Sikap  Rendah Hati Bupati, Sindiran dan Nafsuku

Oleh: Sri Wiyono

‘’Sing sabar Le, ojo kemrungsung!”
Aha..ibadah Ramadanku belum mampu mengubahku. Bahkan, memberi sedikit atsar (bekas) sedikit saja nampaknya belum. Aku merasa Ramadanku tahun ini, lebih buruk dibanding tahun lalu. Meski tahun lalu tak bagus-bagus amat hehehe....

Ya, pesan itu harus kembali kuterima dengan lapang dada, ketika gambaran suasana hatiku ditangkap para leluhur itu. Pesan itulah di antara hasil pengembaraan ‘spiritual’ ku selama Lebaran. Ternyata diri ini tetap belum bisa sabar, sehingga berkali-kali aku harus diingatkan.

Termasuk Ramadan 1439 H itu belum membuat aku bisa menata hatiku. Nafsuku akan banyak hal masih membara. Maka kesabaranlah yang mampu mengendalikannya. Menata hati, menata niat, bismillah #2019gantinasib hahahah....

Maka saat Ramadan berlalu, hampir tak ada rasa galau di hatiku. Menandakan betapa bebalnya aku. Gema takbir yang berkumandang malam 1 Syawal itu tak mampu menggetarkan hatiku. Meski perasaan ingin baper atas gempita 1 Syawal itu, namun hatiku tak mau diajak.

Tapi, entah mengapa pagi 1 Syawal aku ingin cepat-cepat ke masjid. Selain karena ada satu alasan, selebihnya adalah dorongan kuat yang menuntunku. Maka, 1 Syawal itu, aku memutuskan untuk berangkat pagi-pagi ke masjid untuk menunaikan salat Idul Fitri.

Jika biasanya, aku berangkat bersama keluarga, pagi itu aku berangkat sendirian, karena berangkat lebih pagi. Jam 05.30 saya sudah berada di masjid. Suasana masih agak sepi. Di halaman masjid dan jalan-jalan di depan masjid masih kosong.

Masjid pun masih tampak lowong, sehingga aku mendapat tempat di shaf ke 3. Aku sengaja mengambil tempat tepat di depan mimbar. Tepat di depanku Khatib yang akan mengisi khutbah Idul Fitri.

Aku duduk diam setelah salat tahiyatul masjid. Suara takbir menggema. Pelan-pelan hatiku terasa adem. Bahkan, beberapa kali aku baper, air mataku sempat meleleh di pipi, menyadari betapa kurangnya ibadahku selama Ramadan ini.

Sempat terbersit rasa getun ketika itu, kenapa tidak memanfaatkan Ramadan sebaik-baiknya. Tak kulanjutkan tangisku. Malu pada jamaah di sampingku. Nanti dikiranya aku lebay dan gembeng. Maka aku memilih diam sampai satu jam kemudian salat Idul Fitri dimulai, setelah rombongan Bupati hadir di masjid.

Aku kaget. Dalam sambutan sebelum salat Idul Fitri, Bupati Tuban Fathul Huda menyampaikan beberapa hal. Selain menyampaikan hikmah puasa dan madrasah selama Ramadan, yang bisa dilihat dari sikap dan perilaku manusia setelahnya, Bupati juga menyinggung kinerjanya.

Ya, kinerja pemerintah kabupaten (pemkab) Tuban yang dia pimpin. Bupati yang juga kiai ini sangat menyadari keterbatasannya sebagai manusia. Keterbatasan para pejabatnya yang juga bukan malaikat. Namun, yang memiriskan adalah, semua kesalahan dan kekurangan itu dia tanggung sendiri di pundaknya.

‘’Saya atasnama pemerintah Kabupaten Tuban mohon maaf lahir dan batin. Kesalahan saya (sebagai bupati) sangat besar. Karena banyak harapan masyarakat yang belum bisa terpenuhi,’’ ucapnya kala itu.

Seperti itulah seharusnya pemimpin. Mau legowo, rendah hati dan jujur untuk meminta maaf pada masyarakat yang dipimpinnya. Dan, rakyat pun juga mesti jujur dan menilai secara proporsional atas capaian kinerja pemerintahan yang menaunginya. Bukan asal menyalahkan.

Bupati bukan malaikat yang atas kehendak Tuhannya, mampu memberi apa saja yang dibutuhkan umat. Masyarakat pun beragam golongan, beragam organisasi, beragam partai politik, pun beragam kepentingan. Sehingga, sangat mustahil pemimpin bisa memenuhi seluruh kebutuhan masyarakatnya.

Sebagai bupati, Fathul Huda sangat mustahil bisa memuaskan seluruh warga Tuban Bumi Wali. Selalu saja ada yang menilai kurang, selalu ada yang menilai salah. Selalu ada yang menyebut salah kebijakan, dan selalu ...selalu lainnya. Dan selalu ada pihak yang tak puas, meminjam guyonan Cak Lontong; ‘’Anda puas, saya lemas’’ hehehe.... Tak pernah ada puasnya.

Tapi, sebagai pemimpin Fathul Huda mempunyai kebesaran jiwa yang luar biasa. Pemimpin yang menimpakan semua kesalahan anak buah di pundaknya. Sebab, sebagai bupati, Fathul Huda punya banyak anak buah. Punya para kepala dinas, kepala badan, kepala bagian, Camat dan jabatan lain yang tugasnya membantu bupati.

Jika ada kekurangan, mestinya mereka, para pembantu bupati itu yang salah. Para pimpinan organisasi perangkat daerah (OPD) itu yang patut bertanggungjawab, karena belum bisa, atau bahkan tidak bisa memenuhi harapan pemimpinnya. Belum bisa menjabarkan visi misi bupati ke dalam kegiatan nyata di lapangan. Sehingga, visi misi seolah hanya deretan huruf-huruf yang menjelma kata, namun tidak terjabarkan dengan aksi nyata. Maka berbahagialah para pejabat itu mempunyai pemimpin yang begitu ‘Lembah Manah’. Dan berbahagialah warga Tuban memiliki pemimpin dengan kebesaran jiwa seperti itu. Cukup ? tidak !! Masyarakat adalah cerminan sikap dasar manusia, yang tak pernah merasa puas.

Dan, tidak bagusnya Ramadanku kali ini masih ditambah dengan panasnya media sosial (medsos). Meski di bulan Ramadan dan bahkan Lebaran pun masih marak caci maki. Marak hujatan dan saling sindir.

Tantang menantang, saling berbalas kalimat yang menyinggung dan ungkapan-ungkapan sejenisnya lainnya. Satu kelompok dengan kelompok lain saling melempar tudingan. Saling mempertahankan kepentingan dan pemahaman mereka atas sebuah peristiwa berdasarkan interprestasinya sendiri. Termasuk saya tentunya, hemmm...

Dan semua itu sangat kental nuansa kepentingannya. Baik kepentingan politik, atau kepentingan egois dan eksistensi kelompoknya. Dan, aku ikut sedikit terhanyut di sana. Jari ini rasanya gatal ketika melihat kawan-kawan yang aku kenal memosting, nyinyir, dan berkomentar atas kejadian-kejadian yang sedang jadi topik bahasan.

Dan, aku ikut nyinyir ketika postingan dan komentar mereka tak sejalan dengan pemikiran saya. Aha...maka sempurnalah ketidaksempurnaan Ramadanku kali ini. Dan, minal aidin walfaizin sodara, mohon maaf lahir dan batin. Wallahu a’lam.[*]