Kebohongan dan Amnesia Politik

Oleh: Ichwan Arifin

“Betapapun cepatnya kebohongan itu, namun kebenaran akan mengejarnya juga.“ Pernyataan Tan Malaka dikutip dari buku “Dari Penjara Ke Penjara” sangat tepat menggambarkan kasus Ratna Sarumpaet. Cerita khayalan tentang penganiayaan yang dialami serta kegiatan Konferensi Asing yang diikutinya, menyebar luas dengan sangat dahsyat. Wajah lebam dampak operasi plastik yang diklaim sebagai buah penganiayaan viral di media sosial.

Meski sebagian masyarakat meragukan karena Ratna Sarumpaet dikenal suka melontarkan pernyataan kontroversial tanpa didukung data yang memadai. Namun tokoh-tokoh politik yang kebetulan semuanya berada dalam kubu “oposisi” menerima sebagai kebenaran dan mengaitkannya sebagai tindakan represif pemerintah dalam upaya membungkam suara oposisi. Bahkan lebih memprihatinkan lagi ada yang menghubungkannya dengan isu kebangkitan kembali Partai Komunis Indonesia (PKI). Di negeri ini, seolah semua hal yang berseberangan dengan kepentingan kelompoknya berarti ulah komunis.

Beberapa elite politik secara khusus menggelar forum keprihatinan. Isinya mengekspresikan dukungan pada Ratna Sarumpaet serta luapan kritik keras kepada pemerintah.  Konyolnya lagi, beberapa pimpinan partai politik baru yang didirikan keluarga Cendana, membandingkannya kasus itu dengan kepemimpinan Soeharto. Intinya, meskipun sering dikritik sebagai rezim otoriter namun tindakkan represif dan penganiayaan terhadap aktivis pro demokrasi seperti yang dialami Ratna Sarumpaet tidak mungkin terjadi pada masa Soeharto.

Mungkin pimpinan partai tersebut lupa atau menderita amnesi sejarah sehingga mengabaikan fakta serangkaian penculikan aktivis pro-demokrasi, tindakan represif dan peristiwa lain yang dapat dikategorikan pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM) yang dilakukan kepada kelompok yang berseberangan dengan penguasa, terjadi pada masa kekuasaan Soeharto. Bahkan hingga kini, sebagian korban penculikan tidak diketahui rimbanya. Ada praduga, kekerasan pada masa Orba dilakukan sebagai tindakan sistematis yang melibatkan aparatus represif negara pada masa itu.

Apa yang melatarbelakangi Ratna melakukan kebohongan sulit dinalar akal sehat jika dikaitkan dengan sosok dirinya yang mengklaim sebagai pejuang demokrasi, pembela rakyat kecil dan HAM. Secara psikologis mungkin Ratna tidak siap menghadapi respon publik jika dirinya diketahui melakukan operasi plastik. Hal yang sebenarnya biasa dilakukan dalam dunia medis atau ranah kecantikan. Bahkan sebagian figur publik di tanah air, secara terbuka mengakui melakukan hal tersebut. Namun pelabelan diri sebagai aktivis pembela rakyat kecil, dipersepsikan jauh dari hal-hal seperti itu, serta usia yang sudah berumur menjadi berat untuk mengakui rekayasa kemudaan melalui operasi plastik. Kemudian muncul kebohongan yang disebut Ratna sebagai cerita khayalan yang diberikan oleh setan. Konstruksi cerita khayalan itu ingin menggambarkan heroisme Ratna sebagai pejuang HAM, memiliki jejaring internasional, yang mengalami penganiayaan karena kritik-kritik kerasnya kepada penguasa.

