Perempuan Dalam Ingatan/Keping Ingatan III

Penulis: Yoru Akira

Semesta Kenzo

Lelaki itu menangkap perubahan wajah Kanya. Tepat saat dia bercerita tentang belajar Bahasa Indonesia dari sang kakek. Raut tidak suka begitu kentara hingga membuat Kenzo tak tahu harus berbuat apa. Untung pesanan yang datang mampu mencairkan suasana.

"Jadi, Anda ditugaskan untuk meliput Gion Matsuri?" Tanya Kenzo mencari celah. Dia tak mau perempuan berkaos putih kebesaran dengan jeans warna light blue itu menjadi tak nyaman bersamanya.

Kanya menangguk setuju. Dia mengaduk ocean blue miliknya hingga menjadikan warna biru, kuning dan putih minumannya menjadi tak berwujud. Lantas mengambil notebook dari tas ransel kanvasnya.

Baca juga [Perempuan Dalam Ingatan/Keping Ingatan II Bagian 2]

"Sebenarnya ada beberapa tempat yang harus saya tuliskan selain Gion Matsuri. Jika di negaraku pribahasa yang tepat sekali mendayung tiga pulau terlampaui. Begitulah kira-kira."
Wajah Kanya menjadi sangat antusias saat menunjukkan kepada Kenzo rencana liputannya selama satu bulan.

Diam-diam lelaki itu menghela nafas lega. Sebelumnya, Kenzo tidak pernah cocok berteman dengan perempuan mana pun. Menurutnya perempuan terlalu bawel, banyak menuntut dan mau menang sendiri. Bahkan sifat-sifat itu bisa muncul sejak Kenzo mengenal mereka.

Jika Kenzo sedikit beruntung, dia akan bertemu tipe perempuan yang keganjenan kepadanya. Menunjukkan sifat kagum mereka dengan sikap-sikap yang membuat Kenzo muak. Memang secara fisik tak ada cela di wajah maupun postur tubuh Kenzo. Bahkan banyak yang bilang jika dia duplikat aktor muda berbakat yang akhir-akhir ini sedang naik daun. Justru hal itulah yang menjadikannya semakin jengah menghadapi perempuan.

Itulah sebabnya dia malas berteman dengan perempuan. Tapi entah mengapa, berbicara satu jam lebih Kanya menguapkan opininya tentang perempuan selama ini. Kanya perpaduan menarik dari perempuan modern, cerdas, namun tidak meninggalkan kesan klasik dari cara pembawaan sikapnya. Ciri khas penduduk tenggara. Mereka selalu menomorsatukan sopan santun.

"Jadi, kemana tujuan kita hari ini?"

Pertanyaan perempuan di depannya membuat Kenzo tergagap. Jujur saja, Naoki-san hanya memintanya untuk menemui Kanya. Tanpa embel-embel menjadi guide jika perempuan itu ingin mengunjungi suatu tempat. Apalagi sekarang sudah menunjukkan pukul 04.00 sore. Memang bukanlah waktu yang larut untuk sekadar jalan-jalan di sekitar Gion, tempat Kanya menginap saat ini. Ataupun ke kuil Kiyomizudera yang hanya memerlukan waktu beberapa menit dengan bus. Hanya saja, Kenzo sudah berjanji akan menemani Ojii-san petang ini. Bagaimanapun dia tak bisa melanggar janjinya. Meski dia ingin tetap tinggal lebih lama.

"Gomen na, Kanya-san. Saya tidak bisa menemani Anda menikmati Gion saat ini. Ada janji yang harus saya tepati."

Kanya tersenyum malu menanggapi pernyaatan Kenzo. Mungkin dia merasa ditolak. Sebab Naoki-san mengabarkan jika dia bisa meminta bantuan Kenzo jika ingin berkeliling Gion. Nyatanya lelaki itu sudah memiliki janji yang lain.

