Warga Was-Was, Tapi Tak Tau Mau Pindah Kemana

Reporter: M. Anang Febri

blokTuban.com- Peristiwa terjadinya kebakaran di lokasi PT. Gasuma Federal Indonesia (GFI) Selasa (19/6/2018) pagi kemarin membuat warga trauma. Sebab, kejadian itu bukan baru kali pertama ini saja. Perusahaan sejenis yang terletak satu lokasi Gasuma di antara Dusun Badekan, Desa Sokosari dan Dusun Sarirejo, Desa Rahayu, Kecamatan Soko sebelumnya juga pernah mengalami ledakan keras  sekitar satu tahun yang lalu.

Tak ayal, kejadian munculnya si jago merah yang tak pernah diharapkan warga sekitar lokasi perusahaan PT Gasuma tersebut membuat warga sekitar menjadi was-was setiap waktu. Salah satu warga Dusun Sarirejo, Desa Rahayu Kecamatan Soko, Sutikno (35) yang tinggal di radius sekitar 200 meter dari lokasi kebakaran, mengungkapkan betapa salah tingkahnya dia saat ini.

Sejak nyala api muncul pada pukul 07.30 di utara perusahaan, lelaki yang sehari-harinya bekerja sebagai tukang urut dan pijat itu panik minta ampun.

"Tadi pas kebakaran ya kaget banget Mas. Orang-orang ramai ke sini. Api berkobar-kobar, pohon bambu yang kebakar suaranya krutuk-krutuk ngeri dan bau sangat menyengat," ungkap Sutikno kepada blokTuban.com.

Bapak satu anak itu juga menambahkan, saat kebakaran yang ditengarai disebabkan oleh gas pembuangan Kondensat yang menumpuk di sungai itu setiap harinya bisa menyebabkan gatal-gatal, mutah, hingga pinsan jika kondisi fisik kurang fit.

Tak dipungkiri juga olehnya, limbah H2S yang keluar dari perusahaan tempat pengolahan gas buang beserta aktivitasnya itu tak jarang membuat penduduk di lingkungan sekitar perusahaan menjadi gundah bercampur gusar yang berkecamuk dalam benak saja.

"Ya khawatir. Ketika warga penduduk sekitar sedang terlelap tidur, tiba-tiba saja terjadi kebakaran. Bagaimana caranya mengantisipasi? Lingkungan sekitar sini selalu was-was," tambahnya.

Dia, juga warga yang lain, yang berdekatan dengan lokasi perusahaan, sebenarnya memiliki keinginan untuk pindah ke wilayah yang lebih aman dan tenang, tanpa adanya gangguan kenyamanan seperti sekarang ini.

Sepanjang usianya yang kini berkepala tiga, dari mulai lkecil hingga tumbuh dewasa dan berumah tangga, Sutikno ingin pindah. Namun apa mau dikata, dia tak punya pilihan lain selain tetap tinggal dan menetap di sekitar lokasi pengolahan minyak itu dengan berkawan rasa was-was setiap waktu.

"Pindah, tapi pindah dimana? Soalnya punya tempat ya hanya di sini saja. Kalau ada tempat lain ya lebih baik saya sudah pindah. Ataupun, misal tempat saya ini dibeli dan dipindahkan oleh perusahaan ya gak masalah. Yang penting ada ganti cari tempat pindah," tutut dia.

Warga juga tak memungkiri, ada upaya pendekatan yang dilakukan perusahaan. Bentuknya dengan memberikan uang kompensasi kepada warga penduduk sekitar perusahaan sebesar Rp 300 ribu per KK. Kendati demikian, program tersebut dirasa kurang memadai jika dibanding dengan keamanan dan kesehatan penduduk sekitar pengolahan gas tersebut.

"Ada kompensasi, setiap bulan tiga ratus ribu per KK. Tapi apakah dengan harga itu kesehatan dan keamanan warga bisa dijamin? Gak sebanding, gak imbang Mas," pungkasnya dengan nada mengeluh. [feb/ono].

 

rps20180619_152236_1