Sebagaimana kutipan Tan Malaka diawal paragraf, kebenaran akan mengejar kebohongan. Pada akhirnya, Ratna mengakui kebohongan tersebut secara terbuka. Namun tentu tidak sesederhana itu. Bisa jadi alur ceritanya akan berbeda jika aparat kepolisian tidak sigap membongkar bau busuk dibalik isu penganiayaan. Ratna Sarumpaet membuat pengakuan ke publik pada saat aparat kepolisian sudah memiliki bukti lengkap untuk membongkar kebohongan tersebut. Artinya, tidak ada jalan lain bagi Ratna kecuali mengakui dosanya ke publik, daripada dipermalukan karena kesigapan aparat kepolisian. Pengakuan dosa itu juga dikonstruksi sedemikain rupa dalam sudut pandang yang sebagai sikap terhomat dan luarbiasa. Meski melakukan kesalahan tapi berani membuat pengakuan dan permintaan maaf secara terbuka.   

Namun ada hal lain yang lebih mengkhawatirkan dari kebohongan Ratna. Yaitu respon dari orang-orang di sekelilingnya, yang notabene merupakan tokoh-tokoh terkemuka. Mereka seolah mengidap keyakinan buta dengan menerima informasi sepihak sebagai sebuah kebenaran. Meskipun dalam klarifikasinya pasca pengakuan Ratna, mereka mengemukakannya sebagai kepedulian terhadap aspek kemanusiaan. Namun sulit untuk membedakan apakah pembelaan membabi buta tersebut sebagai refleksi keprihatinan atau propaganda politik. Nampaknya aspek terakhir yang lebih mengemuka.  

Jika itu yang sesungguhnya terjadi, maka sebenarnya merupakan contoh penggunaan segala cara dalam politik dengan mengabaikan kaidah moral dan etika. Perilaku politik seperti itu yang sering dituduhkan pada PKI atau cara-cara komunis.

Oposisi dalam sistem politik demokrasi hal yang biasa, bahkan harus ada sebagai bagian dari prinsip checks and balances untuk memastikan penguasa tetap berjalan pada trek yang benar, mencegah abuse of power maupun terwujudnya kekuasaan absolut. Namun oposisi tentu tidak ekedar sikap berbeda dengan penguasa, apalagi hanya didasari atas ketidaksukaan belaka. Sikap tersebut dapat menyeret tumbuhnya keyakinan buta yang bisa jadi hanya dilandasi oleh rasa ketidaksukaan atau kebencian pada orang atau kelompok lain yang tidak sejalan dengan kelompoknya. Bagi Friedich Nietzche, keyakinan buta itu bisa lebih berbahaya daripada kebohongan. Dalam konteks Nietzche, keyakinan buta ada pada ideologi namun dapat juga pada informasi yang bias.

Sulit dibayangkan jika orang-orang yang menduduki jabatan publik kemudian membuat keputusan politik didasarkan pada informasi sesat. Hanya karena bersumber dari orang atau kelompok yang memiliki kedekatan perkawanan, kesamaan pandangan politik dan faktor-faktor perekat lainnya, segala macam informasi dianggap sebagai kebenaran tanpa perlu melakukan verifikasi.

Terakhir, kita perlu membangun pemahaman bahwa politik itu mulia karena diperlukan sebagai ikhtiar membuat perubahan lebih baik bagi masyarakat. Karena politik harus dibangun atas dasar tanpa value baik berupa ideologi, moralitas dan keadaban. Saat ini, masyarakat mulai skeptis dengan proses politik, krisis kepercayaan pada partai politik dan politisi. Jika hal ini tidak disadari para elite politik untuk kemudian melakukan perbaikan, maka sesungguhnya secara perlahan mereka sedang melakukan pembusukan terhadap demokrasi. Demokrasi memang tidak menjamin terwujudnya kondisi yang lebih baik dalam segala hal. Namun satu yang pasti, gagalnya demokrasi akan membawa arus balik otoritarianisme dan berjayanya para oligark yang menyengsarakan rakyat.

*Alumnus Pasca Sarjana Undip dan mantan GMNI, dapat disapa di: ichwan.arifin.ia@gmail.com