Renungan Khayali Teknologi

Oleh: Usman Roin *

blokTuban.com - Dunia hari ini sudah bisa dibilang sempit, apalagi akhir-akhir ini makin tidak terbatas alis nir sekat. Walau hakekat keberadaan antar manusia berbeda tempat, namun kehadirannya serasa dekat ada di depan kita. Sampai-sampai kemanjaan kita sebagai manusia bisa terjadi hanya dengan berada di tempat, kegilaan dengan cara tertawa sendirian bisa dilakukan hanya dengan duduk manis saja. Maka pada porsi ini seakan-akan kita sulit membedakan antara yang gila beneran dan gila jadi-jadian.

Itulah penggambaran riil bila kita sudah berkutat pada teknologi. Semua seakan-akan menjadi dekat, mau dicaci yang jauh jadi dekat, keinginan menumpahkan perasaan jadi mudah, tanpa memikir bagaimana kalau hal itu kemudian dibaca publik.

Apalagi, bicara orang masa kini tidak ada yang bodoh bila penulis boleh menyebut, melainkan pintar dan melek teknologi semua. Mulai dari anak kecil hingga kakek-nenek walau dengan kadar penguasaan yang berbeda-beda.

Namun, seiring dengan kemajuan bisa mempergunakan dan menguasai teknologi tersebut ternyata ada yang dilupa. Yakni, seberapa besar mereka peka menjaga perasaan ketika bait demi bait tulisan yang dibuat, kemudian diposting hingga akhirnya dibaca banyak orang.

Pada porsi ini, banyak orang tak memikirkan hal itu. Justru kalau kita mau belajar sebagai orang yang bijak berbahasa tentu akan bisa memilah-milah mana postingan yang bernada perasaan, emosi dan motivasi hingga kesedihan atau berupa kritik sosial. Mana yang perlu ditumpahkan dan mana yang hanya perlu disimpan saja dalam catatan pribadi harian.

Menggambarkan hadirnya teknologi bagi penulis, tidak terasa sudah semakin meraba-raba diri. Kita seolah-olah menjadi manusia emosional yang kerap menumpahkan segalanya pada sosial media (sosmed). Ironisnya hal itu banyak yang luput tanpa etika lagi. Lalu apa gunanya sekolah tinggi-tinggi kalau secuil etika tak pernah diimplementasikan dalam mempergunakan teknologi secara bijak?

Atau jangan-jangan kita makin terbelakang secara naluri dengan hadirnya kemajuan teknologi yang justru semakin melesat jauh ke depan seiring dengan kecanggihannya. Sehingga menyebabkan kita tidur dan dininabobokkan dengan hadirnya teknologi hingga akhirnya menjadi tidur beneran bersamanya.

Bentuk penggambaran lainnya, kemalasan hari ini kian merajalela. Pekerjaan yang dalam satu jam bisa diselesaikan, waktu satu hari pun dirasa kurang untuk merampungkannya. Lalu apa lagi penyebabnya bila bukan karena teknologi?

Mungkin tulisan kecil ini adalah sentimen subjektif negatif penulis pada teknologi. Supaya kita sadar bahwa teknologi yang kita genggam bila digunakan dengan baik hasilnya juga bisa dipastikan baik. Dan bila digunakan secara over, alhasil malah akan membuat kelumpuhan diri kita secara lahiriah yang tanpa diduga. Namun anehnya, banyak yang tak merasa apalagi menyadari hal itu, alhasil hanya bisa taubat sesaat kemudian kambuh lagi.

Oleh karena itu, rasa untuk membatasi melawan derasnya kemajuan teknologi garis besarnya terletak pada naluri kita. Mau melayani yang jauh namun dekat karena teknologi atau malah melupakan yang terdekat namun seperti jauh di sana bahkan ironis tak terlihat. Disamping itu, memprioritaskan hubungan kemanusiaan dan memfungsikan teknologi sebagai alat bantu adalah cara bijak agar kita tidak menjadi candu kecanggihannya dan menjadi lupa segalanya.
So, semua itu berpulang pada kita untuk bijaksana menggunakannya.

* Penulis adalah Koordinator Devisi Komunikasi & Hubungan Media Majelis Alumni IPNU Bojonegoro dan Mahasiswa Magister PAI UIN Walisongo Semarang.