Janji Segodong Kering

Penulis: Febria Zela Syabilla*

Kutulis kisahku dalam lukisan nyata, entah itu akan abadi atau hanya menjadi goresan usang yang akan terlupakan begitu saja. Yang jelas saat ini aku hanya bisa bercerita pada langit, hmm yang bagiku sudah tak sebiru bulan lalu. Kau tahu bulan lalu? ya, bulan dimana pancaran sinarnya berselimut kesyahduan. Tapi tidak dengan sekarang, bercerita pada langitpun aku tak sanggup. Karna setiap aku ingin mengutarakan maksudku, air langitpun seperti memberi isyarat. Entah apa, yang jelas aku masih belajar mengejanya. Jangankan air langit, kadang awan hitampun memberikan nyanyian, cukup merdu dan cukup membuatku tak berhenti untuk berpikir lebih dalam lagi.

“Janji” dia menepuk pundakku yang sontak membuatku terperengah dari lamunanku di siang bolong ini.

“Haah, mimpiku” sahutku.

Aku baru saja tersadar dari bayang-bayang menjanjikan dari sajak termanis yang pernah aku dengar, tak hanya itu aku sering tenggelam dalam balutan fatamorgana. Yah, yang ada hanya untuk hilang, menyakitkan bukan?.

Dont woryy, aku akan terbiasa dengan ungkapan hilang berganti. Seperti datangnya angin, ketika ia memelukku ya ketika itu dalam hitungan waktu ia kan melepaskanku. Singkat sekali memang, tapi begitulah keadaannya. Hanya saja ketika ia memeluk walau sesaat, angin selalu memberikan kesan.

“Kau ingat tentang sajak yang pernah kau lukiskan?” tanyanya memaksaku untuk ingat.
Aku hanya menggeleng, ya pertanda kalau aku benar-benar tak mengingatnya.

“Kau yakin?” tanyanya lagi.

“emhh, sajak..lukisan ?” tanyaku

“Ternyata kau benar-benar tak ingat! Atau jangan-jangan hanya pura-pura tak ingat ?” ia menuduhku dengan pertanyaannya yang membuatku semakin tak ingat.

Tapi apalah, aku juga belum menyentuh bayangan apapun dalam pikiranku. Semua masih tersimpan rapi dan aku belum bisa membukanya. Meskipun goresan itu adalah goresan lama, namun goresan itu memang tak bisa menetap dalam pikiranku. Bahkan terkadang aku hanya ingin memandangnya dan merasakan, tapi tak mempersilahkannya untuk hadir mengisi terowongan-terowongan yang kapan dan dimanapun aku akan menyentuhnya kembali. Ibarat mencicipi masakan, ia hanya kurasakan diujung lidah saja. Sebab aku sendiri sudah sering menjumpainya, ya dengan rasa yang sama. Meskipun demikian, tetap saja tak ubahnya membuatku menjadi lebih mudah peka.

***

Setelah aku benar-benar lupa, aku kini teringat tentangnya. Sedikitnya tentang ungkapan-ungkapan yang menyejukkan, ungkapan yang membuatku memberi harapan dan membuatnya berharap padaku. Kau tahu apa itu namanya ?.

Mereka sering menyebutnya dengan janji, si kecil janji ini ketepatan datangnya selalu dinantikan dan diharapkan orang yang mengagung-agungkannya. Begitu sakral bukan ? tapi begitu tak sedikit yang meninggalkannya, seperti lupa tapi tidak lupa. Mereka hanya pura-pura lupa bahkan memang terbesit melupakannya. Ya terrmasuk aku,, ssstt janji ini termasuk golongan kecil yang banyak diabaikan. Padahal kalau ditarik ulur kebelakang, tak mungkinlah ada asap kalau tak ada api. Sederhanakan? Tapi tak sederhana ketika aku menjelaskannya dengan nyanyianku, nyanyianku akan bernada dan berirama. Seperti tetesan air hujan yang membawaku tenggelam lebih dalam akan nikmat tuhanku. Sungguh luar biasa !

Sayangnya, yang kutemukan tak lagi hijau, seperti dulu ketika ia dengan fasih bercerita. Ya ketika ia mendongeng tentang keseriusan, ketika lukisannya akan terbentuk dengan sempurna namun nyatanya tak seperti yang kubayangkan. Semua tak lagi hijau, sudah cukup janji itu berlagu. Meski tak semerdu harapanku, nyanyiannya menjadi pengingat untukku. Sekarang dan nanti menjadi tolak ukur dimana lukisan sejati hanya ada padaNya. Bukan tentang siapa nama itu disebut dalam barisan do’a-do’a pemintanya tapi tentang karena siapa mereka menyebut nama dalam barisan do’a padaNya.

Aku masih berdiri tegak di atas bumiNya, menyaksikan betapa kemahaanNya tak bisa dipungkiri lagi. Kulihat awan berarak mengikuti luahan ceritaku, perlahan pergi bersama angin yang ikut serta membelai mesra rambutku yang terurai panjang. Masih tak kualihkan pandanganku dari apa yang membuatku pura-pura lupa untuk janjinya. Tetapi demikian tak ubahnya menjadi jembatan yang membuatku benar-benar pergi dari kata yang bernama janji.

***
Mataku masih dimanjakan dengan panorama yang membuatku rindu, belaian angin yang berhembus syahdu dan langit yang mulai menguning. Ombak kecil yang berlarian hilang berganti, menyisir menepi dan aku masih mengagumi sajak rindu yang pernah kulukiskan sendiri. Sampai kapanpun, yang jelas aku tak sampai hati memikirkannya. Janji yang telah terpatripun terkikis bersama waktu, ya yang memaksaku untuk hilang dan menghilangkan. Memaksaku untuk pura-pura lupa dan yang jelas melupakan.

Bersama senjaku, janji segodong yang dulu pernah kumengerti tlah pergi. Ia telah menghilang, juga menghilangkan. Seperti ingin menghapus sesuatu tapi ketika sesuatu itu dihapus ya semakin jelas goresan yang tertinggal itu terlihat.

Tidak salah memang ketika aku berada dalam kesepian ini, yang kuingat sepotong janji, ibarat kue kecil kalau tidak segera dihabiskan satu dua tiga jam kemudian rasanya sudah berubah, sudah tak seenak seharusnya.


*Febria Zela Syabilla merupakan mahasiswi Universitas PGRI Ronggolawe Tuban.

Foto: www.digaleri.com