Ketika Nella Kharisma dan Via Vallen Berjaya di Ajang Tongklek

Penulis: Sri Wiyono


blokTuban.com – Nonton festival tongklek yang digelar IPNU dan IPNU Cabang Tuban Rabu (30/5/2018) kemarin ?. Ya, festival yang diikuti 48 peserta itu berlangsung sampai Kamis dini hari menjelang waktu sahur.

Saya nonton sampai sekitar 00.30. Saya harus pulang karena anak perempuan saya yang duduk di bangku kelas 4 MI harus sekolah paginya. Saya nonton di Jalan Basuki Rachmat, depan kantor Dewan Pendidikan Kabupaten yang sekaligus menjadi markas Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Tuban.

Nonton dengan nyaman, karena saya mengeluarkan kursi dari dalam kantor, saya usung ke trotoar untuk tempat duduk kami berempat; saya, istri dan dua anak saya. Semula, kami mau nonton di alun-alun Tuban, sambil menghadiri undangan pengurus IPNU dan IPPNU yang sedang punya gawe itu.

Oh ya, ajang festival tongklek ini sekaligus menjadi ajang reuni bagi pada mantan pengurus dan anggota IPNU dan IPPNU periode-periode sebelumnya. Pada malam itu, para pengurus dan anggota berbagai generasi ngumpul untuk menyaksikan gelaran tersebut. Sebagai mantan pengurus, saya juga dapat undangan.

Karena saat saya datang ke alun-alun, kondisi sudah penuh sesak. Jalan-jalan yang dilalui peserta festival pun sudah tidak menyisakan lagi ruang untuk kami bisa menikmati sajian dengan nyaman. Kalau harus nonton dengan berdiri, ampun dach....

Dua anak saya itu paling suka tongklek, jadi mereka betah berjam-jam nonton. Lalu, saya harus menggendong anak lelaki saya yang berusia 5 tahun, dengan berdiri berjam-jam? Nyerah dech.

Maka istri saya lalu punya ide untuk nonton di depan PWI saja. Di sana bisa duduk di kursi yang dipinjam dari invengaris kantor Dewan Pendidikan. Dan, cita-cita itu terkabul, meski untuk masuk halaman kantor PWI agak sudah. Sudah banyak warga yang berjubel dan motor yang diparkir sembarangan.

Maka duduklah saya dengan tenang di kursi logam dengan dudukan dan sandaran biru itu. Menunggu peserta pertama lewat membuat dua anak saya tidak sabar. Padahal, saat di alun-alun, peserta pertama sudah berangkat. Bahkan,sudah sampai di jalan Veteran.

Akhirnya, yang ditunggu-tunggu tiba. Anak kedua saya langsung mengembalikan hape saya yang sebelumnya dipakai membuka youtube. Maka, kami pun larut seperti ribuan warga lainnya yang ingin menikmati sajian tongklek dari para peserta itu.

Saya pernah menulis, bahwa tongklek sudah mengalami pergeseran yang begitu banyak. Setidaknya jika dibandingkan dengan ketika awal-awal musik penggugah waktu sahur itu difestivalkan IPNU dan IPPNU, sekitar tahun 1998 an sampai 2.000 an.

Kebetulan, di tahun itu, saya menjadi anggota dan kemudian menjadi pengurus IPNU cabang Tuban. Sehingga tahu sejarah festival tongklek yang saat ini menjadi ikon dan agenda tahunan IPNU dan IPPNU itu.

Bahkan, saat ini festival itu sudah menjadi agenda tahunan kebanggaan Kabupaten Tuban. Kabupaten tetangga seperti Bojonegoro misalnya, belakangan juga menggelar acara yang sama.

Jika dulu, di awal-awal festival peserta banyak melantunkan lagu-lagu pujian dan salawatan, saat ini sudah bergeser. Belakangan lagu dangdut dan campursari mendominasi syair yang dilantukan peserta. Tentu dengan aransemen yang disesuaikan dengan grup tongklek masing-masing.

