Antalogi Pasir

Penulis: Riki Asfiyana H*


bloktuban.com - Aku menghentikan langkah mobilku ketika berkas terakhir matahari hendak hilang di balik samudera. Perjalanan pulang yang jauh ini terhenti di jalan tepian pantai. Langit hendak gelap beberapa menit lagi. Aku bertanya pada diri sendiri dan terjawab oleh suara debur ombak. Sepertinya malam ini aku harus menginap di tepi pantai.

Pikiranku melesat secepat angin-angin laut tiba di tepian, mendorong berpuluh-puluh kapal bersauh mencari harapan. Harapan hidup di hari esok yang tersemat pada ikan-ikan di lautan.

Aku mendapat sebuah penginapan kecil seadanya. Kasur keras dan dipan yang berderit-derit. Mengingat tadi betapa sumringahnya penjaga penginapan ketika mobilku masuk ke dalam gerbang. Gerbang bambu doyong ke kiri yang hampir saja mati. Kamar ini memberikan jendela yang menghadap ke arah laut. Lampu-lampu perahu kecil bak kunang-kunang beterbangan di atas samudera.

Aku berusaha mengistirahatkan badan ketika pikiran menolak berhenti mengenang. Aku beranjak, bertanya pada pelayan yang hanya seorang tentang tempat makan yang dekat dari sini. Menu penginapan berupa sayur kangkung dan tempe goreng malam ini sama sekali tidak menggungah selera makan.

“Mas bisa jalan 20 meter dari sini ada warung makan di pinggir jalan.”

Yang dimaksud warung makan adalah sebuah gubuk kecil dengan lampu minyak yang hendak mati tapi tak juga mati. Sepiring cumi dan ikan bakar barangkali bisa jadi menu yang nikmat.

Sebenarnya badan ingin sekali beristirahat, tapi sepertinya malam akan menjadi panjang di gubuk ini. Ibu penjual bernama Ibu Rusmini, jika ditaksir mungkin usianya sama dengan usia Mamak. Gubuk ini berumur 10 tahun kata Ibu Rusmini, aku sendiri kurang yakin mengingat tadi Ibu Rusmini salah mengenali uang 10.000 jadi 100.000. Obrolan kami, hanya aku dan Ibu Rusmini, karena memang tidak ada lagi pembeli yang lain, dimulai dengan pertanyaan beliau.

“Masnya mau kemana?”

Berangkat dari situ terpecahlah suasana menjadi lebih hangat, tersebutlah bahwa Ibu Rusmini ini sedaerah dengan tempat tinggal saya. Kota kecil di perbatasan Jogjakarta dan Jawa Tengah yang sepi.

Aku menghasilkan cerita masa kecil yang membuat Ibu Rusmini senang, mengingat tentang rumah dan keluarganya dulu di sana. Kecintaannya pada pantai melekat sejak beliau kecil, hingga kini beliau tidak ingin tinggal jauh-jauh dari pantai. Alasannya amat sederhana, jika kamu berniat pulang, berjalanlah sepanjang pantai. Maka kamu akan bertemu kampung halaman.

Aku mendapat secangkir kopi hitam dan sepiring ubi goreng gratis, Beliau bahagia sekali menyeduh dan menggorengnya. Tak henti-henti pula ia bercerita tentang hidupnya dan pantai.

“Aku tidak pernah meninggalkan pantai lebih dari satu hari, Nak”

“Kau pasti mendengar bagaimana ombak bernyanyi, kadang sedih, kadang bahagia, kadang pula marah-marah. Sepanjang pantai ini kamu akan menemukan banyak kehidupan.Negeri ini tak kan indah tanpa pantai, Anakku. Gunung boleh jadi hanya bisa dinikmati beberapa orang, tapi pantai dengan kerendahannya menyediakan dirinya untuk semua orang. Hidup di negeri ini, jika belum pernah ke pantai adalah kelalaian yang besar, bagaimana mungkin negeri laut luas seperti ini, tapi kamu melulu setiap hari berada di daratan. Melupakan begitu melimpahnya kasih sayang laut terhadap negeri ini.“

Aku mengangguk takzim mendengarkan cerita Ibu Rusmini yang kadang terpotong-potong oleh jeda ketika beliau mengunyah inang daun sirih.

“Ibu sudah berjalan kaki sepanjang pantai pulau ini, rasa-rasanya jika umur ibu masih muda sepertimu, ibu ingin sekali menjelajahi lebih banyak pantai.”

“Begitu mempesonanya pantai bagi Ibu,”aku menjeda sekalimat. Menunjukkan perhatian.

“Setiap orang memiliki kecintaan yang berbeda terhadap negeri ini. Anakku. Bentuknya dan kadarnya. Apa yang menjadi sebab cinta itu sendiri juga berbeda. Ibu mencintai negeri ini karena pantai, mungkin bagimu ada hal yang lain lagi yang membuatmu tidak mampu meninggalkan negeri ini lama-lama. Pun jika kamu meninggalkannya, kamu menemukan alasan mengapa harus kembali. Seperti perjalananmu malam ini,disebut ‘pulang’ bukan?”

Angin laut menghembuskan kehidupannya menerobos celah-celah gubuk. Lampu minyak berdiri sempoyongan menahan terpaan. Redup terang berulang bergantian. Aku masih setia duduk di dalamnya. Kehangatan suasana seperti ini mengalahkan dinginnya udara di luar. Suara ombak malam-malam memang lebih menyenangkan.

“Negeri ini sebenarnya indah, Bu. Sayang sekali rusak oleh orang-orangnya,” Aku berusaha memberikan pendapat.

