Secangkir Kenangan

Selamat datang. Kau bisa menikmati secangkir kenangan di tempat ini. Mau robusta, arabica atau pilihan rasa sesuai selera. Kami bisa menyajikan yang terbaik. Sebab, tidak semua kenangan pahit. Meski kau tak bisa menghindarinya.

Penulis: Yoru Akira*

blokTuban.com - Seorang pria menyambutku. Namanya Pak Kanang. Dia pemilik kedai kenangan. Pawakan tegap. Tingginya rata-rata orang Indonesia dan kau bisa mencium aroma uang dari badannya. Sedang di salah satu meja, secangkir kenangan masih mengepulkan uap. Menggodaku untuk meraup aromanya lebih banyak.

Kami sengaja bertemu. Aku mendengar namanya dari seorang teman. Katanya dia peracik kopi terbaik di kotaku. Sedang pekerjaanku sebagai jurnalis mendorong untuk berbincang dengannya. Meski, ada hal lain membuatku goyah untuk melangkah. Sebab kata orang, kau tak bisa menikmati kopi tanpa kenangan.

Ya, kenangan. Kopi dan kenangan bagiku sama halnya seperti dua sisi mata uang. Kau tak kan bisa menggunakan uang itu bertransaksi jika bagian lainnya hilang bukan. Itu berarti uangmu hasil photo copy. Begitu juga peran kopi dan kenangan dalam hidupku. Mereka menu satu paket yang biasa ditawarkan restoran fast food.

“Silahkan, saya tidak suka minum kopi. Ini khusus tersedia untuk Anda.”

“Terima kasih jamuannya, Pak. Saya pun sebenarnya tak terbiasa minum kopi tanpa kenangan,” guyonku ditanggapi tawa ramah pria itu.

“Ya kalau begitu biarkan saya yang menawarkan kenangan kepada Anda. Bagaimana?”

Aku tersenyum dan memilih bangku di sebelah utara. Sedangkan pria pemilik kedai kenangan duduk di sebelah selatan. Menghadap langsung ke arah Laut Jawa yang hari itu tak hentinya mengamuk. Ombak semenjak pagi menggulung perairan sepanjang 65 km di kotaku.

“Teman Anda yang sering datang kemari juga suka duduk di bangku itu,” tiba-tiba Pak Kanang menawarkan sepotong kenangan.

“Teman?”

“Ya, dia sering bercerita banyak tentang Anda. Bahkan dia betah ngbrol berjam-jam tentang daya pikir Anda.”

Aku tak bisa menangkap arah sepotong kenangan penawaran Pak Kanang. Pernyataannya menyisakan tanda tanya. Siapa teman yang dengan iseng membicarakan aku tanpa kehdairanku di antara mereka. Belum juga ketemukan jawaban sampai pria itu tersenyum ramah.

“Mungkinkah Anda melupakannya? Saya kira tidak. Dia selalu memuji tulisan Anda dan tak pernah bosan menunjukkannya pada saya.”

Ahhh... sempurna.

“Kau harus menulisnya,” suatu hari Ken mendatangi kantorku dan berteriak lantang. Ia tiba-tiba mengetuk tempurung otakku. Membentuk gilasah yang membawaku ke tempat ini.

“Apa?”

Pria keturunan Jepang-Jawa itu tak juga menjawab pertanyaanku. Dia justru sibuk mencari sesuatu dari tasnya. Lantas melempar sekantong kopi bubuk dengan label lokal. Matanya berbinar ketika bercerita tentang kedai kopi yang tak sengaja dia kunjungi. Bahkan aku heran, sejak kapan dia doyan kopi hitam.

“So, apa alasanmu ngotot aku harus menulisnya?”

“Ratri, kamu tahu ‘kan semua orang pasti suka kopi. Kau juga begitu. Kenapa kau masih mencari alasan untuk menulisnya.”

“Aku sibuk, lain kali aku akan ke sana,” janjiku waktu itu.