"Ah, bagaimana jika besok pagi saya menjemput Anda? Saya akan tunjukkan Kuil Kiyomizudare. Lantas kita melihat ritual kippu iri untuk menandai awal Gion Matsuri. Saya juga besok bertugas untuk meliput festival itu. Ah, jangan berpikir Naoki-san akan benar-benar menjadi guidemu. Saya tidak jamin dia bisa meninggalkan pekerjaannya."

Perempuan itu tidak lantas menyetujui tawaran Kenzo. Bagaimana pun dia harus meminta persetujuan Naoki-san. Dia sudah berjanji pada dirinya untuk tidak mudah percaya dengan orang baru dikenal. Meskipun dia anak buah kepercayaan Naoki-san.

Sementara Kenzo menunggu gelisah jawaban Kanya. Diam-diam dia berharap perempuan itu tidak bermaksud menolak tawarannya.

"Ah, nanti saya akan tanyakan pada Naoki-san. Bagaimanapun saya tak bisa seenaknya pergi tanpa meminta izin darinya."

Shit!! Mendengar jawaban Kanya membuat rasa kepercayaan diri Kenzo menurun. Inikah rasanya ditolak? Seumur hidup, lelaki itu tak pernah tahu rasanya ditolak. Dialah yang selama ini sering menolak ajakan kencan teman perempuannya. Baru kali ini seorang perempuan menolak ajakannya. Yah, Kenzo berpikir mungkin inilah karma dari dewa.

***

"Nii-chan , Ojii-san mencarimu."

Shouta, adik Kenzo yang saat ini menyelesaikan studi di Universitas Kyoto, mencegatnya saat mereka bertemu di koridor rumah sakit. Kening Kenzo berkerut. Bukan sebab Ojii-san mencarinya, tapi karena mendapati Shouta di rumah sakit. Lebih herannya lagi, lelaki 19 tahun itu menemui kakek.

Shouta memang tidak pernah akur dengan Himura-san. Sejak dia dipaksa kakeknya menjadi chigo-salah satu peran penting dalam Gion Matsuri- saat berumur 10 tahun. Itulah mula hubungan kakek dengan cucu mulai menjauh. Apalagi Shouta juga menolak untuk menjadi komaru yang bertugas mendampingi chigo. Semakin murkalah sang kakek kepadanya. Dibanding kedua sauadaranya yang lain, Shouta memang tumbuh sebagai anak pemberontak. Mungkin karena dia anak terakhir dan tumbuh dimanja menjadikannya keras kepala.

"Nii-chan, daijoubu ?"

Kenzo tersenyum samar menanggapi pertanyaan adiknya. Bahkan kini lelaki itu tahu cara mengkhawatirkan kakaknya. Refleks, Kenzo mengacak-acak rambut Shouta yang dibiarkan tumbuh melewati tengku. Menyebabkan Shouta uring-uringan lalu meninggalkan Kenzo yang masih tertawa.

"Kau bertemu adikmu?" tanya Ojii-san saat Kenzo memasuki ruang inap kakeknya.

"Iya Jii-san. Apakah dia merepotkanmu?"

Lelaki tua di tempat pembaringan itu menggeleng lemah. Sementara alat-alat kedokteran masih menempel di tubuhnya. Suara dengung alat-alat mengisi jeda sunyi di antara mereka. Sebenarnya ada hal yang ingin Kenzo tanyakan. Tapi, sudahkah kondisi kakek lebih baik? Kenzo tak bisa menunggu lebih lama kapan waktu yang tepat menurut Izumi-sensei.

"Ada yang menganggu pikiranmu, Ken?"

Kenzo menggeleng. Detik berikutnya lelaki itu mengangguk. Sedang kakeknya tersenyum. Diantara ketiga cucunya, Kenzolah yang paling dekat dengannya. Selain cerdas, dia juga tumbuh sebagai lelaki yang patuh. Tak pernah sekali pun membantah ucapan kakek, bahkan kedua orang tua dan kakaknya. Pembawaannya yang tenang menjadikan siapa saja langsung menyukainya. Meski kadang muncul sifat iseng yang membuat orang lain tak ingin bicara panjang lebar dengannya.

