Menstruasi, Persepsi dan Literasi

Oleh: Sri Wiyono

Gara-gara menstruasi menimbulkan kegaduhan. Ya, beberapa grup whastapp (WA) yang saya ikuti ramai-ramai membahas menstruasi. Itu berawal dari soal ujian sekolah berstandar nasional (USBN) SD yang digelar Sabtu (5/5/2018) lalu.

Pada hari terakhir USBN di mata pelajaran (mapel) Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) ada soal ujian yang menurut sebagian kalangan kurang pantas. Soal nomor 40, atau soal terakhir dari mapel IPA yang harus dikerjakan siswa itu berbunyi begini : ‘’Tuliskan 2 cara menjaga kesehatan organ reproduksi perempuan saat mengalami menstruasi’’

Dan, tanggapan pun beragam. Saya yang kebetulan menjadi anggota Dewan Pendidikan juga banyak menerima pengaduan, kalau itu tak bisa disebut komplain. Beberapa kawan sesama wartawan pun juga meminta statemen resmi dari Dewan Pendidikan. Belum lagi pendapat-pendapat lain yang berseliweran.

Di grup WA Dewan Pendidikan pun hal itu menjadi bahan diskusi yang hangat. Juga di grup lain yang tak kalah serunya, diskusi terkait munculnya soal tersebut. Ada beberapa grup yang serius diskusinya, pun tak kurang yang diskusi diselingi selengekan, jayah....!

Kawan saya yang lulus S2 dan ada embel-embel Master Agama (Mag) di belakang namanya, sempat angkat bicara. Kebetulan kawan saya ini berlatarbelakang santri. Dia jebolan pesantren dan sampai sekarang masih bergelut dengan dunia kepesantrenan.

Dia menilai tidak ada yang salah dari soal USBN nomor 40 itu. Kemudian dia membandingkan dengan pelajaran di Madrasah Ibtidaiyah (MI), yang setingkat SD. Di sana siswa sejak awal sudah dikenalkan dengan pelajaran fiqih, yang salah satu bahasannya ada soal bersuci. Dan menstruasi, yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) disebut datang bulan atau haid adalah hal biasa dibahas.

Bahkan, dalam fiqih disampaikan sedetail mungkin, sampai bagaimana cara bersucinya agar memenuhi syarat bersuci perempuan yang usai haid. Pelajaran itu untuk seluruh siswi dan siswa. Artinya, para cowok pun menerima pelajaran yang sama.

Lho kok cowok juga harus tahu soal bersuci tersebut? Ya, karena cowok bisa mengajari saudarinya, mengajari istrinya, dan mengajari anak-anaknya kelak. Terlebih di kalangan santri, bahasan yang (maaf) rada berbau porno itu, sudah menjadi makanan sehari-hari saat kitab yang dikaji membahas perkara tersebut.

Dan, di grup WA yang anggotanya sebagian besar pernah nyantri menanggapi hal itu dengan banyak guyonan. Tentu saja, guyonan khas santri yang tentu saja cemer hahaha....dasar....
Namun, ada juga grup WA yang rada serius membahasnya. Ada analisis dan argumen yang ilmiah. Ada juga kawan yang kemudian mengunggah foto buku-buku pelajaran IPA kelas VI SD yang membuat bahasan soal organ reproduksi perempuan dan cara menjaga kebersihannya.

Seru ! Iya seru ! Dan, pendapat kawan-kawan anggota grup itu pun bisa dilihat. Jika yang pernah nyantri menanggapi dengan santai, pertanyaan dalam soal itu tak masalah. Namun, untuk yang tak biasa dengan kata-kata itu, menganggap pertanyaan dalam soal itu berlebihan. Tidak patut, tidak pantas dan tabu.

Bisa dipahami. Karena ini soal persepsi. Tergantung dari mana orang melihat. Bagaimana memersepsikan pertanyaan dalam soal tersebut. Karena masing-masing pihak mempunyai argumen dan alasan sendiri atas persepsi yang dia sampaikan.

