Perempuan, Lipstik dan Pensil Alis

Penulis: Kumaidi/komet*

Masih banyak warna lipstik yang telah diciptakan oleh banyak perusahaan di kota ini. Kenapa warna merah merona yang selalu kau kenakan di bibir mungilmu? Dan beratus warna pensil alis, kenapa kau kenakan yang berwarna hitam. Sementara bulu-bulu alismu sudah berwarna hitam pekat? Arin hanya tersenyum tanpa memberi satu pun penjelasan kepadaku. Mungkin dia malu, seakan enggan untuk menjawab pertanyaanku. Ya. Aku tau jelas bagaimana karakter dia. Baru kali ini memakai peralatan perempuan. Semenjak dia dekat denganku.

Ah, bagaimana hari-hariku saat ini bergumul dengan perempuan yang seperti itu. Dimana-mana aku temukan perempuan beralis pensil dan bibir tebal gincu. Di jalan-jalan, di kafe, dan di dalam room karaoke. Aku merasa dunia ini penuh dengan perempuan-perempuan yang tak luput dari pensil alis dan gincu merah. Hanya dalam rumahku, karena dalam rumahku hanya ada satu perempuan yang tidak mengerti tentang masalah pensil alis dan lipstik. Karena hanya ibuku wanita yang selalu tabah dengan keadaannya. Ya, Ibuku. Ibu yang tabah dengan keadaannya. Berwajah legam pun dia tida peduli.

Seperti biasa, kota yang indah ketika orang yang sibuk dengan belanja di Mall, atau hanya sekadar jalan-jalan dan mampir di kota yang sajian makanannya terlengkap. Mulai kaki lima sampai makanan yang berkelas kaya. Dari yang murah sampai yang termahal juga tersedia dalam kotaku. Malam itu, bersama kawan laki-laki dan perempuanku dengan sengaja kita tetap melakukan jadwal yang seminggu sekali kita bertemu dan membawa cerita yang seminggu lalu mereka baca. Bermacam-macam cerita dan bermacam tulisan yang mereka bawa dalam kafe langganan. Malam itu kita berdikusi tentang teori yang mutakhir dan beberapa karya sastra yang sudah kita baca. Namun ada sebuah keganjilan yang aku lihat dari beberapa teman perempuanku. Ya, keganjilan itu yang menjadi dasar aku memberanikan diri untuk bertanya. Pertanyaan yang akan manjadi alur cerita ini nanti. Pensil alis dan lipstik. “Kenapa dengan pensil alis dan lipstik mas?” Dengan senyum yang agak penasaran Arin kembali bertanya. Lalu aku hanya tersenyum. Dan senyum itu aku sebarkan kepada semua kawan perempuanku. Sehingga nanti tidak dikira aku hanya perhatian dengan satu orang perempuan. Meski dalam satu meja ada beberapa kawan perempuan dan laki-laki yang sedang larut dengan minuman serta diskusinya.

Ah, aku semakin penasaran dengan pensil alis dan lipstik. Perempuan-perempuan yang semakin jelas bibir serta alisnya yang tebal ini. dalam hatiku “kenapa baru sekarang aku bertanya tentang piranti perempuan?” ah, ini menjadi racun dalam pikiranku, tentang perempuan pensil alis dan lipstik. Malam semakin larut, kawan-kawanku sudah terlalu beban dengan rasa ngantuknya. Dan tidak mungkin ini bisa kita lanjutkan. Sementara masih banyak bahan diskusi untuk malam ini. ya, semua bisa dilanjutkan esok ketika kita harus berkumpul kembali. Semua kawan-kawan kembali kehabitat masing-masing dengan pikiran yang terus berfikir, karena hasil diskusi ini tidak ada hasilnya. Memang baru ini kita kumpul lalu kita tidak membuahkan hasil tanpa harus ada yang dibawa pulang. Tidak seperti hari-hari kemarin yang pulang membawa oleh-oleh dari hasil diskusi. Sementara aku saat-saat ini menjadi manusia yang linglung karena aku terus kepikiran yang namanya perempuan, pensil alis dan lipstik. Perempuan-perempuan itu seperti halnya bayanganku sendiri, bayangan yang hidup dalam alam pikiranku.

