Revisi UU Migas dan UU Minerba Jadi Prioritas 2016

Reporter: Nidhomatum MR

blokTuban.com - Wakil Ketua Komisi VII DPR Satya Widya Yudha mengatakan, revisi UU Minyak dan Gas Bumi dan UU Mineral dan Batu Bara (Minerba) menjadi prioritas dalam program legislasi nasional (Prolegnas) 2016. Hal ini disampaikan ketika memberikan pernyataan refleksi 2015 dan outlook 2016 di Gedung DPR/MPR Senayan, Jakarta.

“Revisi UU ini sangat penting untuk segera diselesaikan,” ujarnya awal pekan ini.

Satya mengakui, semestinya revisi ini sudah bisa diselesaikan tahun lalu. Namun, kendati sudah masuk masuk dalam prolegnas 2015, pembahasan revisi kedua UU ini menemui sejumlah kendala. Dia berharap, tahun ini revisi kedua UU ini bisa diselesaikan.

Satya menjelaskan bahwa selama diberlakukan sejak 2010, muncul berbagai persoalan yang membuat banyak pihak melanggar UU ini. Dia mencontohkan tentang renegosiasi kontrak pertambangan, semestinya tak boleh lagi dilakukan setahun setelah UU berlaku, atau 2011. “Tetapi kami melihat bahwa renegosiasi terus terjadi hingga saat ini,” tuturnya.

Menurutnya sejumlah peraturan pemerintah yang berubah hingga tiga kali tentang divestasi saham perusahaan pertambangan dan tidak sejalan dengan UU Minerba yang ada. Soal pembangunan smelter (tempat proses pemurnian mineral) pun memunculkan masalah. Menurut UU Minerba, seluruh industri minerba harus melakukan pemurnian di dalam negeri, dengan membangunsmelter paling lambat 31 Desember 2014.

“Kenyataannya, tak ada smelter baru yang dibangun hingga saat ini,” ujarnya.

Sementara itu, terkait UU Migas, menurutnya perlu segera direvisi salah satunya yang berkaitan dengan keputusan Mahkamah Konsitusi tentang pembubaran Badan Pengelolaan Kegiatan Hulu Migas (BP Migas). Pengalihan pekerjaan BPP Migas kepada SKK Migas, menurut Satya, tidak sesuai dengan UU Migas yang berlaku saat ini. SKK Migas semestinya bersifat sementara (ad hoc). Namun, sudah lebih dari setahun SKK Migas masih ada.


Posisi SKK Migas berada di bawah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral pun membuat negara langsung berkontrak dengan Kontraktor Kontrak Kerja Sama Migas (KKKS), dengan posisi yang sejajar. “Padahal, semestinya negara harus berada di atasnya,” ujarnya.

Karena itu, hal tersebut perlu dihindari agar jika terjadi dispute atau pun masalah, negara tidak langsung berhadapan dengan perusahaan-perusahaan KKKS. Sehingga, sebuah lembaga indipenden perlu dibentuk. Lembaga ini bisa BUMN atau pun bentuk badan usaha lainnya. Bentuknya pun bukan BHMN (Badan Hukum Milik Negara) seperti BP Migas.

Pentingnya revisi UU Migas juga berkaitan dengan pengaturan dana hasil Migas agar bisa kembali secara signifikan kepada sektor Migas. Selama ini, kata Satya, hasil Migas yang mencapi Rp100 triliun lebih hanya sekitar Rp14 triliun yang kembali ke Kementerian ESDM. Sisanya untuk mendanai sektor-sektor lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa sektor Migas seperti dianggap bisa berjalan sendiri tanpa perlu alokasi anggaran yang semestinya.


Padahal, negara dan pemerintah perlu mengantisi kondisi yang sangat tak terduga antara lain turunnya harga migas, seperti yang terjadi saat ini. Rendahnya harga minyak membuat industri migas butuh semacam “suntikan” dari pemerintah, agar tetap bisa berkegiatan.

Lebih lanjut menurutnya, dana Moneter Internasional (IMF) telah mengeluarkan prediksi bahwa harga minyak dunia pada 2016 bisa mencapai di bawah harga US$30 per barel. “Walaupun tak ada satu pun lembaga yang bisa memprediksi harga minyak dengan tepat, namun prediksi IMF ini bisa jadi peringatan bagi kita,” tuturnya.


Rendahnya harga minyak bisa membuat kegiatan eksplorasi terhenti. Padahal, Indonesia memerlukan kegiatan eksplorasi migas, guna menemukan cadangan-cadangan baru. “Karena itulah, dana hasil Migas perlu ada yang dikembalikan secara signifikan ke sektor migas untuk menjaga kinerja di bidang ini,” tuturnya.

Tujuannya adalah untuk menjaga pendapatan dari sektor migas tetap tinggi. Hal ini mengingat, pendapatan dari sektor migas masih sangat dibutuhkan negara. Revisi UU Migas juga diperlukan untuk mengatur dana pengembangan energi baru dan terbarukan, yang diambil dari hasil migas. UU Energi telah membolehkan hal ini.

“Namun, belum ada aturan yang jelas berapa persen yang perlu diambil untuk pengembangan energi dan terbarukan. Inilah yang akan diatur dalam revisi nanti,” tuturnya. [col]