Merintis Jalan Menghapus Money Politic

Penulis: Adam Machlouv*

blokTuban.com – Terlepas darimana didapat. Halal atau haram. Uang bisa dibilang sebagai satu-satunya benda yang paling diminati peradaban manusia di abad ini. Keberadaannya menggurita: di pasar tradisional dan modern, sawah, rumah, pesantren, sekolah, kantor negara dan swasta, jalan-jalan, laut dan pantai, dan juga berhubunga di pekerjaan apapun: politisi, polisi, tentara, wartawan, jaksa, petani, pedagang, PNS, hakim, nelayan, wiraswatawan, pemain bola dan sebagainya.

Uang juga pasti ada di acara dangdutan, pagelaran musik rock dan pop, pertandingan sepak bola, pesta-pesta keluarga, pengajian, di antara kantong pedagang kaki lima atau pejabat, dan menjadi sangat mudah ditemui saat pesta demokrasi digelar. Untuk yang terakhir, nilainya kadangkala melebihi nilai Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) suatu wilayah di Indonesia.

Sebelum lebih jauh, sepertinya kita perlu bersepakat satu hal tentang “uang” di pagelaran pesta demokrasi. Apakah “uang” itu sebagai ongkos politik atau “uang” itu dimaknai sebagai politik uang. Sama tapi tentu berbeda. Pembahasa ada di bawah ini:

Ongkos politik adalah biaya operasional Pemilihan Umum (Pemilu) seperti beli kaos kampanye, pasang baner sosialisasi, iklan di media massa (meski banyak aturan yang menyertainya), sewa sound system, dan sebagainya. Ongkos politik ini diperlukan partai dan calon yang diusung. Sumbernya dari kas partai ataupun sumbangan-sumbangan. Kemudian lembaga-lembaga penyelenggara Pemilu juga membutuhkan ongkos untuk menyewa sound system, menggaji petugas penyelenggara, pengadaan kartu suara, keamanan dan sebagainya.

Sementara politik uang (money politic) adalah proses memberikan sesuatu yang biasanya berupa uang atau barang. Tujuannya agar si pemilih mau memilih si pemberi. Sumber dananya tidak resmi karena memang dilarang secara aturan. Bisa dari kocek pribadi atau donatur.

Terlepas legal dan non legal, keduanya memerlukan nilai yang besar. Untuk Kades menghabisan ratusan juta sampai milyaran rupiah. Calon legislative juga sama. Bayangkan, Kementerian Dalam Negeri pernah menyebutkan kalau biaya calon Bupati dan Wakil Bupati membutuhkan dana Rp20 sampai Rp100 miliar. (dikutip dari kompas.com, 12/1/2018).  Jumlah itu tentu lebih besar untuk kompetisi demokrasi di atasnya.

Tingginya kebutuhan uang di Pilkada terkadang melahirkan generasi pemimpin yang kurang berkualitas. Orang yang layak secara administrasi, pendidikan, dan kompetensi harus gigit jari karena tidak punya modal. Sebaliknya, mereka yang jadi adalah orang-orang bermodal besar dan pandai memainkan uangnya, meskipun kompetensi masih perlu dipertanyakan. Bagaimana menciptakan pemimpin hebat?

Money Politic Menjadi Pilihan Tersandera

Ada konsekuensi yang harus kita tanggung saat money politic masih menjadi bagian pernak-pernik di proses demokrasi kita:

Pertama, adalah pilihan untuk memilih secara obyektif menjadi tersandera. Sebagian masyarakat Indonesia masih memegang budaya pakewuh, yakni merasa tidak enak hati kalau tidak balas budi dengan seseorang yang telah memberinya uang. Termasuk memberikan hak pilihnya. Padahal konsekuensi dari pilihannya membawa dampak yang lebih besar, dan terlalu besar apabila dibandingkan dengan nilai barang yang diterima.

Meskipun ada jargon “terima uangnya jangan pilih calonnya”, tetapi itu tidak belaku bagi masyarakat pedesaan. Sampai detik ini, semboyan itu seolah hanya kampanye masyarakat kelas menengah yang merasa putus asa dengan maraknya money politic. Menerima uang tanpa mempengaruhi hak pilih seseorang, belum bisa menjadi budaya di tengah masyarakat kita.

Kedua, tersandera tidak hanya bagi pemilih, tapi juga calon yang dipilih. Kepada siapa? Tidak lain kepada modal. Sudah menjadi rahasia umum, biaya besar untuk berlaga di pesta demokrasi hanya segelintir orang yang mampu membiayai diri sendiri. Sisanya berasal dari pemodal yang tentu tidak memberikan secara “Cuma-Cuma”, ada kompensasi lain yang diharapkan, dan berhubungan dengan jabatan yang kelak dia emban. Ada transaksi. Ada imbal jasa yang diberikan.

Memulai Pendidikan Anti Money Politic

Tidak mudah memang memberangus money politic di perhelatan demokrasi. Seorang kawan bilang, itu seperti makan nasi padang tanpa lemak. Meskipun lemak tidak sehat, tapi kurang klop rasanya ketika itu tidak disertakan di menu nasi padang yang kita pesan.

Mungkin terdengar klise, tetapi tidak ada salahnya mencoba dari sini:

Calon pemilih pemula. Sekarang. Saat ini juga. Tidak menunggu mau Pemilu baru ramai sosialisasi. Beberapa tahun sebelum adik-adik pelajar mempunyai hak pilih. Apa salahnya sudah mendapatkan sosialisasi tentang betapa pentingnya memilih calon pemimpin.

Sosialisasi Pemilu tidak hanya melulu tentang bagaimana siswa nanti memilih, bagaimana cara mencoblos, mana suara yang dianggap sah. Bukan hal seteknis itu. Tetapi kalau Pemilu itu proses mencari orang-orang yang akan dipercaya mengelola uang pajak kita, sumber daya kita, transportasi yang kita pergunakan. Berikan mereka pandangan sejak muda: apakah nanti akan memilih atau mencalonkan diri untuk dipilih agar bisa mengemban amanat-amanat di atas.

Pemilih Pemula, pemilih harapan bangsa. Selain memberikan pemahaman seperti calon pemilih pemula, sudah selayaknya mereka diberi pandangan tentang demokrasi di tahun pertama mereka mencoblos. Apa itu? Kepercayaan dan amanat kalau mereka adalah pemangkas generasi money politic di Indonesia. Pemilu bersih dimulai dari mereka, demokrasi sehat dirintis oleh mereka.

Penulis setuju kalau pendekatan lain harus dilakukan untuk merintis demokrasi tanpa money politic. Pendekatan ala anak milenial, bukan pendekatan formal yang itu-itu saja, dilakukan oleh orang-orang tua miskin kreasi. Karena demokrasi bisa diperbincangkan dengan gaya mereka, cara mereka, dan pola hidup ala mereka.

 

*Penulis tinggal di Desa Prambontergayang, Kecamatan Soko, Kabupaten Tuban.