Jadi, ketika ada yang menganggap pertanyaan itu tidak pantas muncul, sah-sah saja. Mereka beralasan, belum pantas siswa SD menerima pertanyaan seperti itu. Pertanyaan itu juga bukan untuk soal ujian, karena dianggap itu pertanyaan yang bersifat khusus, pribadi.

Karena ada sebagian masyarakat yang masih memegang adat ketimuran, yang memersepsikan ‘urusan dapur’ itu sebagai hal yang tabu untuk diungkap atau dibicarakan secara terbuka. Meski dalam buku pelajaran sudah ada bahasan tersebut, namun di benak sebagian masyarakat ini masih memersepsikan itu tabu untuk dibahas.

Di dalam berita, Dinas Pendidikan Kabupaten pun angkat bicara. Kepala Bidang Pendidikan SD yakin bahwa soal USBN yang dibuat Dinas Pendidikan Provinsi itu sudah layak. Proses panjang harus dilalui sebelum soal ujian itu sampai ke siswa untuk dikerjakan.

Sang Kabid menilai, pertanyaan dalam soal USBN itu sebagai upaya untuk menilai standar kompetensi siswa. Meski dia juga mengaku banyak menerima komplain atas soal tersebut. Ada yang menilai bias gender, tidak patut dan sebagainya.

Yang tak kalah seru adalah diskusi di facebook, saat ada kawan wartawan yang ngeshare beritanya. Ada pendapat yang ilmiah, bijaksana dan membangun. Namun, tak kurang yang asal njeplak, selengekan, ngawur dan terkesan asal komen saja....hehehehe

Ada juga yang menganggap bahwa perdebatan itu hanya soal diksi, atau pilihan kata saja. Maka tak produktif jika diksi itu diperdebatkan. Diksi adalah gaya atau selera penulisnya mau memilih kata apa dalam tulisannya.

‘’Hanya wartawan yang suka berliterasi dan suka membaca yang diksinya banyak’’ begitu salah satu wartawan senior berkomentar di sebuah grup WA ketika perdebatan sudah begitu panjang. Membaca adalah amunisi untuk menulis. Semakin banyak buku dilahap, semakin siap dan semakin banyak bekal untuk menulis. Semakin banyak amunisi dikantongi, semakin mudah menundukkan sebuah tulisan.

Oh ya, Kamis (5/5/2018) lalu ada Gerakan Nasional Orangtua Membacakan Buku untuk Anak (Gernas Baku). Gerakan itu dilakukan serentak di seluruh Indonesia. Orang tua yang mempunyai anak masih di pendidikan anak usia dini (PAUD) beramai-ramai membacakan buku untuk anak-anaknya.

Ah, alangkah indahnya. Pagi-pagi saya menerima banyak kiriman foto melalui WA dari para Kader Literasi program Pertamina Peduli Literasi (PERTALIT). Ya, program yang digagas Pertamina MOR V Jatimbalinus dan Yayasan Sedulur Pena (YSP) itu memang sedang membangun literasi di Kecamatan Jenu.

Sementara masuk dua desa dulu, Desa Tasikharjo dan Remen. Perpustakaan desa dan seluruh sekolah di dua desa itu digarap. Disiapkan sumber daya manusia (SDM) nya, dibangun sistemnya, dan segera dibantu insfrastrukturnya. Hasilnya, 20 Kader Literasi didapat. Mereka sudah dilatih dan aktif komunikasi serta koordinasi di grup WA.

Mereka sangat bersemangat. Sebagian mereka adalah guru, mulai PAUD sampai SMK. Sebagian yang lain adalah perangkat desa. Mereka bermimpi menjadikan minimal desa dan sekolah mereka sebagai basis literasi. Lahirnya desa dan sekolah literasi adalah mimpi mereka. Semoga. Terserah Anda mau memersepsikan apa ahihihihi.... Wallahu a’lam.(*)