Upaya Guru Melawan Teroris

Oleh: Usman Roin*

Tragedi serangan bom di Surabaya (13/5/2018), dan rentetan yang terbaru, memantik semangat bersama untuk tidak takut kepada teroris. Bahkan secara khusus tagar (#) kamitidaktakut didengungkan sebagai pengobar semangat agar segenap elemen masyarakat tidak ciut nyali terhadap teroris. Tagar ini juga dalam rangka mengkonsolidasikan segenap elemen tak terkecuali para guru bersatu padu melawan teroris di bumi NKRI ini.

Kontribusi guru dengan adanya peristiwa terorisme ini bagi penulis bisa diwujudkan kala pembelajaran berlangsung. Mengutip Oemar Hamalik (2009:27), guru merupakan key person dalam kelas. Ini artinya, guru adalah pribadi yang memimpin dan mengarahkan kegiatan belajar, hingga yang paling banyak berhubungan dengan peserta didik dibandingkan personel sekolah lainnya.

Terkait pengaruh guru terhadap peserta didik, hasil penelitian Boynton menarik untuk diperhatian. Penelitiannya terhadap 73 kelas di sekolah dasar yang melibatkan sejumlah peserta didik kelas 5 dan kelas 6 menghasilkan, bahwa peserta didik yang dibimbing oleh guru yang memiliki kesehatan mental yang baik, memperlihatkan stabilitas emosi yang lebih tinggi, daripada para peserta didik yang dibimbing oleh guru yang mentalnya kurang sehat. Jika demikian, kesehatan idiologis psikis guru perlu diperhatikan agar jangan sampai memberikan pembelajaran yang menyimpang, amoral dan jauh dari nilai-nilai hidup beragama dan berbangsa.

Oleh karena itu, keberadaan guru utamanya guru PAI sangat ditunggu kiprahnya guna memberikan pemahaman ajaran agama yang lurus secara psikis. Yakni, ajaran agama yang wasathiyah (moderat), dan bukan ajaran agama yang keras atau radikal. Tentu, ajaran agama yang moderat secara psikis akan bisa diterima dengan baik oleh peserta didik, bila pembelajar guru tidak sekadar transfer of knowledge. Melainkan, dengan kesungguhan hati melaksanakan pembelajaran secara profesional, guna mencetak peserta didik berkarakter yang punya toleransi tinggi terhadap sesama dan senantiasa cinta Indonesia.

Melalui tragedi bom tersebut, di sinilah guru sebagai pencetak pribadi berkarakter perlu mengambil peran. Tidak lari dari tanggung jawab, apatis terhadap ancaman negara, melainkan terketuk hati untuk menanamkan idiologi baik agama serta negara secara benar. Jika itu dilakukan, tentu ini akan memberikan pesan bahwa generasi masa depan sudah dipersiapkan dalam rangka cinta NKRI dan siap berpartisipasi menghalau segala hal yang berpotensi memecah belah idiologi bangsa. Oleh karena itu, wujud peran guru melawan terorisme, bagi penulis bisa dilakukan antara lain dengan:

Pertama, memperhatikan buku materi buku ajar. Ini memberi maksud, guru utamanya PAI perlu menyortir dahulu buku pegangan pembelajaran. Tujuannya, agar secara kreatif guru melakukan upaya deteksi dini konten-konten materi pembelajaran yang dirasa mengarahkan pada pemahaman yang radikal. Bila ditemukan, guru bisa segera mengganti dengan buku pegangan lainnya yang memiliki pemahaman secara benar, komprehensif arti beragama dan berbangsa.

Kedua, mengarahkan pada situs yang benar. Artinya, saat guru mengasih pekerjaan rumah (PR), konten PR yang diberikan lewat browsing juga perlu diarahkan pada website yang moderat. Bukan website yang justru menyebarkan ujaran kebencian bahkan mengajak pada disintegrasi bangsa. Untuk mendapatkan hal ini, di sinilah guru perlu melek informasi, mana website yang berpotensi membuat ujaran kebencian, provokatif, hingga yang benar-benar pemecah belah umat.

Bila mengutip hasil penelitian Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial (PSBPS) Universitas Muhammadiyah Surakarta bersama Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta 2017 pada uinjkt.ac.id ditemukan, bahwa situs organisasi Islam arus utama (NU Online dan Suara Muhammadiyah) lah yang memproduksi narasi-narasi yang menekankan pentingnya integrasi umat, pesan yang menyejukkan, dan membawa pesan Islam yang rahmat bagi semua.

Ketiga, mengaplikasikan sikap toleransi. Artinya, guru perlu mengkonkretkan sikap cinta, hormat menghormati, semangat gotong royong riil ke peserta didik diluar pembelajaran. Tidak lain agar tergambar secara nyata, bahwa sikap cinta damai itu bukan sekadar pengetahuan, retorika, melainkan praktek nyata yang ending-nya melahirkan sikap hormat menghormati kepada semua orang. Hal itu bisa dilakukan salah satunya lewat metode pembelajaran sosiodrama atau lainnya yang mengambil lakon pentingnya kasih sayang dengan sesama. Dasarnya sabda Rasul, riwayat Imam Bukhari dan Muslim, bahwa “Seseorang belum dikatakan beriman sehingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya.”

Keempat, FGD radikalisme untuk guru. Artinya, berbagai informasi potensi dan perkembangan terorisme perlu diketahui oleh para guru sebagai satu bentuk antisipatif deteksi dini di lembaganya masing-masing. Maka, agar guru juga responsif terhadap bahaya terorisme, BNPT atau FKPT perlu memberikan informasi secara ditail melalui kegiatan khusus agar upaya penanggulangan terorisme bisa terwujud bersama-sama dari lembaga pendidikan.

Akhirnya, peran guru untuk ikut mengintegrasikan bangsa melawan teroris hari ini sangat ditunggu. Salam #gurutidaktakutteroris.

*Penulis adalah guru Jurnalistik & Humas Bidang Media SMP IT PAPB Semarang.