Berbincang dengan Gus Dur atas Pilihan Yenny

Oleh: Sri Wiyono

blokTuban.com - Namanya Zannuba Ariffah Chafsoh Rahman Wahid banyak orang tak familiar dengan nama ini. Namun, ketika perempuan kelahiran 1974 itu disebut dengan nama panggilannya, Yenny Wahid, orang langsung mengangguk-angguk. ‘’O..Mbak Yenny to, putri Gus Dur itu,’’ begitu kira-kira.

Dan memang demikianlah, Mbak Yenny dia biasa disapa memang seolah mewakili atau menjadi representasi Gus Dur, baik pemikiran maupun sikap dan langkah-langkahnya. Demikian halnya Gus Dur, Mbak Yenny juga memiliki kharisma untuk terus mengikat kader dan para pengikut Gus Dur. Tengoklah jaringan Gusdurian juga konsorsium-konsorsium kader Gus Dur begitu eratnya saling berhubungan.

Maka ketika hiruk-pikuk pilpres pun, keluarga besar Gus Dur, dan tentu saja diyakini bakal diikuti jaringan pendukungnya, kader dan simpatisan Gus Dur pun ditunggu sikap politiknya. Para calon presiden dan wakil predisen pun menyempatkan ‘sowan’ ke ndalem keluarga besar Gus Dur. Menunjukkan kharisma presiden keempat RI ini tak pernah padam.

Maka, ketika pilihan politik itu diambil, gegerlah dunia persilatan. Ada yang menganalisa ini itu, ada yang memprediksi demikian-demikian, ini itu dan sebagainya. Pun tak kalah banyaknya yang prediksinya mbleset atas pilihan politik Mbak Yenny yang membawa gerbong pengikut dan kader Gus Dur untuk mendukung pasangan nomor urut 1 Jokowi-KH Ma’ruf Amin.

Dan sejak itu, Mbak Yenny menjadi perbincangan hangat. Ada yang bilang menyejukkan, membuat adem, dewasa, menyelamatkan suara NU, membuat suara NU utuh dalam pilpres dan lain sebagainya.

Dan, tentu saja tak sedikit yang menyindir, nyinyir dan bersuara sumbang atas pilihan itu. Ya, namanya negara sedang belajar demokrasi, ya seperti itu kondisinya. Ibarat anak yang baru belajar ngomong, tentu sering clometan dan bersuara-suara tidak jelas.

Lalu, mendadak banyak meme terkait pilihan Mbak Yenny itu. Salah satunya meme yang seolah-olah dikatakan Gus Dur. Diambil dari namanya, maka sudah layak kalau Mbak Yenny menjatuhkan dukungan pada nomer. ‘’Nama Yenny itukan wahid (satu), bukan isnain (dua). Jadi ya wajar,’’ lalu ditambah dengan gambar Gus Dur dengan wajah terkekeh.

Maka ketika ketemu Gus Dur, saya tanyakan langsung hal itu.

‘’Benarkah seperti itu Gus, apa sudah konsultasi dengan Jenengan terkait pilihan dukungan itu,’’ tanya saya.

Sebelumnya, saya persilahkan Gus Dur duduk di kursi belajar warna pink milik anak saya. Kursi itu sudah sobek di bagian dudukannya, karena pernah kelebihan beban. Maka ketika diduduki Gus Dur saya sempat khawatir. Namun, melihat Gus Dur duduk santai di atas kursi itu, kekhawatiran saya hilang.

‘’Gus Dur kan wali, begitu kata banyak orang. Jadi, bakal tahu apakah akan jomplang dari kursi itu atau tidak. Karena Gus Dur nyantai, berarti kursi itu masih kuat nopang bobotnya,’’ begitu batin saya.

‘’Hehehehe…,’’ tiba-tiba Gus Dur terkekeh dengan gaya khasnya itu. Mungkin bisa mendengar kata hatinya saya.

Saya bersila di atas karpet yang saya gelar di lantai teras. Saya biasa klekaran di teras tanpa atap itu. Sehingga bebas memandang langit.

‘’Yenny itu sejak dulu nurut sama saya,’’ kata Gus Dur tiba-tiba.

‘’Berarti pilihannya itu sudah atas restu Jenengan Gus,’’ tanya saya.

‘’Ya tentu saja dia konsultasi. Ngajak diskusi. Saya beri pandangan-pandangan, dan dia sendiri yang menentukan. Ternyata pilihannya tepat. Analisanya tajam,’’ jelas Gus Dur.

‘’Kenapa harus Jokowi Gus,’’ kejar saya.

‘’Itu sebagai ikhtiar. Negeri ini butuh pemimpin yang bisa mengeluarkan bangsa ini dari kesulitan. Butuh figur yang bisa mengembalikan kepercayaan diri bangsa. Pemimpin yang mencintai rakyatnya. Yang bekerja keras untuk membangun negerinya bukan untuk kelompoknya,’’ urai Gus Dur.