“Kau berhutang kepadaku.” Dia tersenyum lebar sebelum meninggalkan kantor tempatku bekerja.

Aahhh... kenangan serupa inikah yang ingin Pak Kanang tawarkan? Sepertinya aku tak perlu menyambutnya jika dia bermaksud memberiku penawaran tentang Ken.

“Saya ingat, akan selalu ingat. Terkadang dia juga yang memaksa saya minum kopi hanya untuk secangkir kenangan. Mengenangnya.”

Pernyataan itu meluncur begitu saja dari mulutku. Raut muka Pak Kanang berubah seketika. Sesal membayangi wajah pria setengah baya itu.

“Maaf jika perkataan saya membuat Anda merasa tak nyaman.”
Aku tersenyum. “Bukankah di sini menyediakan berbagai jenis kenangan, Pak? Anda tak perlu meminta maaf.”

“Kafein bisa membuat pikiran Anda menjadi rileks. Saya sungguh minta maaf sudah memberikan kenangan yang tidak sesuai selera.”

Kuturuti saran Pak Kanang. Aroma robusta jawa mix andalan pesisir utara terasa lembut. Merilekskan saraf-saraf otakku yang semula tegang. Suasana dingin pun mencair bersama tegukan pertama dari cangkir kenanganku.

“Jadi, bisakah Anda menawarkan kenangan lainnya kepada saya?”
Sebuah pena dan note kecil menyambung tujuanku datang ke tempat ini.

“Darimana saya harus bercerita?”

“Anda bisa mulai memberi saya kenangan tentang awal mula mengembangkan bisnis kopi ini,” kataku mencoba tersenyum. Meski ada kenangan lain terus mendesak dari dalam tempurung otakku.

Lama Pak Kanang termenung. Lantas bercerita tentang mulanya dia memilih bisnis kopi. Katanya, semua tak luput dari kebiasaan meminum kopi orang Indonesia. Bahkan warung-warung kecil pinggir jalan pasti menyediakan menu minuman jenis ini. Mulai kopi bubuk asli, sampai produk-produk instan yang saat ini marak diiklankan.

Bersama istrinya, dia menggoreng serta menumbuk sendiri biji-biji kopi pilihannya. Dengan modal awal yang mulanya tak pernah dia bayangkan bakal berkembang. Sebagai awal usaha, dia mulai merintis dengan menjualnya di toko-toko sekitar tempat tinggal. Lantas usahanya berkembang. Permintaan kopi miliknya semakin meningkat.

“Saya dengar penjualannya saat ini sudah ke berbagai provinsi ya, Pak?”

Senyum ramah mengembang dari bibir pria setengah baya itu. Sebagai jawaban dia mengangguk mantap. Lalu menyebutkan berbagai provinsi yang mendapat pasokan kopinya. Sedang aku sibuk menyalin di atas note kecil.

Aku tak bisa mempercayai ingatanku sepenuhnya sekarang. Ada hal-hal yang mudah sekali terlupakan. Bahkan dalam hitungan detik. Dan aku semakin melupakan ketika mencoba mengingatnya. Haruskah aku melupakan informasi penting untuk bahan tulisanku? Tidak bukan. Lucunya, aku tak perlu mengingat untuk kenangan.

“Oh ya, Pak. Jenis kopi apa saja yang Anda tawarkan kepada konsumen?”

“Saya menjual dua jenis kemasan kopi, ekonomis dan premium. Biasanya jenis ekonomis untuk daerah lokal dan sekitarnya. Jenis premium saya kirim sampai ke Yogyakarta, Banjarmasim, Semarang, Jakarta, serta beberapa hotel terkenal. Sedang produk kopinya ada jenis robusta mix, arabica mix, robusta bland arabica, dan robusta jawa.”