Grup tongklek juga sudah menjelma menjadi grup musik yang laris tanggapan. Karena banyak event yang mengundang grup tonglek untuk pentas. Bahkan, dilengkapi penyanyi juga. Karena durasinya panjang, biasanya untuk pementasan tongklek diselipi salawatan. Meski banyak membawakan lagu dangdut, namun penyanyinya masih sopan. Masih masih pakai kerudung, baju panjang, bahkan kadang gamis. Masih syar’i lah kata kawan-kawan hahaha....

Tak terkecuali peserta tongklek Rabu malam kemarin. Mulai dari peserta pertama sampai 17 saya tidak menemukan salawatan atau lagu-lagu pujian dikumandangkan. Sebab, rata-rata justru lagu-lagu dangdut koplonya Nella Kharisma dan Via Vallen yang banyak dilantunkan dengan aransemen yang rancak khas tongklek.

Maka sepanjang jalan itu banyak dipenuhi oleh Jaran Goyang, Bojo Galak, Indah Pada Waktunya, Ojo Nguber Welase dan lagu-lagu lain yang biasa dinyanyikan Nella Kharisma. Tak ketinggalan lagu Sayang nya Via Vallen, juga Pikir Keri dan lagu-lagu Via lainnya.

Meski sesekali terdengar ada yang membawakan lagu-lagu campursari lawas milik Didi Kempot seperti Jambu Alas, juga Banyu Langit dan lainnya, namun Nella penyanyi asal Nganjuk dan Via Vallen yang asal Surabaya itu masih berjaya. Lagu-lagunya masih menjadi pilihan mayoritas peserta festival tongklek.

Pada nomor peserta 18 saya grup asal Kelurahan Karang, Kecamatan Semanding saya baru menemukan ada salawatan dan lagu Tombo Ati yang digubah Sunan Kalijogo dilantukan. Kemudian, peserta nomor 22 dari Desa Leran Kulon Kecamatan Palang juga melantunkan salawatan dan pujian-pujian.

Itu setidaknya yang saya temukan di jalan Basuki Rachmat depan kantor PWI. Sebab, bisa jadi saat melintas di jalan lain, peserta tersebut melantunkan salawatan, sementara saya tidak tahu. Karena festival itu start di alun-alun dan finis di depan kantor NU cabang Tuban di Jalan Diponegoro.

Yang lain-lain? Sama. Tidak ada yang berubah. Gaya berpakaian peserta juga masih seperti itu dari tahun ke tahun. Gaya geraknya juga masih sama. Musiknya juga masih monoton seperti yang dulu-dulu. Ya, begitulah tongklek yang mampu menyedot ribuan orang yang begadan di pinggir jalan.

Selain untuk melestarikan kebudayaan dan tradisi, festival tongklek adalah untuk syiar keagamaan. Bahwa ada budaya adiluhung yang bisa menyelam di dalam kegiatan lembaga atau organisasi kemasyarakatan pemuda yang berbasis agama, NU tegasnya.

Barangkali panitia mulai berfikir untuk mengubah konsep acaranya. Misalnya, untuk membuat peserta kreatif, peserta boleh membawakan lagu-lagu dan aransemen musik dangdut, atau lagu apapun yang ditongklekan.

Namun, syairnya harus diubah, harus digubah menjadi syair yang berisi ajakan untuk kebaikan. Semacam puji-pijian yang dilantunkan di musala atau surau di kampung-kampung saat menunggu imam salat datang itu lo.

Atau barangkali ada ide atau konsep lain yang bisa diterapkan, agar festival tahun-tahun ke depan semakin punya greget dan berkualitas. Tidak sekadar tetabuhan dan nyanyi dangdut.

Agar, para pemusik tongklek itu juga biasa menggubah atau bahkan mahir mengarang lagu. Bisa membuat aransemen musik sendiri. Sehingga mereka produktif, berkualitas dan mungkin bisa menghasilkan. Selain untuk melestarikan budaya. Juga syiar Islamnya dapat. Wallahu a’lam.[*]