Antara Petir dan Guntur

Oleh: Muhammad A. Qohhar

blokTuban.com - Sepeda motor tahun 1970 terparkir di halaman rumah. Warnanya merah dengan beberapa bagian putih kusam. Spion bulan berdiri tegak seperti orang tengah berdoa masih terlihat mulus. Walaupun sepeda tua, ternyata sang pemiliknya rajin mengurus dan merawat dengan baik. Suaranya pun masih jernih dan hanya sedikit mengeluarkan asap. Artinya mesin juga masih tetap prima.

Sekitar 10 menit motor masih di terdengar suaranya di teras rumah sederhana di tepian Bengawan Solo. Tidak berapa lama, Kang Samin sudah keluar rumah dengan membawa tas plastik warna hitam dan tas cangklong kain biru tua.

"Sabar dimana ya kok lama tidak muncul-muncul. Padahal sudah semakin sore ini."

Kang Samin menuntun motor menuju ke luar teras, tepat di halaman rumah samping pagar kayu bambu warna putih. Ia duduk di jok motor sambil bersiap-siap untuk pergi. Tapi, Kang Sabar yang ditunggunya belum juga tampak. "Jadi ikut tidak ya. Atau ia tidak boleh sama istrinya," gumam Kang Samin dalam hati.

Selang dua menit, dari kejauhan, Kang Sabar tampak tergopoh-gopoh mendekat. Dengan memakai sarung motif kotak-kotak cokelat, baju koko biru tua dan peci putih, ia menenteng kresek hitam. Nafasnya tersengal-sengal. Maklum, usianya sudah tidak muda lagi, hanya terpaut beberapa tahun dari Kang Samin.

"Kang, tunggu lho. Jangan ditinggal," teriak Kang Sabar semakin mendekat.

"Tak kira tidak jadi ikut kamu Sabar, makanya aku sudah siap-siap mau berangkat. Lama sekali persiapannya, seperti perempuan saja," kata Kang Samin sambil tersenyum kecil.

"Maklum Kang, istriku tadi belum selesai masak untuk bekal ini. Jadi lama nunggu siap-siapnya. Apalagi, anakku yang kedua juga mau berangkat ke pondok untuk menyelesaikan kitab kedua selama Ramadan," jawabnya dengan langsung memboceng di belakang Kang Samin.

Motor mulai melaju pelan di jalanan kampus. Tanah lempung berpasir yang dilewati tampak berdebu. Tidak jarang terdapat gundukan tanah yang membuat Kang Sabar di belakang seperti lerlontar ke atas. "Pelan-pelan Kang, jangan ngebut. Pasti sampai Tuban tepat waktu sebelum berbuka puasa." Kang Sabar menegur sambil menepuk pundak sebelah kanan Kang Samin.

"Ealahh, biasanya tukang ojek kan naikknya motor lebih ngebut lagi to. Ini sepeda butut sudah paling kencang ini larinya motor," jawab Kang Samin sambil terus memutar gas kuat-kuat.

"Idihhh... Menghina atau menyindir ini Kang? Sudah lama tidak narik ojek ini lho ya, ngak tau masih bisa naik motor atau tidak ya," elak Kang Sabar sambil nyengir.

Kang Samin mulai konsentrasi dengan setir motor. Sementara Kang Sabar terus bercerita mengenai anaknya yang sekarang sudah betah menimba ilmu di Pondok Pesantren Attanwir, Desa Talun, Kecamatan Sumberrejo, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. Padahal, beberapa bulan lalu, anak kedua yang sekaligus terkecil itu ingin pulang dan tidak kembali ke podok. Ia dan sang istri menyangkan dan sebenarnya juga tidak masalah dengan keputusan anaknya. Sebab, di rumah juga tinggal dirinya dengan istri yang mengurus ladang, ternak dan usaha kecil perancangan.

Anak pertama Kang Sabar tengah menyelesaikan kuliah di universitas ternama di Ibukota, Jakarta. Jadi, saat anak keduanya di pondok, ia sering kesepian. Bahkan, setiap seminggu dua kali jug tidak hentinya sambang ke tempat belajar anak. Namun, ia juga bersyukur, anaknya sekarang telah bertambah dewasa dan mulai bisa berpikir pendidikan ke depan, terutama menguatkan benteng agama.

"Hafalan Quran juga sudah sampai juz 13 Kang sekarang. Semoga, ia bisa menjadi lampu terang sang pengirim doa saat aku mati nanti." Kang sabar terus bicara di belakang denga suara naik dan turun, karena terkadang Kang Samin tidak mendengar.

Angin berhembus cukup kencang, dan mendung tebal mulai menggelayut di langit sebelah timur. Perjalanan sebenarnya masih setengah untuk sampai di kompleks pemakaman Sunan Geseng yang terletak di jalur sebelah Pakah menuju ke Kecamatan Palang. Rintik hujan mulai turun dan kilatan petir mulai menyambar-nyambar. Suara guntur juga menggelegar dan seperti mau memecah gendang telinga.

200 meter di depan tampak gubuk tua di tepi jalan, dengan seorang nenek berusia 70-an tengah tiduran di kayu panjang. Berbantal bingkisan pakaian lusuh di plastik warna putih tebal, nenek yang ubannya telah banyak dibanding rambut hitamnya itu tidak berbicara satu katapun saat dua sahabat karib itu berteduh tidak jauh dari tempatnya rebahan.

