Meski Tunanetra, Mbah Sambong Tetap Berkarya

Reporter: Mochamad Nur Rofiq 

blokTuban.com - Humoris, kalem, dan sederhana itulah sikap yang ditunjukkan pak tua ini. Ya, Mbah Sambong, begitu orang memanggilnya. 

Pria kelahiran tiga tahun pasca Indonesia merdeka ini sosok yang ulet, tekun, dan mandiri. Sebab, dengan keterbatasan penglihatan tak menyurutkan dirinya tetap berkarya tanpa minta-minta. 

Yang membuat kepala kita bergeleng-geleng, suami Srimukah ini, meski dalam kondisi tunanetra tidak menghalanginya untuk mencari nafkah dengan keahlian prakaryanya. Ia mengais rezeki dengan menjual cikrak dan sangkar atau kurungan ayam dari bambu. 

Saat ditemui di rumahnya, RT 1 RW 2, Desa Weden, Kecamatan Bangilan, Kabupaten Tuban dia berkisah, dirinya mengalami gangguan penglihatan sejak 34 tahun silam. Kendati begitu ia enggan berpangku tangan sebagai kepala rumah tangga. 

"Sejak 1984 saya sudah seperti ini. Awalnya ya bisa melihat. Namun tiba-tiba gelap semua," kisah pria kelahiran 1948 itu mengingat kala itu. 

Saat muda, Mbah Sambong bekerja sebagai buruh tani. Begitu pula istrinya. Untuk mencukupi kebutuhan hidupnya waktu itu, dengan menawarkan pekerjaan mengolah tanah kepada pemilik sawah. 

Namun saat nasib berkata lain, ia harus memutar otak untuk tetap bertahan hidup bersama istri tercintanya. Akhirnya ia berusaha membuat sangkar ayam dan cikrak dari bambu. 

Tentu dengan kondisi tunanetra, hal itu tidak mudah. Dirinya mengakui tangannya kerap terkena pisau atau goloknya sendiri saat membelah dan meraut bambu. 

"Namanya aja buta, ya sering kena pisau sendiri," tuturnya sambil menunjukan bekas luka di tangannya yang terampil itu. 

Menyandang tunanetra selama hampir setengah abad, jadi waktu yang cukup untuk menganalisa pembuatan sangkar ayam maupun cikrak. Mengandalakan indra perabanya, sangkar yang kokoh dan cikrak yang rumit anyamannya bisa terselesaiakan. 

Untuk membuat ukuran, Mbah Sambong mengandalkan jengkalan tangannya. Sebab jika pakai meteran, mengaku tambah ribet.

"Mal-nya ya jengkalan tangan ini, pakai meteran ribet," tandasnya sambil menenteng cikrak hasil karyanya. 

Bagi Mbah Sambong, membuat kerajinan bambu sudah ibarat makan sehari-hari. Ia hanya butuh waktu sehari semalam untuk menyelesaikan anyaman cikrak yang mungil dan rumit itu. Sementara untuk sangkar ayam ukuran ayam jago, ia butuh waktu tiga hari, menakjubkan bukan? 

Hasil karya Mbah Sambong kerap kali jadi primadona penghobi ternak ayam Bangkok (BK). Selain hasilnya rapi kualitasnya juga tidak diragukan lagi. 

Menurut penuturan dia, hasil karyanya ini pernah dipesan orang Cepu, Bojonegoro, dan Sale-Rembang. Namun, tidak jarang juga lama lakunya, karena orang tertentu yang butuh benda tersebut. 

Uniknya lagi, ia tidak pernah menjual hasil produksinya itu secara keliling atau ke pengepul kerajinan. Ia hanya bisa pasrah dan berharap pembeli datang yang ditunjukan oleh Sang Khaliq Pemberi Rezeki.

"Mau nawarkan gimana, wong saya juga buta gini. Kalau ada yang beli ya datang sendiri dituntun Allah ke sini," ucapnya dengan tersenyum lebar. 

Di sisa usianya, Mbah Sambong kini hidup sakinah Mawaddah Warohmah dengan istrinya. Selama membangun rumah tangga ia tidak dikaruniai keturunan oleh Sang Pencipta. 

Kini ia hidup di rumah berukuran 12 X 7 meter persegi. Dirinya berharap bisa terus berkarya agar bisa menyambung hidup.

"Semoga tetap sehat hingga ujung usia, biar tetap bisa membuat sangkar dan cikrak," pintanya. [rof/col]