan klien yang dia dampingi. Jika misalnya PT Semen Indonesia punya bukti atas jual beli tanah itu, dia juga ingin tahu bukti apa yang dipunyai.

‘’Kita gugat karena kita yakin atas bukti sahnya kepemilikan tanah itu. Kita ingin persoalan selesai melalui jalur hukum yang semestinya,’’ katanya.

Agung Wiharto Sekretaris Perusahaan PT Semen Indonesia mengatakan, bakal menyerahkan kasus tersebut pada proses yang sedang berjalan. Pihaknya menghormati proses yang sedang ditempuh itu.

‘’Kita serahkan saja ke Pengadilan, Mas. Kita yakin bukti-bukti yang akan menunjukkan jalan kebenaran,’’ tandasnya.[ono]