Guntur makin menggelegar. Hujan pun bertambah lebat, dengan jarak pandang di jalan raya tidak lebih dari 10 meter. "Sabar, sementara kita berteduh disini saja dulu ya, menunggu sampai reda," kata Kang Samin memecah keheningan.

Mendengar ucapan itu, Kang Sabar hanya mengangguk. Mereka berdua langsung mencari lokasi yang tidak terkena air. Jaraknya hanya sekitar satu meter dari perempuan tua yang matanya terpejam di pembaringan kayu itu. Suasana mencekam, karena hujan bertambah lebat, petir menyambar-nyambar dan setelah guntur begitu keras suaranya. Mulut Kang Samin komat-kamit membaca ayat-ayat suci, sedangkan Kang Sabar sibuk menutup kedua telinga dengan tangan.

Sekitar 30 menit mereka berteduh, belum ada tanda-tanda hujan akan reda. Dari kejauhan terdengar pelan suara adzan, entah dari surau (musala) atau masjid. "Itu sudah waktunya berbuka, kita batalkan puasa disini saja," pinta Kang Samin kepada Kang Sabar.

Diawali berdoa, mereka membuka plastik warna hitam yang dibawa dari rumah. Kang Sabar langsung lahap menyambar kolak dan nasi yang berada di rantang kecil. Tampak ikan asin, sambal, tempe dan telur berada di atas nasi putih. Ia seperti orang yang satu bulan tidak makan. Sementara Kang Samin meminum teh manis sebagai pembuka dan sempat berhenti sejenak untuk melihat perempuan tua yang masih terbaring.

Kang Samin berdiri dan menghampiri perempuan tersebut. Ia melihat ada tanda-tanda kehidupan, karena posisi yang awalnya terlentang dengan bantal plastik, sekarang dibawah kepala diberi tangan sebelah kanan. "Ibu, sudah Magrib, apa tidak berbuka? Membawa bekal atau tidak? Kalau tidak, ini saya membawa lebih dan bisa makan bersama-sama," tanya Kang Samin dengan suara bergetar.

Mendengar kata-kata itu, mata perempuan itu menitikan air mata. Tapi ia tidak bisa bergerak. Setelah itu, mata perempuan tersebut terpejam rapat dan tubuhnya lemas. Kang Samin tampak kebingungan, sedangkan Kang Sabar masih sibuk dengan makanan di mulutnya yang penuh. Ia sempat tersedak, karena terburu-buru makan.

"Ibu... Ibu... Bisa mendengarkah," ucap Kang Samin sambil menggoyang-goyang pundak perempuan tersebut.

Tubuh tersebut tetap diam. Nadi yang diperiksa Kang Samin juga telah terputus, tanpa denyut dan sepi. Air mata Kang Samin menetes, ibu malang itu telah meninggal dunia. Ia termenung dan duduk di bangku panjang, tepat di atas kepala perempuan tersebut. "Innalillahi wa inna ilaihi rojiun."

"Sabar, jangan makan saja. Ibu ini sudah meninggal," bentak Kang Samin.

Mendengar suara keras tersebut, Kang Sabar hanya bengong dengan mulut penuh makanan terbuka lebar. "Haa..... Benar Kang. Waduh, terus bagaimana kita kang entar."

"Kamu kok haa, sebut nama Allah jika mendengar, melihat dan menemui orang meninggal," sergah Kang Samin.

Kang Samin berdiri dan mengambil wudlu dari bawah genting, karena aliran air hujan cukup banyak. Segera ia mengambil koran bekas yang terselip di dinding anyaman bambu gubuk kosong tersebut. Ukuran rumah dari bambu tersebut sekitar 3x3 meter dengan teras 3x2 meter. Kang Sabar masih bengong dan segera menyusul Kang Samin untuk salat Magrib.

"Tunggu Kang, kita jamaah," pinta Kang Sabar.

Tidak lama setelah salat, ternyata ada satu orang lagi datang untuk berteduh. Sepeda motor dan seluruh badannya sudah basah kuyup. Laki-laki muda sekitar 30 tahun itu langsung meminum air yang terselip di samping kanan tas ransel warna gelap. Ia kaget mendapati seorang perempuan terbujur dan dua orang tengah berdoa setelah salat.

"Maaf pak, ibu itu kenapa? Kok sepertinya diam dan tidak bertenaga," tanya laki-laki berbadan tegap tersebut.

"Itu yang kami tidak tahu. Saat datang kondisinya lemas dan awalnya saya singgah disini tengah mencari perlindungan dari hujan. Ketika saya menawari untuk berbuka, ternyata tidak ada jawaban dan setelah saya periksa nadi kelihatannya telah meninggal," jawab Kang Samin tenang.

Mendengar jawaban tersebut, pemuda tersebut langsung memeriksa dan mengangguk. "Memang, sudah meninggal bapak, semoga khusnus khotimah. Saya ini dari kepolisian yang kebetulan mau dinas malam, nanti saya butuh cerita bagaimana kronologinya ya," tegas anggota polisi tersebut.

"Siyap komandan, kami akan ikut ke kantor polisi untuk memberikan kesaksian," pungkas Kang Samin. [mad]

*Reporter blokMedia Group (blokBojonegoro.com dan blokTuban.com