“Kata siapa begitu, negeri ini memang indah,bukan keraguan lagi. Esok pagi saksikanlah betapa indahnya pantai ini. Ibu menemukan pantai ini dulu sekali tanpa jalan raya, tanpa penginapan-penginapan yang mati enggan seperti sekarang. Ibu membuka warung ini agar bisa menikmati pagi setiap hari di tepian pantai,”

“Bagaimana dengan orang-orangnya, Bu?”

Sang ibu tersenyum sambil menguyang inang sirihnya.

“Orang yang terlihat berpendidikan sepertimu harusnya lebih mengerti, bukankah yang menjadikan rusak itu berpusat pada satu asal, layaknya sungai dari mata air sebuah pegunungan kemudian becabang-cabang ke berbagai sungai menuju puluhan bahkan ratusan muara. Sungai membelah aneka kota dan perkampungan, membawa serta aneka kerusakan. Kerusakan yang mengalir ke berbagai muara.”

Ibu Rusmini membuang inangnya pada sebuah kaleng susu bekas. Aku melihat jam menunjukkan pukul 3 pagi. Rasa ngantuk sempurna hilang. Aku mengangguk ketika Ibu Rusmini menawarkan lagi secangkir kopi untuk kedua kalinya. Air dari ketel yang dimasak dengan api dari kayu bakar terasa lebih nikmat daripada menggunakan api kompor. Aku sempat ragu tapi kenyataannya memang demikian, kopi ini nikmat sekali.

Kopi yang dibeli langsung dari petani kopi di penggunungan katanya. Masih murni, tidak dicampur dengan tepung jagung atau beras. Sejak itu aku baru tahu jika kopi murah dipasaran itu dicampur aneka tepung.

“Ibu mendapatkan kopi ini dengan menukar beberapa ekor ikan,” begitu kata Ibu Rusmini.

“Jadi ibu tidak membelinya, tapi menggunakan sistem barter. Orang pegunungan jauh dari pantai, di pantai kopi tidak mungkin tumbuh. Seharusnya begitu kita saling membutuhkan, menukar apa yang kita miliki dengan apa yang mereka miliki. Uang bukan kebutuhan utama bagi kami, kami merasa lebih adil menukarnya dengan bahan makanan.”

Pantai hampir mendekati subuh ketika aku masih bercerita tentang keluargaku di negeri yang lain. Ketika aku bercerita tentang kepulanganku untuk sekedar melepas rindu pada tempat-tempat masa kecil. Tidak memiliki keluarga di negeri sendiri.

“Kita sebangsa, kita senegeri, kita sekeluarga, Anakku,” Ibu Rusmini berkata pelan sekali tertelan suara deburan ombak.

Pantai, aku bertanya kembali apa jalan ini menyusuri sepanjang pantai. Ibu Rusmini menjawab demikian, jalanan yang baru dibangun 3 tahun yang lalu ini mengular sepanjang pantai. Meski masih sepi di kiri dan kanannya oleh rumah-rumah penduduk dan warung-warung. Setidaknya kita akan melihat pantai sepanjang jalan.

Langit mulai memutih, membiru, kemudian menguning sebelum beberapa larik berkas cahaya berebut masuk menerobos celah-celah gubuk berdinding anyaman bambu. Aku tertidur tanpa tahu kapan aku mulai tertidur. Aku mengusap mata lantas mencium aroma nasi liwet semerbak di dalam gubuk.

“Ibu tidak memiliki apa-apa untuk sarapan pagi ini selain nasi dan ikan asin, semuanya sudah matang. Kamu bisa sarapan disini Nak, sarapan di penginapan biasanya sisa makanan semalam.”

Seumur hidup tidak pernah aku merasakan nikmatnya makan nasi liwet dan ikan asin senikmat ini, dengan matahari terbit dibalik samudera menambah hangatnya sarapan pagi. Kepulan asap dari nasi terlihat melayang-layang oleh cahaya matahari.

Mataku tertuju pada puluhan botol kecil seukuran botol minuman suplemen yang berjejer rapi di dinding gubuk. Sesuatu yang tidak nampak sepanjang malam tadi.

“Itu botol apa Bu,banyak sekali?”

“Oh itu botol pasir pantai”

“Pasir pantai?” aku bertanya memastikan.

“Iya, itu dari aneka pantai yang sudah ibu kunjungi, tidak lagi bertambah sejak ibu memutuskan menetap disini,”

Aku mendekati botol-botol tersebut, enggan menyentuh takut merusaknya.

“Pantai Losari, Pantai Aceh, Pantai Sawarna, Pantai Ketawang,” aku mengeja satu per satu label pada botol tersebut.

“Pantainya, jauh-jauh sekali Bu?”

“Waktu itu Ibu masih muda sepertimu.”

Aku duduk takjub melihat kumpulan botol itu.

“Kamu masih punya banyak waktu untuk mengelilingi negeri ini, Anakku. Pantai, gunung, sesukamu. Kamu pilih sendiri semuanya ada.”

“Kamu sudah menikah?”

Aku menggeleng ragu.

“Menikahlah, mengelilingi negeri ini tidak enak kalau sendirian.”

Ibu Rusmini mengalihkan pandangan pada foto lusuh tanpa bingkai di dinding gubuk, ia dengan seorang laki-laki yang gagah. Sudah pasti suaminya. Ia tersenyum terdiam.
Aku menghabiskan kopi yang tersisa semalam. Kembali menumbuhkan kenangan pada kampung halaman. Aku harus segera pulang. Selesai. [col]

 

*Riki Asfiyana H, mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas PGRI Ronggolawe Tuban. Aktif menulis beberapa karya sastra: puisi, cerpen, dan esai sastra. Bisa dihubungi di Komunitas Sanggar Sastra (Kostra) Unirow Tuban.