‘’Apakah semua itu ada pada Jokowi,’’ saya belum puas.

‘’Saya bilang itu ikhtiar. Berusaha mencari yang terbaik. Kalau siapa yang akan menjadi pemimpin ya urusan Gusti Allah. Manusia tak punya wewenang menentukan. Apalagi memutuskan dan menjadikan seseorang sebagai pemimpin. Itu namanya ngoyoworo. Kalau mengikhtiarkan iya, dan itu wajib,’’ katanya.

‘’Kalau Jenengan sendiri menilai sosok Jokowi bagaimana?’’ tanya saya.

‘’Sebagai presiden dia sudah menjalankan tugasnya dengan baik. Proporsional dan profesional. Soal ada yang menilai baik dan tidak itukan biasa. Siapa yang diuntungkan ya mendukung dan menilai baik. Bagi yang tidak diuntungkan, dan terancam pasti menilai jelek. Mencari cara untuk menjelekkan, menjatuhkan dan lainnya. Itu hal yang biasa di dalam politik. Seperti saya dulu, difitnah macem-macem. Dituduh dengan tuduhan yang sampai saat tidak terbukti. Bahkan dijatuhkan. Memang seperti itu. Jadi, siapapun presidennya, akan terus menerima dan tertimpa hal-hal seperti itu. Apakah kemudian harus diam? Tidak ! Hal seperti itu harus dilawan. Bagaimana caranya? Ya dengan melakukan semuanya sesuai aturan. Konstitusi tidak dilanggar, hukum ditegakkan seadil-adilnya. Memang berat, tapi itu tak mustahil dilakukan,’’ Gus Dur berbicara panjang lebar.

Aku hanya menyimak kata-kata itu. Dalam, dan menumbuhkan optimisme.

‘’Apakah artinya saat ini sosok Jokowi dan Kiai Ma’ruf ini yang sedang dibutuhkan bangsa ini Gus?’’ saya berharap mendapat pencerahan.

‘’Kebutuhan pemimpin seperti apa, ya rakyat Indonesia yang menentukan. Dia mau dipimpin oleh siapa dan model kepemimpinan seperti apa. Lalu dari calon yang ada diikhtiarkan, siapa tahu Gusti Allah ngijabahi. Saat ini bangsa Indonesia butuh figur pemersatu, perekat bangsa yang menyatukan semua kepentingan, golongan, kelompok dan perbedaan. Bisa menjadi jembatan komunikasi dan mengayomi. Karena, bangsa ini sedang diincar dan terancam oleh gerakan-gerakan yang bisa memecah belah. Ini penting, agar sebagai bangsa, Indonesia tetap utuh,’’ pesannya.

‘’Dan figur pemersatu yang dibutuhkan itu ya pasangan nomor 1 itu Gus?’’ tanya saya.

‘’Itu bisa digali sendiri. Bisa anut tokoh yang diyakini menjatuhkan pilihan dengan berbagai pertimbangan. Tidak karena ini itu, tapi murni niat untuk menyelamatkan bangsa?’’

‘’Seperti Mbak Yenny itu?’’ sergah saya.

‘’Itu salah satunya, salah satu ikhtiar itu,’’ jawabnya.

‘’Gus, Jenengan bukankah pernah bicara di televisi bahwa Prabowo orang yang jujur dan paling jujur di antara calon yang lain,’’ gugat saya yang pernah menonton video itu di media sosial.

‘’Itu tahun berapa? Kondisi berbeda. Situasi berkembang dan berubah sesuai masanya. Banyak yang dipelintir-pelintir disesuaikan kebutuhannya. Termasuk komentar-komentar saya yang dulu-dulu itu. Tidak usah dipikirkan itu. Diabaikan saja. Ikhtiarkan saja sesuai hati nurani, mau calon nomer 1 lah, nomer 2 lah. Karena masing-masing punya konsekuensi. Biarkan kelompok-kelompok di luar sana menyerang semaunya. Semua nanti kan ketahuan mana yang niatnya tulus dan yang tidak. Pada saatnya nanti semua akan jelas. Begitu saja kok repot,’’ pungkas Gus Dur.

‘’Sudah malam, saya balik dulu. Makam saya sudah kosong atau belum dari peziarah. Capek saya nunggui Malaikat Munkar dan Nakir datang. Sampai sekarang saya belum ditanyai dia, karena selalu ada peziarah di makam saya. Malaikat belum mau datang,’’ ucapnya sambil berlalu. Sarung yang digulung agak ke atas itu berkelebat ditiup angin.

Aku tertegun. Tiba-tiba hawa dingin menyergap. Mataku terbuka. Ah, ternyata aku bermimpi. Terbangun dari tidur karena hawa dingin. Sebab, saya klekaran hanya dengan sarung dan berkaus singlet. Saya gulung karpet, bantal saya kempit, dan akupun tidur pindah ke dalam. Bagaimana soal pesan Gus Dur itu? Wallahu a’lam.[*]