"Jadi, apa yang mengganggumu?"

Kenzo menghela nafas panjang. "Ojii-san. Hufftt... Kenapa sih Ojii-san betah sekali di sini? Tidak capek?"

Pertanyaan Kenzo membuat lelaki tua itu tersenyum lebar.

"Bagaimana kalau kau minta izin Izumi-sensei biar aku bisa pulang? Kau pikir aku tidak ingin tidur di ranjangku yang empuk?" Runtuk kakek membuat Kenzo tertawa. Bukan, bukan ini yang diinginkan. Kenzo ingin tahu kebenaran tentang "dia". Sosok yang disebut kakek dalam tidurnya. "Kau ingin mendengarnya?"

"Eh, nani?" Pertanyaan heran meluncur dari mulut Kenzo menyadari perubahan mimik wajah Ojii-san. Lelaki tua itu seolah menembus batinnya dan membaca apa yang dia pikirkan.
"Kau ingin tahu tentangnya bukan? "Dia" bagaimana kau akan mencarinya jika aku tak pernah cerita."

Darah Kenzo berdesir. Detak jantungnya mulai tak beraturan saat kakek menghela nafas. Lelaki itu terlihat kaku mengatur tempat duduknya. Ia menggeser kursi plastik di samping ranjang kakek untuk lebih dekat. Sungguhkah ini tindakan benar yang dilakukan? Sementara, daun telinga Kenzo mulai siaga mendengar penuturan Ojii-san.

***

Borneo, 1942

Gadis itu masih terus menari. Meski darah dari selangkangan dan air mata tak juga mengering. Sedangkan tatapan-tatapan liar tentara Nippon memandang buas. Seperti hewan kelaparan. Jika tubuh itu mulai melemah karena menahan isak tangis, seseorang mulai menjejak perut, kaki, maupun bagian lainnya dengan sepatu lars.

"Ranjutkan menari bodoh!" Serapah mereka dalam Bahasa Indonesia yang tak sempurna. Orang-orang timur raya itu, tidak bisa menyebutkan huruf "l" dengan jelas, dan menggantinya dengan konsonan "r".

Tubuh gadis yang belum genap 13 tahun itu bergetar. Menahan rasa sakit dan malu yang berbaur menjadi satu. Bulir-bulir air mata tak kuasa ia bendung. Ia terus menari dihadapan lima tentara Nippon yang telah melucuti pakaiannya. Mempertontonkan lekuk tubuh telanjang setelah mereka menggilirnya seperti boneka.

"Asu, kau tak pernah diajari menari?" Bentak salah satu prajurit berbadan tambun. Dia memiliki kemampuan berbahasa Indonesia lumayan layak dibanding lainnya.

"Ah, ah, aku tahu cara membuatnya menari dengan benar."

"Hahaha... Apa yang akan kau lakukan Himura-san?"

Lelaki itu, prajurit yang terlihat gagah dengan paras tampan dibanding empat temannya- Himura Yamada, berjalan mendekati sang penari. Dia berdiri di belakang si gadis dan membentangkan kedua tangannya. Dengan gerakan erotis prajurit itu meliukkan tubuh sang penari. Keempat kawannya tertawa girang sambil menegak bir langsung dari botolnya. Melihat adegan hot Himura dan sang penari, keempat prajurit tergugah lagi nafsu seks mereka. Dengan buas mereka memperkosa si gadis sampai pingsan.

Selesai

Catatan kaki:
- Nii-chan = Onii-chan : kakak laki-laki. Gelar kehormatan –chan menunjukkan panggilan kesayangan.
- Kakak tidak apa-apa?