Sesampainya di rumah, aku cuci muka di kamar mandi, entah mataku ini rabun atau sudah mengantuk. Sabun yang seharusnya aku pakai untuk membersikan muka ternyata wajah-wajah perempuan yang beralis tebal hitam kecoklatan serta bibir yang merah, oranye, kuning, dan warna-warna yang mewarnai sekian bibir itu menempel pada sabun yang akan aku buat cuci muka. Seketika itu aku letakkan sabun itu lalu aku kembali ke kamar dan merenungi tentang apa yang sudah aku alami di kamar mandi tadi. Dengan rasa yang sangat kesal dan lelah aku pun merebahkan tubuhku di atas kasur. Sambil rerebahan antara sadar dan tidak sadar, wajah perempun-prempuan itu kembali hadir di mataku. Oh, wajah-wajah itu muncul dalam remang kamarku, namun aku melihat wajah-wajah itu dengan jelas sangat jelas sekali.

Wajah-wajah dengan pensil alis, serta bibir-bibir yang berwarna-wani lipstik. Seperti wajah topeng-topeng yang bergentangan di awang-awang mata. Wajah-wajah itu tidak asing bagiku. Wajah yang pernah aku lihat. Wajah yang pernah aku temui di perempatan kotaku. Dan wajah-wajah yang pernah aku senggamai. Namun wajah yang ku temu itu tidak mengenakan pensil alis atau mengenakan lipstik. Wajah itu polos tanpa alis dan bibir yang agak kehitaman. Aku jadi takut melihat wajah itu. Wajah yang berpensil alis itu tenyata alis aslinya di cukur dan digantikan oleh alis buatan dari pensil yang beraneka macam warna. Sementara bibir yang tanpa lipstik itu adalah bibir yang hitam keceklokatan kering dan berkerak. Wajah-wajah itu semkin dekat dengan wajahku, aku takut dan ketakutan itu berbuah teriakan yang sangat keras sekeras-kerasnya. Dalam teriakan itu aku memanggil ibuku, iya, nama ibuku yang pertama kali aku panggil tiga kali panggilan dengan suara yang serak. Dengan cepat ibuku membuka pintu kamar dan menyadarkan aku dengan segelas air yang di semprotkan ke wajahku. Dengan rasa kaget yang amat, aku bangun dan melihat jam. Jarum jam mununjukan pukul 07.00 WIB lalu dengan cepat aku bangun dan cepat-cepat mandi lalu berangkat kerja.

Tiba di kantor, dengan rasa ter-perangah ketika aku melihat semua teman kantor terutama yang perempuan. Ya wajah perempuan teman sekantor tiba-tiba berubah seperti wajah-wajah yang tadi malam datang dalam mimpiku. Ah tidak, semua perempuan sudah berubah wajahnya. Wajah yang seperti topeng-topeng. Aku pandangi semua wajah-wajah perempuan temanku sekantor. Dengan mata yang tidak seperti biasa aku pandangi satu persatu.

“Apa sih, lihatin kita terus seperti itu.” Dengan nada yang genit temanku bertanya.

Lalu aku hanya tersenyum dengannya, namun senyumku hanya sebatas senyum yang tidak seperti biasa juga. Sejam kemudian, aku keluar dari kantor dan aku harus pergi ke kota. Karena aku ada janji dengan teman perempuan yang tadi malam sudah aku janjikan untuk makan siang bersamanya. Tiba di kos teman perempuanku. Dia keluar dengan wajah yang putih, tak seperti biasa dia berpakaian dan mack-up yang membuat mataku melotot dan kesemsem padanya. Namun disisi lain, aku takut padanya. Ya, aku takut, entah ketakutan macam apa yang tiba-tiba muncul dalam nyali seorang laki-laki seperti aku. Bersambung...

*Penulis adalah pegiat literasi di Tuban. Aktif di Komunitas Sastra Malam Minggu.