Uangku Sayang Uangku Hilang

Penulis: Edy Purnomo
 
blokTuban.com – Masih ingat Zaid? Santri yang di kisah sebelumnya mengalami malam Jum'at kelabu. Dia gagal keluar pondok pesantren karena seperti melihat bayangan sang Kiai di teras depan dan belakang pesantren dalam waktu yang hampir bersamaan.
 
Zaid kali ini, meski nama dan hobinya hampir sama, tapi orang yang berbeda. Sama-sama santri, meski di pesantren yang berbeda.
 
Singkat cerita, Zaid dan tetangganya, Burhan, nyantri di salah satu pondok pesantren di pinggiran kota Tuban. Selayaknya santri yang belajar, dia selalu mendapat pesangon uang bulanan dari orang tua setiap kali pulang ke rumah.
 
Awal bulan di pertengahan tahun 2000, betapa senangnya hati Zaid. Dia mendapat jatah pesangon sampai Rp 150 ribu. Jumlah yang cukup banyak untuk mencukupi kebutuhan hidup santri kala itu. Apalagi harga makanan dan kebutuhan di lingkungan pesantren terkenal sangat murah, terutama kalau si santri mau memasak sendiri.
 
Sebagai perbandingan: harga mie ayam dan es teh sekarang seharga Rp 8.000, saat tahun 2000 untuk porsi yang sama bisa dibeli cukup dengan uang Rp 1.000.

Perbandingan lain, sebungkus nasi pecel sekarang seharga Rp 3.500 di desa-desa saat itu bisa dibeli dengan harga Rp 400. Satu lagi perbandingan harga rokok othek’an (eceran) masih Rp 100 perbatang. Hehehe...
 
Uang saku yang bertambah dari orang tua membuat dia kembali ke pesantren dengan dengan suka cita. Merasa memegang duit banyak, ditraktirlah beberapa teman sekamarnya, termasuk Burhan.
 
"Habis ini ikut saya yuk," kata Zaid kepada Burhan yang menemaninya makan.
 
"Kemana Kang?" tanya Burhan.
 
"Jalan-jalan ke kota. Sekalian lihat bioskop. Nanti ijinnya ziarah ke makam wali saja," ucapnya berbisik. Takut didengar teman santri yang lain.
 
Menonton bioskop merupakan larangan keras bagi santri saat itu. Terlebih di Tuban hanya ada satu bioskop yang lebih sering memutar film Indonesia khas akhir tahun 90'an: dengan adegan-adegan yang perlu banyak disensor.
 
Burhan yang awalnya enggan mengikuti rencana Zaid akhirnya tertarik. Agar bisa keluar mereka nekat meminta ijin berziarah ke makam salah satu wali di Tuban kepada pengurus pondok.
 
Ijin didapat karena mereka pintar cari alasan. Melancong yang dibungkus dengan ziarah itupun dilakukan. Mereka naik bus agar sampai ke tempat tujuan dengan cepat.
 
Karena tidak mau 100 persen berbohong, dua santri ini memang benar-benar berziarah meski hanya sebentar. Selesai makan, uang di kantong Zaid masih sekitar Rp 120 ribu. Masih sangat cukup untuk membeli tiket bioskop berdua, makan, dan biaya hidup selama satu bulan ke depan ketika kembali ke pondok pesantren.
 
Saat yang paling ditunggu tiba. Mereka berjalan kaki ke bioskop yang berjarak setengah kilometer dari alun-alun Tuban. Setelah membeli tiket, mereka masih sempat mengisi waktu dengan bermain video game.
 
Waktu pemutaran film tiba. Adegan film yang terkadang diselingi dengan adegan syur mereka nikmati dengan seksama. Waktu 90 menit pemutaran film itupun seperti hanya 5 menit saja bagi keduanya.
 
“Walah cepet sekali ya filmnya. Ayo beli es dulu sebelum naik bis kembali ke pondok,” kata Zaid.
 
Tapi dia merasa aneh ketika memeriksa kantongnya di sela minum es dawet. Uang yang ada di saku semestinya masih tiga lembar kini tinggal dua lembar. Apalagi yang hilang adalah lembar yang berwarna merah bernilai Rp 100 ribu.
 
“Duh. Uangku kemana ya?” Zaid mulai panik. Membongkar isi saku dan juga tasnya.
 
Saku demi saku baju dia periksa. Kantong demi kantong di tas dia buka. Isi tas dia muntahkan ke tanah dan masih belum ketemu lembaran merah yang paling berharga saat itu.
 
Segigih apapun Zaid dan Burhan mencari, uang itu tidak kunjung ditemukan. Bahkan bolak-balik ke bioskop. Es dawet yang semula nikmat itu kini terasa hambar. Perjalanan yang awalnya ceria berakhir dengan hal yang tidak menyenangkan.
 
“Apa kita kuwalat ya? Ijin ziarah gak langsung pulang tapi mampir dulu ke bioskop,” kata Zaid menyesal. Membayangkan kebutuhan hidup di pesantren selama satu bulan ke depan.
 
Nasi sudah menjadi bubur. Akibat melanggar larangan, awal bulan yang dijalani dengan gembira, harus diganti dengan mengencangkan ikat pinggang sebulan setelahnya.(*)
 
*Cerita diolah berdasarkan kisah nyata
Selama bulan puasa redaksi blokTuban.com mengangkat kisah, cerita, dongeng, nasehat dan tradisi yang didapat dari pondok pesantren. Kisah bisa didapat dari penuturan santri, kyai, ataupun sumber-sumber lain.