Aku selesai menyalin obrolanku dengan Pak Kanang saat dua orang mengunjungi kedainya. Dari logatnya mereka bukan orang lokal. Setidaknya salah satu dari mereka. Pria itu memohon izin melayani pengujung. Hari ini kebetulan karyawan penjaga kedainya sedang cuti. Maka haruslah dia menggantikan posisi karyawannya sebagai pramusaji.

“Secangkir kenangan robusta jawa mix. Anda punya saran untuk teman saya? Dia datang dari Yogyakarta.”

“Bagaimana dengan segelas robinson?”

Kuperhatikan pengunjung itu mengangguk setuju. Dia bahkan terlihat senang saat Pak Wibawo menyebutkan salah satu jenis kopi dalam daftar menunya. Saat kembali ke tempat duduk kami, dia berbisik pelan. Daerah menunjukkan selera.

“Saya pernah survei terkait hal ini. Orang pesisiran utara lebih senang jenis-jenis robusta jawa mix. Kalau daerah selatan lebih bergairah. Kopi robinson cocok untuk mereka,” lanjut Pak Kanang yang segera kusalin. Sungguh, aku tak ingin melewatkan sedikit pun penawaran kenangannya. “Ah, rupanya saya akan semakin sibuk sekarang,” sambungnya saat satu rombongan kecil mobil plat D berhenti di tempat parkir.

“Saya bisa tinggal dengan secangkir kenangan yang belum tuntas, Pak. Tak apa.”

“Maafkan saya ya, sambil melayani pembeli.”

“Sungguh, saya tidak apa-apa.”

Melihat Pak Kanang menyiapkan menu, tiba-tiba kenangan itu mengetuk kembali tempurung kepalaku. Entah mengapa, aku tiba-tiba melihat Ken berdiri disampingnya. Mengikuti gerakan Pak Kanang menjerang air, menyiapkan filter, dan mengaduk pelan bubuk kopi dalam cangkir-cangkir kecil. Sesekali Pak Kanang membenarkan posisinya mengaduk kopi. Bahkan ketika berkutat dengan alat pembuat kopi, pria setengah baya itu masih memandunya dengan sabar.

“Ken...”

“Aku ingin mencoba bisnis caffe suatu saat. Menurutmu aku mempunyai bakat seorang barista?”

“Tidak, kau sama sekali tidak cocok dengan jenis pekerjaan di balik meja. Keluyuran saja, ciptakan karya menarik dari balik lensa kameramu, dan gelar pameran selanjutnya. Jujur, kau lebih cocok seperti itu.”

“Sungguh aku tidak cocok jadi barista?”

“Tidak.”

“Padahal aku sudah belajar dari ahlinya.”

“Oh ya, siapa?”

“Kau sudah punya kartu namanya. Kau belum ke sana?”

“Maafkan aku, masih banyak tugas yang belum kuselesaikan.”

“Sungguh Ratri, kau harus mengunjunginya. Kau harus menulis tentangnya.”

Potongan dialog malam itu kini menjadi kenangan. Ah, secangkir kopi dan kenangan adalah dua hal berkaitan bagiku. Aku tak bisa menikmati kopi tanpa kenangan. Kenangan tak akan hadir tanpa minum kopi. Dan kini, kenangan tentang Ken kembali mengusikku. Kenangan yang membawaku mantap menuju tempat ini.

“Pak Kanang, rasanya saya harus mohon pamit. Ada hal lain yang harus saya selesaikan. Terima kasih untuk secangkir kenangan yang sudah Anda tawarkan. Senang bertemu, Anda.”

Aku berpamitan cepat. Tepat saat seseorang mengunjungi kedainya dan mencari-cari tempat kosong. Bahkan sebelum Pak Kanang sempat membalas salamku, aku sudah menghilang dari hadapannya. Mencari secangkir kenangan yang hilang.

Tuban, 17 Juli 2017

*Yoru Akira adalah nama pena dari Sumartik. Aktif menulis cerpen dan puisi. Penulis tinggal di Tuban dan bisa dihubungi melalui sumartik92@gmail.com.